BEM FP UB: Eksekutif Mahasiswa Menjelma Jadi Penagih Hutang?

Beberapa hari yang lalu Akademik Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya mengeluarkan Pengumuman Dekan No. 2661/UN10.F04/KU/2020 tentang untuk segera menyelesaikan tunggakan UKT/SPP. Sebanyak 432 mahasiswa dinyatakan menunggak UKT/SPP, mulai dari angkatan masuk 2012 sampai 2019. Mahasiswa yang namanya tercantum tersebut agar segera menyelesaikan tunggakan dengan batas waktu hingga 30 Juli 2020, apabila tidak dapat menyelesaikan tunggakan sampai batas waktu yang ditentukan maka mahasiswa tersebut tidak dapat melakukan proses pengajuan bantuan berupa penundaan/penurunan/keringanan/pembebasan UKT/SPP pada semester berikutnya.

Pengumuman seperti ini memang wajar setiap tahunnya, mahasiswa diwajibkan membayar UKT sesuai jumlah yang dibebankan. Namun keadaan ekonomi setiap orang pasti berbeda, tahun lalu mungkin keadaan ekonominya sedang baik, dan mampu untuk membayar tagihan UKT. Namun kondisi tersebut selalu berubah, kita tidak 400 sekian mahasiswa itu sedang dalam kondisi seperti apa sehingga mereka terlunta-lunta untuk melunasi UKT, jawaban yang paling logis adalah kondisi perekonomian mereka atau keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja.

Tujuan saya membahas ini adalah pertama saya ingin melayangkan kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh pihak fakultas mengenai sanksi apabila mahasiswa yang tidak bisa menyelesaikan tunggakannya. Kedua, ini adalah kritikan saya tentang sikap yang diambil Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (BEM FP UB) mengenai pengumuman tersebut.

Menanyakan Logika Pihak Fakultas

Begini, jika mahasiswa yang menunggak tidak bisa menyelesaikan atau melunasi tunggakan tersebut artinya apa? jelas disini saya tidak punya data personal berupa nominal UKT yang dibebankan kepada mahasiswa itu, atau berapa pendapatan dan pengeluaran mereka, atau data lain yang menunjukkan kondisi perekonomian mereka. Asumsi jika mahasiswa tidak bisa menyelesaikan atau melunasi tunggakan tersebut, menurut saya ada dua kemungkinan, mahasiswa sudah memutuskan tidak lanjut kuliah, namun membiarkan status akademiknya terus berjalan dan yang kedua adalah kemungkinan paling mungkin yakni mahasiswa tersebut kondisi perekonomiannya tidak mampu menutupi mahalnya UKT yang dibebankan kepadanya.

Kemungkinan kedua itulah, yang menurut saya membuat sanksi yang diberikan pihak fakultas serasa dibuat dengan logika yang terbalik. Jadi jika memang mahasiswa tersebut tidak bisa menyelesaikan UKT di semester sebelumnya, kemudian mendapat sanksi, dan pada semester berikutnya akan dibebankan UKT dengan nominal yang sama dengan semester sebelumnya yang tidak bisa dibayarkan, maka mahasiswa itu akan terpaksa menunggak 2 kali.

BEM si Debt Collector!

Penjelmaan BEM sebagai penagih hutang.
Ilustrasi oleh: Yuliastuti Yasmin

Badan Eksekutif Mahasiswa atau yang biasa disebut BEM ini adalah lembaga eksekutif di tingkat pendidikan tinggi, lembaga ini merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasinya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi mahasiswa di lingkungan kampus, begitulah seharusnya.

Sangat jelas bahwa lembaga ini yang seharusnya keberpihakannya pada mahasiswa, yakni para pemilihnya. Namun berbeda dengan BEM FP UB kali ini, dengan adanya pengumuman dari pihak fakultas tentang tunggakan UKT tersebut, lembaga ini justru memposisikan diri sebagai kaki tangan dari fakultas. Dalam isi postingan 4 hari yang lalu di akun Instagram BEM FP UB, dengan judul caption “INVO: Pembayaran tunggakan UKT/SPP” yang isinya hampir sama dengan pengumuman dari pihak fakultas. Tidak ada yang salah memang membagikan informasi tersebut, jika humas kampus yang menyampaikan, namun jika itu BEM? Atau BEM ini telah mendapuk dirinya sebagai humas kampus?

Apalagi kementerian yang bertanggung jawab atas postingan tersebut adalah Kementerian Advokasi, bukannya malah memberikan ruang untuk para mahasiswa dalam menyelesaikan tunggakan UKTnya tapi justru dengan pedenya mendesak para mahasiswa itu segera melunasinya, tanpa ada upaya mengadvokasi supaya mempermudah menyelesaikan tunggakan itu. Tentu bantuan yang disalurkan bukan berarti dalam bentuk uang, karena mustahil bagi lembaga non-profit bisa melunasi tunggakan 400 mahasiswa, namun tidak menutup kemungkinan adanya cara yang dapat diusahakan, apalagi mereka yang berada dalam BEM punya beban moral untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa.

Memang sangat disesalkan bahwa lembaga ini memilih menjadi kaki tangan fakultas daripada berada di pihak mahasiswa, “Inikan kami hanya sekadar berbagi informasi, atau sekadar mengingatkan” pikir mereka. Hal yang keliru menurut saya, membagikan informasi tersebut adalah tugas utama humas fakultas, sebaliknya tugas Kementerian Advokasi adalah mengawal kebijakan dari pihak fakultas yang sekiranya membebankan para mahasiswa.

Daripada hanya sekedar meneruskan informasi, lebih baik jika kementerian ini berani untuk  mengkritik sanksi yang dibebankan tersebut, maka disitulah tugas advokasi untuk mengusahakan agar mahasiswa memperoleh keringanan.

Saya kira BEM FP UB perlu berbenah diri, khususnya Kementerian Advokasi, yang mana kita semua tahu dalam masa pandemi ini pendapatan setiap orang mengalami kemrosotan yang luar biasa, apalagi jika masih dibebankan untuk membayar UKT. Selama setengah semester kemarin kita hanya belajar di rumah, dan menghabiskan kuota internet karena sistem pembelajaran diganti dengan sistem daring, maka seharusnya tunggakan UKT diringankan atau kalau bisa dianggap lunas!

Penulis          : Pramana Jati P

Editor              : Shanti Ruri P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com