Penggiringan opini sering kali kita temukan pada media sosial, terdapat pada artikel ataupun komentar-komentar dari artikel tersebut. Penggiringan opini umumnya dilakukan dengan tujuan tertentu seperti pembelaan terhadap kelompoknya dan sesuatu yang diyakininya, ataupun adanya pendanaan yang membuat oknum tersebut mau untuk melakukan penggiringan opini ini. Penggiringan opini ini erat kaitannya dengan buzzer. Buzzer ini seringkali dianggap sebagai pelaku ataupun oknum yang melakukan penggiringan opini yang umumnya diakukan karena perintah dari rekan satu tujuannya.
Mengenal Buzzer dan Sejarahnya
Jika kita mendengar kata buzzer, mungkin yang terlintas dipikiran kita adalah mengenai hal yang berbau politik. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Ditinjau dari Centre for Innovation Policy Governance (CIPG), buzzer diartikan sebagai individu atau akun yang berkemampuan membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer dapat dicirikan berupa oknum dengan jaringan luas atau mempunyai akses ke informasi kunci, serta mampu menciptakan konten sesuai konteks, lihai dalam menggunakan media sosial, serta persuasif.
Pada mulanya buzzer ini diciptakan sebagai akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan pada topik tertentu. Hal ini tentunya dianggap hal yang lumrah di masyarakat karena biasanya buzzer dapat ditemukan pada promosi sebuah produk. Namun, fungsi dari buzzer mulai berubah karena keterlibatan dalam peristiwa politik. Mulai dari situ stigma masyarakat terhadap buzzer menjadi negatif, yaitu sebagai pihak yang dibayar guna memproduksi konten negatif di media sosial.
Kasus yang Disebabkan oleh Akun Buzzer
Sebagai contoh nyata dari adanya akun buzzer ini yaitu sempat hebohnya pemberitaan mengenai tudingan bahwa KPK memusuhi NU. Yang mendasari tudingan tersebut adalah karena adanya kasus penangkapan ketau umum PPP Romahurmuziy, yang tidak lama kemudian terjadi penangkapan juga terhadap mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Kemudian Munculah sebuah framing yang didasari oleh latar belakang dari kedua tokoh tersebut yang notabennya sama-sama merupakan kader dari NU. Dengan demikian terbentuklah framing bahwa KPK memusuhi NU. Framing ini dilakukan dengan dukungan visual, karena masyarakat lebih sensitif terhadap masalah visual ketimbang esensial. Namun pada akhirnya tudingan tersebut dibantah oleh pihak KPK, denngan bukti berupa pemaparan berbagai kerja sama yang telah dilakukan oleh kedua Badan tersebut.
Contoh selanjutnya yaitu dapat dilihat pada kasus yang menimpa komika tanah air, Bintang Emon. Dalam kasusnya, Bintang Emon dituding menggunakan sabu oleh banyak sekali akun buzzer. Penyerangan buzzer tersebut didasari oleh tindakkannya yang menyinggung soal kasus penyidik KPK Novel Baswedan. Menanggapi hal tersebut Bintang Emon pun membantah tuduhan yang dilontarkan oleh akun-akun buzzer tersebut terhadap dirinya. Sebagai bentuk tepisan atas tuduhan tersebut, Bintang Emon mempublikasikan hasil tes toksikologinya yang menyatakan bahwa dirinya negatif. Hal ini jelas memicu kemarahan warganet, khususnya para pendukung dari Bintang Emon, seperti sahabat dan juga keluarganya. Sehingga banyak yang buka suara sebagai bentuk pembelaan terhadap Bintang Emon atas tuduhan tersebut.
Penerapan Sistem Bot Komentar dalam Penggiringan Opini
Kasus yang menimpa Bintang Emon dan KPK didasari oleh akun-akun bot yang sengaja diatur untuk memojokkan kedua pihak. Hal ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari metodologi perang media sosial dengan tujuan untuk memprovokasi masyarakat untuk membentuk stigma negatif terhadap pihak terkait. Dalam menanggapi sebuah berita ataupun kabar, pastinya terdapat respon postif dan juga negatif terhadap kabar tersebut. Namun, jika memang berita tersebut bersifat netral tanpa kejanggalan, tapi berita tersebut dibanjiri oleh banyak sekali komentar negatif pada suatu badan, instansi, ataupun individu, bisa saja hal tersebut adalah perbuatan dari akun-akun bot. Sebagai contoh, misalkan terdapat 500 komentar negatif terhadap suatu oknum, sebanyak 80% dari komentar tersebut kemungkinan besar adalah akun bot. Sementara itu, jika melakukan pembelaan ataupun tapisan terhadap tuduhan tersebut, jelas akan sulit karena banyaknya komentar negatif. Hal ini justru akan menyebabkan kesimpangsiuran pada masyarakat yang berujung pada perpecahan pihak pro dan kontra dari masalah berita tersebut.
Solusi untuk Menghadapi Hoax oleh Akun Buzzer
Akademisi, ilmuan, kaum terpelajar sekalipun tidak menjamin tidak terpedaya oleh hoax dari akun-akun buzzer ini. Solusi pertama yang dirasa efektif untuk menghindari penggiringan opini ini adalah dengan mengadakan sebuah pers. Pers disini dinilai sangat penting untuk melawan buzzer–buzzer tidak bertanggung jawab, karena fungsi dari pers sebagai pranata sosial yang mengedukasi elite maupun warga negara agar menjadi pribadi dengan pemikiran jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis. Cara lainnya yang dapat dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pengggiringan opini oleh bot adalah dengan meningkatkan penerapan sistem gatcha terhadap individu yang ingin berkomentar di sosial media. Hal ini bertujuan untuk menyeleksi mana akun yang dikendalikan oleh orang asli, mana akun yang digerakkan oleh bot. Disamping itu, diperlukan pula kesadaran untuk berkomentar yang sopan dan bijak agar tidak menimbulkan konflik pada media sosial.
Penulis : Fathan Kautsar
Editor : Shanti Ruri Pratiwi
Gambar diperoleh dari Pikiran Rakyat di www.pikiran-rakyat.com
Referensi
https://tirto.id/apa-itu-buzzer-politik-arti-strategi-sejarah-dan-pola-rekrutmen-gaaE