Keterbatasan informasi tidak lagi menjadi permasalahan pada bidang pendidikan atau bidang lain karena aksesnya telah diefisiensikan oleh teknologi. Era digital seperti saat ini memudahkan pengguna internet untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi di berbagai platform. Sadar tidak sadar, hal tersebut menjadi kebiasaan yang memicu pengguna internet untuk menciptakan tren baru, salah satunya tren mengenai “Kuliah adalah Pengangguran dengan Gaya”.
Tren “Kuliah adalah Pengangguran dengan Gaya” bermula ketika orang-orang yang tidak menempuh bangku kuliah merasa dirinya lebih baik daripada yang berkuliah. Mereka merasa lebih baik dari segi ekonomi karena telah memiliki pekerjaan dan berpenghasilan, sehingga membuat mereka memandang para sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan lebih buruk karena menyia-nyiakan waktu.
Sarjana adalah gelar bagi mereka yang menamatkan program pendidikan sarjana (S1) di perguruan tinggi. Biaya UKT yang dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta tidak jarang membuat segelintir orang menganggap bahwa kuliah hanya menghabiskan uang tanpa ada jaminan pekerjaan. Dikutip dari katadata.co.id yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi serapan tenaga kerja lulusan universitas hanya sebesar 10,18% pada Agustus 2021 dimana setara dengan 13,34 juta pekerja di Indonesia. Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan karena terdapat faktor lain seperti ketimpangan antara lapangan pekerjaan dan angkatan kerja, khususnya bagi sarjana. Pendapat lain mengenai tren TikTok “Kuliah adalah Pengangguran dengan Gaya” dari berbagai perspekstif adalah sebagai berikut.
April Akbarani – Mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
“Tren TikTok tersebut mungkin mencoba mengangkat isu bahwa beberapa orang berhasil tanpa gelar sarjana, yang memang benar adanya. Namun, menyimpulkan bahwa kuliah sama dengan pengangguran bisa memberikan pandangan yang sempit tentang nilai pendidikan tinggi. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, kuliah merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri secara akademis dan profesional melalui keterlibatan dalam organisasi, magang, penelitian, dan lain sebagainya. Pernyataan yang lebih tepat menggambarkan bagaimana perkuliahan itu adalah kuliah sebagai investasi diri untuk berkontribusi terhadap masyarakat. Mengenai anggapan yang menyatakan bahwa sarjana sulit mendapatkan pekerjaan, menurut saya tidak sepenuhnya akurat. Meskipun pasar tenaga kerja semakin kompetitif, peluang mendapatkan pekerjaan masih terbuka lebar selama sarjana tersebut mampu menggabungkan gelar yang diperoleh dengan pengalaman yang relevan. Perkembangan teknologi yang memudahkan akses terhadap pendidikan alternatif (kursus online dan pelatihan sertifikasi) juga memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak sarjana untuk mendapatkan pekerjaan.”
Lia Rahma Fauziah – Mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya
“Ada beberapa hal yang saya setujui dan tidak. Pada dasarnya, arti pengangguran adalah tidak bekerja dan berpenghasilan. Tidak sedikit mahasiswa yang hanya berkuliah tanpa bekerja, jadi bisa dibilang mahasiswa juga pengangguran. Namun, ada arti lain dari pengangguran, yaitu tidak melakukan apa-apa. Kita sebagai mahasiswa berangkat pagi dan tidak jarang juga pulang pagi untuk kuliah berikut mengerjakan tugas dan ikut kepanitiaan. Tidak adil jika mahasiswa disamakan dengan pengangguran yang orang pikir hanya rebahan atau pergi ke sana ke sini tanpa tujuan. Mengenai cepat tidaknya dapat kerja itu tergantung. Lulusan perguruan tinggi memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan posisi yang menjanjikan di industri karena seorang sarjana memiliki pengetahuan dan keahlian yang lebih banyak daripada lulusan lain. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang tidak sarjana untuk mendapatkan pekerjaan, selama mereka mau meningkatkan kualitas dan memperbanyak pengalaman. Apalagi kalau lulusan SMK yang sudah mendapatkan pelatihan kerja, seperti PKL. Otomatis mereka sudah tau bagaimana kondisi kerja di lapangan secara langsung. Setiap orang berhak berpendapat, tapi dilihat dulu pendapat yang diutarakan bisa menyakiti orang lain atau tidak. Apa salahnya jika kita saling menghargai keputusan dan jalan hidup masing-masing. Lebih baik membuat konten yang bermanfaat bagi orang lain.”
Huda Ismanu – Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas PGRI Ronggolawe dan Pekerja Bengkel
“Saya tidak setuju dengan tren tersebut karena kembali lagi ke mahasiswanya sendiri. Jika mahasiswa bisa mengisi waktu luang dengan bekerja atau kegiatan bermanfaat lain daripada males-malesan, ya nggak jadi pengangguran. Hal ini juga berlaku waktu sarjana mencari pekerjaan. Semua tergantung usaha, pekerjaan nggak harus sesuai jurusan karena banyak juga sarjana yang berwirausaha. Saya merasa orang yang tidak sarjana lebih gampang mencari pekerjaan karena kalau nggak kuliah semua pekerjaan bisa dikerjakan walaupun serabutan. Namanya juga cari kerja, ya dari bawah dulu baru ke atas. Sekarang banyak lowongan pekerjaan yang mementingkan pengalaman kerja minimal 2 tahun di bidang apapun. Jadi, tidak ada halangan bagi mereka yang tidak sarjana untuk mendapatkan pekerjaan. Jangan berhenti mencoba karena omongan orang lain. Jangan takut dengan hasil selagi kita berproses. Insyallah, cita-cita yang kita impikan akan terkabul selama kita mengusahakannya dengan cara yang baik dan doa yang menyertai.”
Muhammad Imam Rifa’i – Kuli Bangunan
“Mungkin orang awam menganggap kuliah adalah formalitas yang hanya menunda pekerjaan. Saya pribadi tidak setuju dengan pernyataan tersebut karena jika berpikir jangka panjang, kita masih belum tau bagaimana hasil akhirnya. Terlebih sarjana memang memiliki jaminan pekerjaan yang lebih tinggi. Penting bagi sarjana untuk membaca peluang, dahulukan mendapatkan skill daripada gaji karena jika hanya mengandalkan ilmu tanpa keahlian dan riwayat terjun ke lapangan juga akan sulit kedepannya. Bagi yang tidak sarjana jangan berkecil hati, selama kita masih berusaha dan berani mencoba Insyallah kita mendapatkan apa yang dicita-citakan. Fokus saja dengan jalan masing-masing, nggak usah merendahkan orang lain. Tetap komitmen sama niat awal kuliah, harus berani hancur sebelum sukses.”
Alan Saputra – Kennel Boy
“Setau saya, tren TikTok tersebut adalah tren antara bos muda dan mahasiswa. Saya pribadi tidak setuju dengan tren tersebut karena semua sudah ada jalannya masing-masing, ada yang ingin kuliah dan ada yang ingin jadi pebisnis. Tapi, selagi bisa kuliah ya kuliah dulu karena pendidikan itu penting. Mengenai gampang tidaknya sarjana mendapatkan pekerjaan itu tergantung. Ada yang gampang lewat jalur orang dalam dan ada yang memang karena kemampuannya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Toh, sekarang ada yang kuliah sambil kerja untuk mengurangi beban orang tua dan menambah uang jajan. Jadi, jangan saling merendahkan karena hidup itu sawang sinawang. Semuanya saling butuh, mahasiswa butuh pekerja, pekerja ya butuh mahasiswa.”
Lila Jelita Alzena – Karyawan Pabrik dan Yusi Febriari – Karyawan Toko
“Kuliah itu penting untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Lulusan sekolah bisa langsung diterima saat mendaftar di pabrik rokok misalnya, hanya jika mereka memiliki pengalaman. Penempatannya pun masih di bagian produksi bukan bagian kontrol atau administrasi. Hal tersebut ditambah dengan syarat minimal penerimaan karyawan tetap adalah D3 atau S1. Mereka juga menyebutkan tanggapan menggelitik terhadap tren tersebut bahwa alasan pekerja yang merendahkan mahasiswa mungkin karena mereka juga ingin kuliah tapi terhambat ekonomi dan alasan mahasiswa yang merendahkan non-mahasiswa mungkin karena lelah dengan tugasnya.”
Beberapa pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing yang harus kita hargai. Sarjana bukan tolak ukur kesuksesan karena sukses sebenarnya berangkat dari niat, usaha, dan komitmen. Sudah sewajarnya sebagai makhluk sosial, kita saling membersamai proses masing-masing secara harmonis. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan kerja sama dari seluruh pihak untuk mengatasi rendahnya penyerapan tenaga kerja, salah satunya pelibatan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pihak swasta. Putri (2018) menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan peran BLK dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia, BLK sebaiknya melakukan riset terhadap kebutuhan tenaga kerja dan mendesain pelatihan dengan instruktur terkualifikasi sehingga dapat tersertifikasi di tingkat regional dan nasional.
Menanggapi serapan tenaga kerja sarjana yang rendah, Prof. Dr. Paulina Pannen, Staf Ahli Bidang Akademik, Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi Republik Indonesia dalam sesi dialog di Sampoerna University pada 25 Oktober 2017 menyatakan bahwa, tiga langkah perguruan tinggi untuk meningkatkan serapan tenaga kerja sarjana adalah meluncurkan inovasi yang dapat diserap pasar, mempersiapkan sarjana untuk terjun ke lapangan, dan turut berkontribusi dalam perbaikan ekonomi negara.
Sumber:
Persentase Pekerja Lulusan Universitas di Indonesia Semakin Meningkat. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/10/persentase-pekerja-lulusan-universitas-di-indonesia-semakin-meningkat. Diakses pada 20 April 2024.
Putri, S. Y. (2018). Upaya Pemerintah Indonesia di Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Meningkatkan Daya Saing Sektor Ketenagakerjaan. Jurnal Lemhannas RI, 6(3), 19-33.
Penulis: Anggita Dwi dan Nasyihatul Khoiriyah
Dokumentasi: Danendra Reza
Editor: Danendra Reza