Judul : (Our Mothers Land)
Durasi : 55 menit 7 detik
Sutradara : Leo Plunkett
Produksi : The Gecko Project dan Mongabay
Seotang bijak berkata “Seorang wanita yang kuat membela dirinya sendiri, wanita yang lebih kuat membela orang lain”. Itu mungkin menjadi salah satu kalimat yang dipegang oleh beberapa wanita yang diceritakan dalam film “Our Mother’s Land” karya jurnalis senior Febriana Firdaus. Bertahun tahun lamanya beberapa wanita di Pegunungan Kendeng memperjuangkan hak lingkungan yang akan dirampas perusahaan semen raksasa milik negara. Pada April 2016 Istana negara sempat digemparkan dengan adanya aksi menyemen kaki oleh sembilan aktivis perempuan yang berasal dari Pegunungan Kendeng. Aksi protes yang dibilang ekstrem tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Sudah berpuluh tahun mereka berjuang untuk melindungi lingkungan dan tanah mereka dari rakusnya perusahaan semen yang ingin mendirikan perusahaan di tanah pertanian dan tanah tempat tinggal mereka. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat tentu bukan tanpa alasan, mereka menilai jika didirikan pabrik semen di daerah mereka maka kesehatan lingkungan dan keseimbangan lingkungan terutama tanah dan air akan terancam. Keberhasilan aksi Kartini kendeng memantik banyak semangat kartini-kartini lain yang sedang berjuang disegala sektor untuk menemukan arti keadilan.
Di penjuru Indonesia ratusan pedesaan sedang mengalami konflik dengan korporasi yang ingin menguasai sumber daya mereka. Perlawanan perempuan tentu bukanlah hal yang mudah, banyak sekali konsekuensi yang harus diterima. Konsekuensi tidak hanya hadir dari pihak yang dilawan saja, namun seringkali pemikiran masyarakat yang konservatif dan patriarkis acapkali menghalangi langkah baik mereka. Memang bukan perkara yang mudah, berjuang demi kemaslahatan masyarakat yang bingung mencari makna keadilan.
Lodia Oematan, salah satu mama penenun napak tilas. “Lebih baik mama-mama menenun agar tetap punya hak milik. Menahan dengan tenun. Menolak, menolak, bor batu di samping kaki mama. Selama pendudukan diserang preman, dilindungi aparat,” ingatnya. Salah seorang perempuan pemberani masyarakat Mollo yang melawan ketidakadilan dengan tenun yang berasal dari pegunungan Timor menceritakan betapa ganasnya perusahaan tambang ketika berusaha menguasai tanah milik mereka. Salah satu tokoh gerakan ini adalah Aleta Baun yang kemudian diapresiasi dengan penghargaan internasional. “Saya anak kepala suku tapi tak mendapat mandat karena perempuan. Berhasil merangkul, berjuang melawan tambang,” ujarnya. Menurutnya hal penting dari pengalamannya adalah penguatan masyarakat adat untuk memperdalam filosofi lingkungan. “Saya belajar dari alam daripada manusia yang membohongi saya. Pengetahuan unik dan mujarab, bukan buku. Warga harusnya menjual apa yang mereka hasilkan buka tanah atau gunung,” kata Aleta.
Setelah melakukan peliputan di Pegunungan Kendeng dan juga Pegunungan Timor, Febriana Firdaus dan tim melanjutkan misinya untuk meliput menuju Sulawesi. Eva Bande adalah perempuan yang akan ditemui dan berbincang dengananya. Sosok perempuan yang menggambarkan keberanian yang dapat dilihat dari tinjunya yang menantang di dalam sel penjara. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat ketika dijalankan di dalam sempitnya sel, Eva Bande ditahan hanya karena menghasut melakukan organisisr petani untuk melawan perusahaan kelapa sawit yang hendak merebut tanah pertanian milik warga sipil. Upaya yang dilakukan masyarakat untuk tetap mempertahankan tanah konflik adalah dengan tetap bertahan dengan berkebun di tempat tersebut. Namun perjuangan mempertahankan lahan konflik tidak semudah itu, upaya teror dari perusahaanpun tidak segan dilakukan kepda petani melalui pengiriman polisi, militer dan juga preman bayaran. Upaya brutal lain yang dilakukan aparat untuk melawan protes masyarakat tani tidak sampai di sini, penangkapan suami dan anak-anakpun pernah dilakukan pada suatu malam. Keadaan tersebut memaksam perempuan (istri) untuk tetap berjuang menafkahi keluarga mereka.
Tujuan akhir Febrian dalam perjalan ini adalah Aceh, menemui sosok perempuan yang memiliki kisah perlawanan yang tidak kalah inspiratif. Sebagai perempuan muda dan peneliti, Farwiza adalah perwakilan anak muda berpendidikan tinggi dan peduli lingkungan. Dalam narasinya, Febriana mengatakan bahwa Farwiza adalah contoh anak muda yang tidak harus pergi ke Jakarta terlebih dahulu untuk memulai perubahan. Farwiza seolah sengaja ditempatkan di bagian akhir film sebagai sebuah refleksi bagaimana baiknya anak muda kembali memahami permasalahan lingkungan. Seringkali bumi digambarkan sebagai sosok Ibu. Bukan tanpa alasan sifat seorang ibu selalu memberi, melindungi walu sering disakiti, mungkin kata tersebut cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi Ibu Bumi kita saat ini.
Penulis : Achmad Albaihaqy
Editor : Shanti R.P
Gambar bersumber dari kanal youtube The Gecko Project