Pelayanan yang ramah dan profesional merupakan hak mendasar setiap mahasiswa, terutama bagi mereka yang dengan penuh tanggung jawab menunaikan kewajibannya membayar biaya kuliah. Namun, hak sederhana yang seharusnya menjadi bentuk penghargaan terhadap mahasiswa ini seringkali terabaikan di ruang-ruang pelayanan kampus. Fenomena pelayanan yang kaku, diskriminatif, bahkan sinis masih menjadi potret nyata di lingkungan pendidikan tinggi, seolah sopan santun dan etika kerja bukan lagi standar dasar, melainkan pilihan yang bisa dinegosiasikan sesuai suasana hati petugasnya.
Fakultas Pertanian sebagai lembaga akademik semestinya menjadi cerminan nilai-nilai profesionalitas dan empati, terlebih dalam hal pelayanan yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa. Namun ironisnya, di balik jargon pelayanan prima dan sistem akademik modern, justru terselip perilaku yang kontras dengan semangat tersebut. Ketika mahasiswa datang untuk menanyakan informasi yang menjadi haknya, yang seharusnya disambut dengan sikap membantu, malah diterima dengan ekspresi sinis, tutur kata dingin, dan respons yang menyepelekan. Inilah titik di mana idealisme pelayanan publik diuji, dan sayangnya, sering gagal pada hal-hal yang paling sederhana yaitu keramahan dan rasa hormat terhadap pengguna layanan.
Pelayanan bukan sekadar rutinitas administratif. Ia adalah wajah pertama dari sebuah institusi, representasi dari nilai-nilai yang dijunjungnya. Ketika seorang mahasiswa datang untuk meminta informasi mengenai penjadwalan atau teknis kelas, ia tidak sedang meminta belas kasihan, melainkan menuntut haknya atas informasi akademik yang memang menjadi bagian dari kewajiban petugas untuk memberikannya. Namun di balik meja pelayanan, terkadang muncul watak yang memperlakukan mahasiswa seolah beban tambahan, bukan pihak yang layak dihormati. Respons kaku, nada tinggi, bahkan kalimat-kalimat sinis yang menyinggung, menjadi bukti bahwa sebagian petugas lupa akan peran mereka sebagai pelayan publik di lingkungan akademik.
Tidak jarang, mahasiswa harus menelan perlakuan diskriminatif hanya karena dianggap “masih semester muda” atau “tidak tahu prosedur”. Pertanyaannya: sejak kapan pelayanan diukur dari semester berapa seseorang? Apakah kedewasaan akademik otomatis menghapus hak untuk diperlakukan dengan hormat? Jika pelayanan hanya diberikan dengan ramah kepada mahasiswa yang dianggap “senior” atau “berpengalaman”, maka disitulah diskriminasi halus bersembunyi di balik seragam birokrasi. Kelelahan, kejenuhan, atau rutinitas memang manusiawi. Namun, menjadikan mahasiswa sebagai pelampiasan emosi adalah bentuk ketidakprofesionalan yang tidak bisa ditoleransi. Tanggung jawab moral seorang petugas publik bukan hanya menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga menjaga etika dan rasa empati terhadap pengguna layanan. Ketika seseorang dibayar dengan uang publik, dalam hal ini dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) maka setiap tindak-tanduknya mencerminkan bagaimana uang itu dipertanggungjawabkan. Pelayanan yang buruk berarti bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan mahasiswa yang membiayai keberlangsungan sistem tersebut.
Lebih parah lagi, ketika sistem evaluasi pelayanan seperti form penilaian atau survei kepuasan disusun sedemikian rupa sehingga hanya bisa dikirim jika mahasiswa memberi nilai tinggi. Ini bukan sekadar kejanggalan teknis, melainkan bentuk pembungkaman opini. Bagaimana mungkin evaluasi menjadi alat perbaikan jika kritik harus dibungkam oleh sistem yang takut menerima kenyataan? Akibatnya, laporan kepuasan selalu tampak indah di atas kertas, sementara di lapangan, mahasiswa masih harus berhadapan dengan pelayanan yang arogan, lamban, dan jauh dari kata ramah.
Kampus bukan sekadar ruang belajar teori, tetapi juga tempat membentuk karakter dan budaya profesional. Jika di dalamnya tumbuh perilaku birokratis yang diskriminatif, maka lembaga pendidikan gagal memberi teladan kepada para mahasiswa yang kelak akan menjadi pelayan publik, pegawai, atau pemimpin di masa depan. Tidak heran jika di luar sana, kita sering menemui mentalitas aparatur yang kaku, sinis, dan merasa lebih tinggi dari masyarakat yang seharusnya mereka layani karena benihnya sudah tertanam di lingkungan akademik yang permisif terhadap arogansi pelayanan. Yang lebih menyedihkan, budaya “cuek” terhadap keluhan mahasiswa seringkali dibungkus dengan alasan klasik “sudah dari dulu begini.” Kalimat itu menjadi mantra pembenaran untuk segala bentuk ketidakefisienan dan ketidaksopanan. Padahal, perubahan selalu dimulai dari kesadaran untuk memperbaiki hal-hal kecil. Keramahan tidak membutuhkan anggaran tambahan, tidak memerlukan kebijakan besar, hanya kemauan untuk menghormati orang lain sebagaimana kita ingin dihormati.
Pelayanan yang baik tidak bisa diukur dari seberapa cepat formulir diisi atau surat ditandatangani, melainkan dari bagaimana mahasiswa merasa dihargai selama proses tersebut. Mahasiswa bukanlah beban kerja; mereka adalah alasan mengapa pekerjaan itu ada. Ketika petugas lupa akan hal itu, maka hilanglah esensi pelayanan publik itu sendiri.
Pelayanan publik di lingkungan akademik seharusnya menjadi cermin nilai kemanusiaan dan profesionalitas yang diajarkan di ruang-ruang kuliah. Sudah saatnya institusi pendidikan, termasuk Fakultas Pertanian, melakukan refleksi mendalam terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas administrasinya. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh, bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada sikap, etika, dan empati petugas terhadap mahasiswa. Kritik bukanlah bentuk kebencian, melainkan panggilan untuk memperbaiki diri. Jangan sampai ruang pelayanan yang seharusnya menjadi tempat membantu, justru berubah menjadi ruang intimidasi yang menumpulkan semangat mahasiswa untuk berinteraksi dengan sistem akademik. Pelayanan yang ramah bukan kemewahan, melainkan kewajiban. Jika institusi pendidikan tidak mampu menanamkan nilai-nilai itu di jantung sistemnya, maka jangan heran bila generasi yang lahir darinya tumbuh tanpa rasa empati terhadap sesama. Karena bagaimana mungkin kita berharap melahirkan generasi beretika, jika lingkungan yang mendidik mereka sendiri abai terhadap etika dalam melayani?
Penulis: Muhammad Ihza Ezra Saputra
Editor: Rayya Izana Abqariyya
Gambar: Google Images