Site icon Persmacanopy.com

PKKMB FP UB 2025: Tradisi, Kontroversi, dan Pertanyaan tentang Militer di Kampus

Malang (17/08/2025)Di tengah memanasnya isu penolakan militer memasuki ruang sipil dan ruang akademik, Program Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya atau POSTER FP UB 2025 kembali menuai sorotan publik. Tahun ini, panitia menghadirkan Komandan Distrik Militer (Dandim) Malang sebagai pemateri utama dengan materi berjudul “Menguatkan Nasionalisme dan Patriotisme sebagai Pondasi Melawan Radikalisme di Zaman Modern.”

Kehadiran militer dalam acara orientasi mahasiswa baru ini segera memicu kontroversi. Pasalnya, beberapa waktu sebelumnya, Kementerian Kastrat BEM FP UB sempat mengunggah sikap resmi mengenai penolakan militerisasi di ruang sipil melalui akun media sosial. Maka, keputusan panitia menghadirkan Dandim justru dianggap kontradiktif dengan semangat yang tengah digaungkan mahasiswa sendiri.

Kontroversi ini semakin menguat saat pelaksanaan hari kedua POSTER FP UB 2025. Sejumlah mahasiswa pertanian melakukan aksi penolakan dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Lawan Militerisasi di dalam Kampus” serta menyanyikan lagu buruh tani secara serempak. Aksi tersebut menjadi penegasan bahwa kehadiran aparat militer di ruang kampus tidak dapat diterima begitu saja, terutama dalam konteks Dwifungsi ABRI yang sejak lama menuai kritik.

Di sisi lain, materi yang disampaikan sejatinya menekankan pada upaya mencegah paham radikal berbasis agama. Dandim Malang menjelaskan bagaimana mahasiswa perlu menyikapi ujaran kebencian atau ajakan intoleran, serta menjadikan fenomena tersebut sebagai pelajaran untuk memperkuat daya kritis. Meski topik ini dianggap penting, kehadiran militer sebagai narasumber tetap menimbulkan tanda tanya: mengapa harus TNI yang menyampaikan pesan tersebut?

Menanggapi polemik tersebut, Ketua Pelaksana POSTER FP UB 2025, M. Rafif Bintang Setyawan, memberikan penjelasan. Ia menegaskan bahwa istilah “militerisasi ruang sipil” tidak bisa disamakan dengan kehadiran militer di kampus.

“Militerisasi berarti militer menggantikan peran masyarakat sipil, seperti TNI yang menjadi guru atau dosen. Sedangkan kehadiran militer di kampus dalam konteks PKKMB hanya sebatas memberi semangat kepada Satvika Mandala 65 (nama angkatan mahasiswa baru FP UB 2025) dengan mendatangkan pemateri dari Dandim Malang,” ungkap Bintang.

Namun, penjelasan ini tidak serta-merta meredakan kritik. Banyak pihak tetap menilai kehadiran aparat militer di ruang akademik adalah bentuk penetrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai kampus sebagai ruang bebas berpikir. Apalagi, menurut sejumlah mahasiswa, masih banyak sosok lain yang bisa dihadirkan untuk membahas nasionalisme tanpa harus melibatkan militer.

Bintang berdalih bahwa pemilihan Dandim sudah menjadi semacam “budaya” di Fakultas Pertanian. “Keresahan ini sudah kami konsultasikan dengan panitia dosen. Kami sepakat bahwa militerisasi dan militer masuk kampus adalah dua hal berbeda. Selain itu, ini juga tradisi lama. Bicara bela negara, TNI memang aparat penegak aturan sehingga seakan-akan kita bisa diberi semangat untuk taat dan cinta tanah air,” jelasnya.

Selain kontroversi narasumber, POSTER FP UB 2025 juga menuai kritik akibat aturan panjang rambut mahasiswa baru. Mahasiswa laki-laki diwajibkan mencukur rambut dengan panjang maksimal 3 cm, menyerupai potongan rambut TNI. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: apakah orientasi mahasiswa baru ini diam-diam mengadopsi sistem pelatihan militer?

Bintang menepis tudingan tersebut. Menurutnya, aturan rambut bukan untuk meniru militer, melainkan untuk membedakan mahasiswa baru dengan mahasiswa lain, sekaligus memudahkan identifikasi jika ada pelanggaran aturan.

“Kalau mahasiswa perempuan bisa dikenali dari atribut. Untuk laki-laki, tahun lalu banyak yang kecolongan melanggar aturan. Maka tahun ini kami terapkan aturan rambut agar kesadaran disiplin tumbuh dari diri mereka sendiri,” tegasnya.

Aturan ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa baru. Panitia mahasiswa juga diwajibkan menjaga kerapian rambut sebagai bentuk keteladanan, meskipun tidak diwajibkan sependek mahasiswa baru. “Tidak harus sependek maba, tapi harus rapi. Masa kami membuat aturan, tapi tidak disiplin,” tambahnya.

Menutup keterangannya, Ketua Pelaksana POSTER FP UB 2025 menyampaikan harapan agar ke depan materi yang lebih relevan dengan isu pertanian dapat diangkat. Menurutnya, pembahasan mengenai perubahan iklim, mitigasi bencana, serta cinta lingkungan sangat penting untuk ditanamkan pada mahasiswa baru.

“Harapan kedepannya semoga semakin banyak isu-isu di bidang pertanian yang dibahas seperti, bagaimana pengenalan kita cinta kepada alam, bagaimana kita perhatian kedapa bencana, bagaimana kita perhatian kepada climate change. Semoga materi dan guest star kedepannya menghadirkan tokoh-tokoh lingkungan,” ujarnya.

Dengan demikian, meski rangkaian pertama POSTER FP UB 2025 telah terlaksana, perdebatan soal kehadiran militer di ruang kampus tampaknya masih akan terus berlanjut. Apakah ini bentuk warisan budaya yang patut dilestarikan, ataukah praktik militerisasi terselubung yang harus dihentikan, tetap menjadi pertanyaan besar bagi sivitas akademika.

Penulis: Ummul Khoir Azzahra

Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra

Gambar: Zahira Nur Shadrina & Ummul Khoir Azzahra

Exit mobile version