Site icon Persmacanopy.com

Budaya Instan di Kampus: Joki Tugas Menggerus Integritas Mahasiswa

Fenomena joki tugas di lingkungan kampus kian mengkhawatirkan. Dari yang awalnya dianggap sekadar solusi praktis bagi mahasiswa yang sibuk atau kesulitan mengatur waktu, kini praktik ini mulai dinormalisasi seolah menjadi bagian wajar dari kultur akademik. Joki tugas sejatinya merupakan penghinaan terhadap kemampuan berpikir diri sendiri, apalagi sebagai mahasiswa. Di beberapa grup WhatsApp kelas FP UB, nampaknya sudah sangat normal broadcast tentang joki tugas, laporan praktikum, atau hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban setiap mahasiswa. Hal ini menunjukkan kesalahan dalam melihat fungsi tugas kuliah dan sejenisnya. Fakultas pun tampaknya acuh atau mungkin belum mendengar normalnya praktik joki ini.

Joki tugas muncul karena beberapa faktor yang bersifat struktural maupun kultural. Mahasiswa menghadapi tekanan yang tidak sedikit, mulai dari tuntutan kuliah, organisasi, magang, pekerjaan sampingan, hingga aktivitas sosial lainnya. Ketidakmampuan mengatur waktu, menunda pengerjaan, atau kesulitan memahami materi sering mendorong mereka mencari jalan pintas. Penyedia jasa joki hadir sebagai penyelamat instan. Mahasiswa bisa mendapatkan tugas yang selesai tanpa harus menekuni proses berpikir, riset, atau menulis hanya dengan mengeluarkan bayaran tertentu. 

Awalnya praktik ini terlihat menguntungkan karena mahasiswa bisa menyelesaikan tugas dengan cepat, dosen tetap menerima tugas tepat waktu, dan sistem akademik tampak berjalan lancar. Namun kenyataannya keuntungan tersebut bersifat semu dan menyembunyikan dampak negatif jangka panjang yang jauh lebih serius.

Penggunaan jasa joki oleh mahasiswa dapat menggerus kemampuan belajar yang seharusnya dibentuk melalui proses pengerjaan tugas. Tugas kuliah bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan nilai tetapi media untuk melatih berpikir kritis, menulis, menyusun argumen, dan mengelola ide. Saat tugas digantikan orang lain, mahasiswa kehilangan kesempatan itu. Mereka hanya menyantap hasil tanpa memahami bahan atau proses sehingga ketika menghadapi ujian, diskusi, atau tantangan di dunia kerja kemampuan mereka tidak berkembang. Hal ini menimbulkan paradoks pendidikan, mahasiswa tampak memenuhi kewajiban akademik namun sebenarnya gagal membangun kompetensi yang menjadi tujuan utama pendidikan tinggi.

Selain itu, sering kali mahasiswa yang menggunakan jasa joki justru memperoleh nilai lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang mengerjakan sendiri. Situasi ini menimbulkan perasaan kesal, frustasi, dan ketidakadilan di antara mereka yang berusaha sungguh-sungguh. Bukannya memotivasi, kondisi ini justru memperlemah semangat belajar dan membentuk persepsi bahwa upaya keras tidak selalu berbanding lurus dengan hasil. Imbalan instan bagi yang mengambil jalan pintas semakin memicu normalisasi joki tugas.

Praktik joki tugas juga merugikan dosen dan merusak kualitas sistem akademik. Dosen dirugikan karena tidak dapat menilai kemampuan asli mahasiswa. Ketika tugas yang dikumpulkan bukan hasil kerja mahasiswa, indikator penilaian menjadi bias. Evaluasi akademik yang seharusnya mencerminkan pemahaman dan kreativitas mahasiswa justru berubah menjadi formalitas kosong. Lebih jauh hubungan akademik yang seharusnya bersifat kolaboratif dan mendukung perkembangan intelektual mahasiswa menjadi rapuh. Integritas yang menjadi dasar interaksi antara mahasiswa dan dosen pun tergerus. Mahasiswa yang terbiasa mengandalkan jasa joki cenderung menilai tugas sebagai kewajiban semata bukan kesempatan untuk belajar dan berkembang.

Normalisasi joki tugas mempengaruhi kultur kampus secara luas. Ketika praktik ini mulai diterima secara sosial, persepsi mahasiswa tentang etika akademik bergeser. Mereka melihat joki tugas bukan sebagai pelanggaran tetapi sebagai strategi sah untuk mengatasi tekanan akademik. Akibatnya integritas akademik yang seharusnya dijunjung tinggi di kampus mulai luntur. Dalam jangka panjang hal ini menciptakan generasi lulusan yang tidak siap menghadapi dunia profesional. Mereka mungkin memiliki ijazah namun kompetensi dan pengalaman yang seharusnya diperoleh melalui proses belajar nyata tidak terbentuk. Dunia kerja membutuhkan lulusan yang mampu berpikir kritis, memecahkan masalah, dan belajar mandiri kualitas yang jelas tidak diperoleh melalui joki tugas.

Pendidikan tinggi tidak bisa hanya fokus pada output nilai tetapi harus menekankan proses belajar sebagai fondasi kompetensi. Salah satu upaya adalah memperkuat literasi akademik dan manajemen waktu mahasiswa sejak awal kuliah. Dosen dan tenaga kependidikan dapat mendorong mahasiswa memahami nilai intrinsik dari pengerjaan tugas dengan menekankan keterampilan berpikir kritis, riset, dan komunikasi ilmiah. Sistem evaluasi juga bisa diubah agar lebih menekankan proses bukan hanya hasil akhir. Misalnya penerapan portofolio, presentasi, dan diskusi kelompok yang memerlukan kontribusi langsung mahasiswa dapat mengurangi peluang joki tugas.

Lebih dari itu kampus harus membangun kesadaran etika akademik. Integritas bukan hanya slogan tetapi harus menjadi budaya yang melekat. Mahasiswa perlu memahami bahwa integritas akademik berhubungan langsung dengan kemampuan diri dan kredibilitas profesional di masa depan. Pendidikan karakter, seminar, atau workshop tentang konsekuensi joki tugas terhadap karier dan kompetensi bisa membantu mengubah persepsi mahasiswa.

Normalisasi joki tugas merupakan cerminan tantangan pendidikan modern. Tekanan akademik yang tinggi disertai kemudahan akses informasi dan layanan instan sering mendorong jalan pintas. Namun jalan pintas membawa risiko besar. Alih-alih memperkuat kompetensi, ia melemahkan kemampuan berpikir, analisis, dan kreativitas mahasiswa. Mahasiswa yang terbiasa menormalisasi praktik joki akan menghadapi kesulitan ketika dihadapkan pada situasi nyata yang menuntut kemandirian dan inovasi.

Kampus perlu tegas menegakkan etika akademik, memperkuat pendidikan proses belajar, dan menumbuhkan kesadaran bahwa tugas kuliah adalah kesempatan belajar bukan sekadar kewajiban formalitas. Mengembalikan nilai belajar sejati membutuhkan kolaborasi semua pihak, mahasiswa, dosen, dan institusi. Tanpa langkah tegas normalisasi joki tugas hanya akan terus mengikis fondasi pendidikan meninggalkan generasi yang tampak siap tetapi sebenarnya rapuh kompetensinya.

Penulis: Tiara Wahyuni R. Hipi dan Renaldy Fasha
Editor: Rayya Izana Abqariyya
Gambar: Google Images

Exit mobile version