Petani di Persimpangan Jalan: Reforma Agraria, RUU Pertanahan, dan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan
Petani di Persimpangan Jalan: Reforma Agraria, RUU Pertanahan, dan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan
Oleh : Wikan Agung N.
Sejarah terus berulang seiring waktu yang membuka ramalan masa depan, bahkan Karl Marx menyebutkan sejarah akan menetukan suatu materi substansi di masa depan berdasarkan periodisasi waktu. Lagaknya seperti pertanian Indonesia kini sedang berada di persimpangan jalan yang suram. 59 tahun silam salah satu Undang-Undang (UU) emas agraria telah disahkan yakni UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.UU tersebut telah membunuh kapitalisme kolonial yakni Agrarische Wet –Staatsblad 1870 No. 55 yang tujuanya membuka peluang korporasi untuk mendapatkan tanah berupa hutan dari pemerintah juga penggunaan tanah milik rakyat. Peraturan ini sepertinya akan terulang kembali namun dengan cermin yang berbeda.
Baru kemarin Presiden Jokowi menyebutkan Reforma Agraria sebagai visi misi kepemimpinannnya dengan menerbitkan Perpres No. 86 tentang Reforma Agraria yang diharapkan mampu menjadi instrumen penyelesaian masalah agraria di Indonesia. Namun apa daya implikasi UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tidak mampu terwujud dengan adanya imperialis gaya baru yakni RUU Pertanahan dan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB). Jika ditelisik lebih dalam banyak pasal yang mampu menimbulkan hilangnya kedaulatan rakyat. Sebagaimana dalam pasal 42-45 RUU Pertanahan dimana pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan tanah berbasis hak menguasai negara. Pasal ini sangat kontroversial karena pemerintah diberi hak menerbitkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk menjadi tanah negara. Ini seperti zaman kolonial dimana tidak ada bedanya dengan Agrarische Wet. Di samping itu dalam RUU SBPB petani juga dibatasi ruang geraknya dimana pada pasal 27 Ayat 3 menyebutkan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik harus melaporkan ke pemerintah. Pasal ini sangat menghambat petani dalam mengembangkan benih mandiri dan lebih pro terhadap pihak korporasi.
RUU Pertanahan dan RUU SBPB merupakan antitesis dari bertolak belakangnya UU Pokok Agraria. Saat ini petani sedang berada di persimpangan jalan, bingung dan takut atas rentannya kriminalisasi. Kedua RUU ini mengancam petani yang sedang berjuang mempertahankan tanahnya dengan ancaman pidana dan denda besar. Hal ini menandakan lampu kuning pada demokrasi karena negara sudah terlalu lama sebagai pramusaji bagi pemilik modal maupun investor. Apakah peringatan hari tani hanya digunakan sebagai ajang formalitas? Melihat miris keadaan di Negeri Agraris.