Site icon Persmacanopy.com

PTN-BH, Krisis Pangan dan Krisis Gizi Generasi Penerus Bangsa

Oleh Alif Nur Rizki

 

Mari kita awali segala sesuatu ini dengan membaca doa menurut agama dan kepercayaan yang lagi tren akhir-akhir ini. Semoga kita senantiasa selalu diberi kekuatan dan semangat untuk terus berjuang menghadapi derasnya arus pelik kehidupan urban. Arus nyata yang tak berwujud itu kian hari kian menggempur individu-individu dengan rasa sakit yang berkepanjangan. Mulai dari masalah perut, percintaan, pendidikan dan masalah lain yang senantiasa menemani  para kaum urban modern di tengah perubahan zaman. Saya berharap kita semua bisa kuat menghadapi itu semua, sekuat rasa rinduku padanya yang tak kunjung mendapat jawaban. Para pembaca Mading CANOPY yang budiman, izinkan saya ngelantur sedikit dalam forum ini.

Akhir-akhir ini salah satu kampus yang cukup besar di kota malang sedang kalang kabut. Kampus yang konon memiliki jumlah mahasiswa terbanyak se-endonesa ini kembali digencarkan dengan isu yang hampir sama pada tempo 10 tahun yang lalu. Itu semua terkait rencana strategis kampus ini menuju ke arah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada 2019. Maka maraknya perbincangan isu ini kembali muncul ke permukaan. Kampus ini pun (katanya) begitu serius mempersiapkan rencana strategis itu untuk mampu dicapai (walau Pak Rektor bilang kalau isu ini tidak perlu ditanggapi terburu-buru). Isu yang pada tahun 2005 lebih tersohor dengan sebutan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) entah mengapa sedang menjadi perbincangan serius dilingkungan aktipis-aktipis kampus yang kerap berada dibalik gedung. Tak main-main, isu bahwa kampus ini begitu tertutup dan kerap kali bar-bar ini telah meluas ke seluruh dunia, maka para aktipis itu kemudian sedikit berhati-hati ketika membahas tentang masalahnya sendiri.

Pada dasarnya, PTN-BH ini mengarahkan jalannya pelaksanaan Perguruan Tinggi yang mandiri secara manajemen, finansial sampai ke otonomi kampus di bidang akademik. Pembahasan tentang akan naiknya biaya pendidikan adalah isu kebanyakan yang dibahas selain beberapa ketentuan lain yang cukup kontroversi ketika suatu kampus sudah menjadi PTN-BH.

Namun bukan itu yang ingin saya jelaskan. Saya lebih senang melanjutkan ke arah ketika kampus sudah menjadi PTN-BH, dan biaya kuliah itu menjadi mahal. Saya belum berbicara tentang masalah nilai jual tahu telur yang akan naik, atau harga nasi goreng yang kian melambung seiring perubahan iklim ekonomi pasar yang segalanya naik hingga harga daleman pun naik. Banyak implikasi yang akan terjadi ketika kampus benar-benar telah menjadi PTN-BH. Sedikit pemahaman itu seperti hukum keterikatan.

Yang pertama, ketika biaya kuliah sudah mahal berarti hanya kaum-kaum tertentu saja yang mampu mengakses pendidikan itu. Walau sebenarnya ada jalur lain yang tersedia bagi kaum-kaum miskin untuk memperoleh pendidikan salah satunya beasiswa, bidikmisi dan lain-lain. Yang kedua, adalah ketika hanya kaum-kaum elit saja yang memenuhi kuota disalah satu kampus, rantai berikutnya adalah banyaknya permintaan akan kos-kosan mewah. Jelas, mana mau anak juragan milyarder dari kota hinggap di kos-kosan macam pelosok Kertosariro yang kamarnya kerap berjamur, sempit dan harus berada di atas WC jongkok terlebih dahulu sebelum menabung, itu pun digunakan secara bergantian. Implikasi selanjutnya adalah ketika permintaan akan kos-kosan mewah itu tinggi, maka banyak lahan produktif yang akan berganti menjadi blok-blok perumahan dengan mobil-mobil yang terparkir di depannya. Tempat paling standar bagi kaum elit hidup di rantau. Maka permintaan akan ketersediaan properti pun melambung. Bisnis properti akan bertumbuh pesat hingga pertumbuhannya harus merenovasi bangunan ataupun mengeruk lahan garapan untuk dijadikan lahan bangunan baru. Kalau seperti itu, lahan-lahan pertanian akan kian tergerus. Misi pemenuhan pangan rakyat akan sulit, akhirnya krisis pangan akan menjadi isu baru, lalu kita hanya mampu mengimpor bahan pangan, lalu kita ahhh sudahlah. Singkatnya seperti itu jika biaya pendidikan itu semakin tinggi. Hubungan antara pendidikan dan krisis pangan itu benar-benar nyata. Kira-kira bentuk hubungannya LDR-an.

Implikasi lain ketika biaya kuliah itu mahal adalah tersiksanya kaum-kaum mahasiswa menengah ke bawah macam awak CANOPY. Kaum-kaum terpinggirkan macam ini begitu berjuang memenuhi kebutuhan perutnya sebisa apa pun. Kadang sekedar mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Ada beberapa yang menjadi wartawan ataupun berwirausaha berjualan beras organik hanya sekedar tambah-tambah untuk biaya mengisi perut.  Kaum-kaum akademisi seperti ini sedikit tidaknya jarang makan tahu telur, sayuran mantap ala Pudji Mulyo atau pun salad-salad bergizi di akhir bulan. Mengapa? Karena persediaan uang jajannya pun telah habis bahkan dipertengahan bulan. Wajar saja, mahasiswa rantau selalu resah ketika akhir bulan datang sedangkan awal bulan tak juga menghampiri.  Biaya-biaya lain yang melambung tinggi memaksa kaum-kaum seperti ini untuk belajar menghemat dan memenuhi kebutuhan perut dengan uang seadanya. Akhirnya mahasiswa-mahasiswa korban peliknya kehidupan urban macam awak CANOPY sudah mengerti kemana arahnya tertuju.

Yaps, SARBO. Sebuah toserba lengkap dengan harga merakyat bagi berbagai kalangan. Awak-awak CANOPY itu kemudian membeli mie instan, abon kering, dan sukro garing yang akan menjadi santapannya di akhir bulan. Bahkan untuk bisa mendapatkan makanan bergizi yang setara dengan kandungan gizi pada daging ayam, awak CANOPY itu  sengaja membeli penyedap masakan rasa ayam. Itulah semua yang dikonsumsi oleh mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi di akhir bulan ketika PTN-BH itu telah diresmikan, dan biaya kuliah jelas melambung tinggi. Konsumsi MSG di kalangan mahasiswa menjadi tinggi yang implikasinya jelas gizi para akademisi itu rendah dibanding mahasiswa-mahasiswa di Singapura atau Malaysia sana yang mana gizi rakyatnya begitu terkontrol, apalagi gizi para penerus bangsanya. Konotasi yang sedikit kasar ketika kandungan gizi mahasiswa itu rendah dan terlalu banyak mengonsumsi MSG (Monosodium Glutamat) yaitu otak mahasiswa menjadi lemot, seperti komputer yang terjaring begitu banyak virus. “Ih kamu jangan banyak jajan yang mengandung MSG gitu. Nanti jadi bodoh!”. Bahkan percakapan seperti ini banyak kita dengar. Lambatnya nalar mahasiswa untuk menangkap materi kuliah yang disampaikan dosen pun akan terjadi. Pemahamannya terhadap latar belakang pendidikan di kampusnya masing-masing menjadi hal yang sulit dicapai. Penguasaannya terhadap bidang keilmuan pun menjadi pertanyaan berikutnya. Kalau seperti itu bagaimana mahasiswa Indonesia mau bersaing dengan mahasiswa asing? Daya saing yang justru digencarkan oleh kampus itu ternyata secara tak langsung telah dihambat, bahkan oleh sistem. Itu  beberapa penerawangan ketika PTN-BH telah resmi di kampus-kampus. Dampaknya terhadap pemenuhan gizi mahasiswa juga berkaitan. Nah, kalau yang ini hubungannya tidak baik-baik saja.

Begitulah sedikit pencerahan yang mungkin bisa menjadi pertimbangan kembali bagi para penguasa kebijakan. Cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah menggelar peta jalan yang begitu berliku dengan kondisi jalannya yang terjal. Seberapa penting keberadaan pendidikan jika lewat sistem saja justru bisa saja berdampak pada kondisi pangan nasional dan krisis gizi generasi bangsa. Kami bukan menuntut atau baper, hanya ingin menyaksikan juga kaum-kaum usang itu cukup gizinya, mereka (macam awak-awak CANOPY) bisa menjadi benih-benih harapan bangsa dan disambut oleh keluarganya masing-masing dengan senyuman yang lebar. Alangkah senangnya juga menyaksikan petani-petani itu walau dengan sisa-sisa tenaganya menggarap lahan. Menggunakan pacul itu untuk mengolah tanah bukan untuk mengolah semen.

Layaknya kawan percakapan didunia maya, ternyata masih ada beberapa hal terkait pendidikan yang patut kita perhatikan.  Apalagi momen menjelang hari pendidikan 2 Mei, Mari semua kembali ke bilik masing-masing untuk merenung sambil menabung.

 

Tulisan ini telah dimuat di Mading Xpress edisi 1/2016

Exit mobile version