Mulai Kasus Udin hingga Diananta, Potret Belum Terwujudnya Kemerdekaan Pers

ilustrasi oleh: Wikan Agung

Dalam buku Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi karangan Henry Subakti, mendefinisikan Kemerdekaan Pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Namun hingga 75 Tahun apakah pers sebagai instrument pilar demokrasi keempat, sudah benar benar merdeka?.


Refleksi Kasus Wafatnya Wartawan Udin
Jika kita flashback pada tanggal 16 Agustus 1996, maka itulah malam terakhir seorang wartawan surat kabar Harian Bernas Yogyakarta, yang memiliki nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin atau biasa dipanggil Udin. Udin dihabisi orang tak dikenal di depan rumah kontrakannya di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis KM 13, Yogyakarta.


Sebelum menemui ajalnya Udin sempat menulis suatu beberapa liputan yang berjudul 3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul, Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan, Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo dan Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis, Proyek Jalan 2 km, Hanya Digarap 1,2 km. Akibat tulisan-tulisan tersebut membuat “ketir-ketir” kekuasaan era orde baru waktu itu, sehingga atas konsistensinya dalam menyuarakan isu-isu antikorupsi dan vokalnya terhadap kebenaran beliau dianugerahi Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) untuk perjuangannya dalam menegakkan kemerdekaan pers, pada 22 Juni 1997.


Namun hingga 24 Tahun ini, Pemerintah masih belum mampu mengusut tuntas dalang pembunuhan Udin yang sebenarnya, pengadilan hanya menetapkan Dwi Sumaji alias Iwik yang notabene dijadikan tumbal untuk melindungi nama baik dan kepentingan politik. Sehingga hingga saat ini pelaku sebenarnya masih berkeliaran di luar sana.
Kekerasa Terhadap Jurnalis
Kasus Udin bukanlah satu-satunya kasus kekerasan terhadap jurnalis. Selama beberapa tahun terakhir jurnalis kerap kali mengalami banyak represi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2019 Aliansi Jurnalis Independen mencatat selama 2009 – 2019 terdapat 570 kasus terhadap jurnalis.

Data : Catatan Akhir Tahunan AJI 2019

Berbagai pelaku dari berbagai elemen turut terlibat dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pelaku terbanyak selama 2019 adalah Polisi. Karena itu, AJI menobatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai “musuh kebebasan pers” pada tahun 2019.

Selain itu belum genap 1 Tahun di 2020, AJI sudah menerima 13 laporan kekerasan terhadap jurnalis. Kasus yang paling menarik perhatian adalah kasus Diananta.

Diananta : Buruknya Pers era Jokowi
Diananta Putera Sumedi mantan pimpinan redaksi Banjarhits.id diputus bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan dengan perkara nomor 123/Pid.Sus/2020/PN.KTB, Senin (10/8/2020). Pria berusia 36 tahun itu diganjar hukuman penjara tiga bulan 15 hari.
Diananta melanggar Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” akibat berita yang berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.


Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim menjelaskan apa yang dilakukan Diananta merupakan kegiatan jurnalistik yang tidak bisa dibawa ke pidana karena dilindungi Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers. Dan itu sudah dilakukan. Dilansir dari berita Tirto.id : Vonis Jurnalis Diananta: Mencoreng Kebebasan Pers di Era Jokowi 14 Agustus 2020

Dari Kasus Diananta kita melihat bahwa instrumen penerapan UU ITE yang bersifat karet dan dapat menjerat siapa saja karena parameter dalam menetapkan tersangka yang digunakan tidak jelas. Catatan Akhir Tahunan AJI 2019 menetapkan UU ITE dan KUHP sebagai faktor rendahnya Indeks Kebebasan Pers di Indonesia yang hanya menempati posisi 120 dari 180 negara. Maka dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia yang sudah 75 tahun masih belum benar benar merdeka.


Referensi
Catatan Akhir Tahunan Aliansi Jurnalis Indpenden 2019
Henry Subaktio and Rachmah ida. 2012. Komunikasi politik, media, dan demokrasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
https://tirto.id/pembunuhan-wartawan-udin-adalah-bukti-keberingasan-orde-baru

Penulis : Wikan Agung N
Editor : Shanti Ruri P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com