Site icon Persmacanopy.com

Bioetanol Singkong: Pangan untuk Kemandirian

Baru-baru ini Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, mengungkapkan dalam sebuah pidato di forum mahasiswa tentang swasembada pangan dan menyinggung tentang Bahan Bakar Minyak (BBM). Beliau mengatakan bahwa Indonesia akan stop mengimpor BBM dan akan memproduksi BBM terbarukan dari singkong. Singkong merupakan ubi kayu dengan kandungan zat nabati yang dapat diubah menjadi etanol atau yang disebut sebagai BIOETANOL. Berikut rasionalisasi dari gagasan tersebut.

Dilansir dari cnbcindonesia.com, Indonesia sebagai negara agaris pernah mendapatkan penghargaan dari IRRI karena memiliki sistem ketahanan pangan yang baik pada tahun 2019-2021. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Agustus 2022. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pencapaian negara Indonesia dalam sektor energi dan sumber daya mineral yang menjadikannya sebagai net importir karena produksi domestik tidak mencukupi tingkat konsumsi, dalam hal ini BBM.

Selain sebagai bahan pangan, singkong juga dapat diolah sebagai bahan bakar alternatif. Zarkasie et al, (2017) menyatakan bahwa singkong mengandung sekitar 60% air; 35% pati; 2,5% serat kasar; 1% protein; 0,5% lemak; dan 1% abu. Kandungan tersebut berpotensi menjadi bioetanol sebagai etanol yang terbuat dari substrat karbohidrat. Teknologi konversi bioetanol dibedakan berdasarkan bahan bakunya, yaitu pati, selulosa, dan gula, di mana bahan-bahan yang belum berbentuk gula harus dikonversi terlebih dahulu agar menjadi etanol (Hendrawati et al., 2019). Secara umum proses produksi bioetanol dari singkong menurut Firdaus (2020); Lovisia (2022); serta Artiyani dan Soedjono (2019) adalah sebagai berikut:

  1. Penanganan awal, berupa pengupasan pencucian, pengeringan, dan pemecahan ukuran. Biasanya singkong dihancurkan menjadi bubur melalui pemarutan.
  2. Hidrolisis, berupa proses perubahan pati menjadi glukosa yang terdiri dari 2 tahap, yaitu likuifikasi (perubahan pati menjadi gula kompleks dengan penambahan Enzym Alfa Amylase) dan sakarifikasi (perubahan gula kompleks menjadi gula berpresentasi rendah dengan penambahan Enzym Gluco Amylase). Hidrolisis dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu tanpa katalis, dengan asam, dengan basa, dan dengan enzim.
  3. Fermentasi, berupa proses perubahan glukosa menjadi bioetanol dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering digunakan adalah khamir dari spesies Saccharomyces cerevisiae. Proses fermentasi berlangsung pada kondisi anaerob atau tanpa udara untuk mengoptimalkan pembentukan etanol. Hasil akhir dari proses ini adalah larutan pati yang yang terdiri dari 3 lapisan dari yang terbawah, yaitu endapan protein, air, dan etanol. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan penyaringan untuk memisahkan endapan protein dan larutan etanol.
  4. Destiliasi, berupa proses pemisahan etanol dengan air dengan cara memanaskan larutan tersebut pada titik didih etanol, yaitu 78◦C. Hal tersebut dilakukan agar etanol dapat menguap terlebih dahulu dan mengalami kondensasi untuk menghasilkan etanol berkadar lebih tinggi
  5. Dehidrasi, berupa proses pemurnian etanol yang dapat dilakukan secara kimia menggunakan batu gamping dan secara fisika menguunakan Zeolite Sintesis. Hasil dari dehidrasi adalah etanol berkadar 99,6-99,8 %, atau yang disebut Fuel Grade Ethanol (FGE). Etanol inilah yang sesuai sebagai bahan bakar kendaraan karena benar-benar kering dan anhydrous sehingga tidak korosif.

Adapun kelebihan bioetanol dibandingkan bahan bakar fosil adalah lebih ramah lingkungan mengingat bioetanol terbuat dari sumber daya hayati yang dapat diperbarui. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsen Ghazikhani dan Hatami (2014) menunjukkan bahwa persentase etanol yang tinggi dalam bahan bakar bensin dapat mengurangi 35% kadar CO dan 30% rata rata hidrokarbon. Hal ini disebabkan oleh sifat etanol yang mudah menguap sehingga pembilasan di ruang bakar berjalan dengan baik. Selain itu, bioetanol juga memiliki kadar oksigen sebesar 35% yang terbakar sempurna tanpa meninggalkan partikel timbal dan benzena yang bersifat karsinogenik atau penyebab kanker (Prasetya et al., 2018)

Merujuk pada proses produksi dan kelebihan bioetanol di atas, tentu beberapa kepala memikirkan berapa banyak biaya yang digunakan dan bagaimana prospek bioetanol singkong kedepannya. Penelitian yang dilakukan oleh Hendrawati et al, (2019) menggunakan asumsi untuk menetapkan kapasitas produksi bioetanol singkong sebesar 30.000 kl/tahun atau 100 kl/hari.  Kebutuhan 1 liter etanol adalah 6,5 kg singkong sehingga yang dibutuhkan oleh pabrik ini adalah 195.000 ton/tahun atau 650 ton/hari yang dapat disupply dengan luas lahan singkong 5,571 ha. Kelayakan investasi dari asumsi tersebut dilihat dari beberapa kriteria, yaitu Net B/C sebesar 1,55; IRR sebesar 23,77% melebihi tingakt suku bunga sebesar 12%; NPV bernilai positif sebesar Rp 84.451.334.345,-; PBP pada tahun ke 6,45 tahun dan HPP bioetanol sebesar Rp 4.058,- /liter. Maka ditetapkan harga jual bioetanol singkong sebesar Rp 6.100,-/liter

Pengembangan bioetanol singkong memiliki prospek yang baik jika didukung oleh kerja sama dan  komitmen dari pemerintah dan stakeholder. Salah satu hal yang dapat dijadikan contoh adalah penjaminan lahan pertanian dan pengembangan teknologi yang direalisasikan berdasarkan sustainability. Hal tersebut perlu dilakukan karena persoalan serius yang dihadapi negara Indonesia adalah tingginya ketergantungan terhadap energi fosil sementara pengembangan bioenergi masih rendah. Padahal, sumber daya alam yang melimpah dapat menjadi peluang bagi negara Indonesia untuk berdikari dalam hal energi.

 

SUMBER:

Artiyani, A., & Soedjono, E. S. (2019, February). Bioetanol dari limbah kulit singkong melalui proses hidrolisis dan fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae. In Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII. ITN Malang.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220814142625-4-363594/jokowi-terima-penghargaan-swasembada-beras-ri-dari-irri

Firdaus, I. S. B. (2020). Proses Produksi Bioetanol dari Singkong dan Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol. Jurnal Teknik Mesin15(02), 29.

Ghazikhani, M & Hatami, M. (2014). Experimental investigation of exhaust temperature and delivery ratio effect on emissions and performance of a gasoline–ethanol two-stroke engine. Thermal Engineering. Elsevier. Vol 2. Pages 82-90

Hendrawati, T. Y., Ramadhan, A. I., & Siswahyu, A. (2019). Pemetaan Bahan Baku dan Analisis Teknoekonomi Bioetanol dari Singkong (Manihot Utilissima) Di Indonesia. Jurnal Teknologi11(1), 37-46.

Lovisia, E. (2022). Bioetanol dari Singkong sebagai Sumber Energi Alternatif. Science and Physics Education Journal (SPEJ6(1), 8-14.

Prasetyo, I., Sarjito, I., & Marwan Effendy, S. T. (2018). Analisa performa mesin dan kadar emisi gas buang kendaraan bermotor dengan memanfaatkan bioetanol dari bahan baku singkong sebagai bahan bakar alternatif campuran pertalite (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Zarkasie, I. M., Prihandini, W. W., Gunawan, S., & Aparamarta, H. W. (2017). Pembuatan tepung singkong termodifikasi dengan kapasitas 300.000 ton/tahun. Jurnal Teknik ITS6(2), A682-A685.

 

Penulis: Anggita Dwi

Ilustrator: Danendra Reza

Editor: Danendra Reza

Exit mobile version