Kekerasan seksual dan pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran HAM dan menjadi masalah serius di masyarakat akhir-akhir ini dikarenakan siapapun bisa menjadi seorang korban ataupun pelaku. Tindakan pelecehan seksual memiliki pengertian berbeda dengan tindakan kekerasan seksual, dimana pada kekerasan seksual meninggalkan bukti secara fisik kepada korban sedangkan pelecehan tidak meninggalkan bukti secara fisik sehingga terkesan hanya dugaan dan perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut untuk membuktikannya. Pada dasarnya, keduanya sama-sama terjadi akibat adanya paksaan atau tanpa adanya persetujuan dari kedua belah pihak sehingga merugikan pada sisi korban.
Reno Fitria Sari selaku Forensic Analyst Kasandra Associate saat kami wawancarai menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kekerasan seksual dan pelecehan seksual. “Jika pada kekerasan seksual, korban mendapatkan dampak fisik atau luka sebagai bentuk daya upaya atas perlakuan seksual pelaku tanpa adanya persetujuan kepada korban. Sedangkan pelecehan seksual belum tentu mengandung unsur kekerasan seksual dan belum tentu mendapatkan cedera fisik serta menjadi tingkatan terendah dari tindakan seksual yang melanggar hukum serta paling mudah dan banyak sekali terjadi,” ungkapnya.
Munculnya ketidaknyamanan menunjukkan bahwa korban telah dilecehkan secara seksual sekaligus menunjukkan bahwa tindakan tersebut lebih mengarah kepada trauma secara psikis. Terjadi kesalahpahaman pada masyarakat dimana perilaku pelecehan seksual seringkali dipandang wajar seperti siulan kepada orang lain dianggap lumrah sebagai pujian kepada orang tersebut. Pandangan seperti ini membuat para korban enggan melapor karena dianggap lemah dan tidak berdaya untuk melawan sehingga pada akhirnya, mereka hanya bisa diam terlebih pada skala pertemanan. Normalisasi pelecehan seksual di lingkungan pertemanan serigkali dilakukan dengan berlindung dibalik kata candaan semata yang mana pada sisi korban meninggalkan dampak buruk terhadap psikis mereka. Normalisasi dan rasa enggan untuk melaporkan atas tindakan tersebut membuat kasus ini terus meningkat setiap tahunnya.
Normalisasi terkait pelecehan seksual sudah seharusnya dihilangkan terutama pada lingkungan pertemanan dengan melakukan edukasi dan menerapkan aturan yang tegas kepada para pelaku serta memberikan perlindungan kepada para korbannya. Dengan adanya edukasi diharapkan, korban berani melapor dan tidak menutup-nutupinya karena merasa ketakutan padahal yang salah adalah pelakunya bukan korban. Sedangkan untuk para keluarga korban sebaiknya mendukung dan tidak menghakimi korban yang berani speak-up terkait pelecehan maupun kekerasan seksual yang menimpa dirinya.
Selanjutnya yaitu dari pihak penegak hukum, diperlukan adanya regulasi yang tegas dengan hukuman berat terkait kekerasan ataupun pelecehan seksual dan tentunya berpihak pada korban, dengan memakai perspektif hak asasi manusia. Dalam realisasinya untuk mewujudkan aturan tersebut seringkali terhalang oleh kepentingan segelintir golongan yang tidak menginginkan hadirnya regulasi tersebut untuk melanggengkan budaya patriarki di Indonesia. Terakhir untuk masyarakat diharapkan turut serta mendukung dan mengawal proses yang berlangsung apabila ada korban yang berani melapor dan bukan malah menghakiminya.
Penulis + Infografis : Moch. Rio Rivaldo
Editor : Shanti Ruri Pratiwi
Gambar bersumber dari DewiKu.com/Ema Rohimah