Selayaknya gurun di penjuru dunia lainnya, Gurun Sahara merupakan dataran padang pasir yang kering dan jarang ditinggali makhluk hidup. Namun, beberapa waktu lalu, Gurun Sahara yang terkenal gersang dan tandus kini mulai terlihat menghijau berdasarkan citra satelit terbaru yang diperoleh para ilmuwan. Dikutip dari cnnindonesia.com pada Jumat (13/9/2024), citra satelit NASA memperlihatkan bahwa area hijau, yang biasanya terkonsentrasi di sekitar ekuator Afrika, kini mulai menyebar ke utara dan memasuki wilayah Gurun Sahara.
Fenomena ini terjadi setelah kedatangan badai yang seharusnya tidak melanda kawasan tersebut, menyebabkan banjir besar yang merusak wilayah itu. Akibatnya, Gurun Sahara kini menjadi dua hingga enam kali lebih lembap dari sebelumnya.
Menurut Pusat Prediksi Iklim NOAA, Zona Konvergensi Intertropis telah bergeser ke utara sejak pertengahan Juli, termasuk ke Sahara. Zona Konvergensi Intertropis (ZKI) adalah area di mana massa udara bertemu yang menyebabkan udara naik dan membentuk potensi terbentuknya hujan konvektif, sehingga meningkatkan risiko terjadinya cuaca ekstrem di wilayah tersebut (Murwanto dan Purwanta, 2021). Para ilmuwan menyebut pemanasan global akibat bahan bakar fosil sebagai penyebab utama fenomena ini.
Karsten Haustein, peneliti iklim dari Universitas Leipzig, menjelaskan bahwa pergeseran curah hujan ke utara disebabkan oleh dua faktor yaitu transisi dari El Nino ke La Nina dan peningkatan suhu global. Zona Konvergensi Intertropis bergerak lebih jauh ke utara seiring dengan pemanasan dunia, yang juga berdampak pada musim badai Atlantik.
Perubahan ini mengakibatkan negara-negara seperti Nigeria dan Kamerun menerima 20-50 persen lebih sedikit hujan dari biasanya, sementara wilayah utara yang biasanya lebih kering, seperti Chad, Sudan, dan Mesir selatan, mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 400 persen sejak pertengahan Juli. Hujan berlebihan telah memicu banjir besar di Chad, menewaskan sedikitnya 340 orang dan berdampak pada hampir 1,5 juta penduduk. Banjir bandang juga melanda Nigeria, terutama di wilayah utara yang biasanya kering, menewaskan lebih dari 220 orang dan memaksa ratusan ribu orang untuk mengungsi.
Meski fenomena ini tampak sebagai hasil dari perubahan iklim, sebenarnya ada upaya yang sudah lama dirancang untuk menghijaukan Sahara secara lebih sistematis, yaitu melalui proyek Great Green Wall (GGW) atau Tembok Besar Hijau. GGW terkonsep sebagai sabuk hijau yang terdiri dari barisan pohon dan tanaman dengan panjang 8.000 km serta lebar 15 km yang membentang di seluruh kawasan Sahel, dari pantai Atlantik Senegal hingga pantai timur Djibouti (UNEP, 2020).
Konsep GGW ini kemudian berkembang menjadi Great Green Wall for Sahara and the Sahel (GGWSSI) dan resmi diluncurkan pada tahun 2007 oleh Uni Afrika yang bekerja sama dengan Konvensi PBB. Selanjutnya, pada tahun 2011, World Bank, Global Environment Facility (GEF), dan dua belas negara Afrika membentuk Sahel and West Africa Program Afrika Barat (SAWAP), yang merupakan salah satu dari banyak kemitraan multi-organisasi untuk melaksanakan proyek-proyek mendukung visi GGW (Turner et al., 2021).
Dilansir dari earth.org, tujuan diberlakukannya GGW adalah untuk melawan proses penggurunan dan penurunan kualitas ekosistem dengan mengembalikan setidaknya 100 juta hektar lahan terdegradasi, menyerap 250 juta ton karbon, dan menciptakan 10 juta lapangan kerja hijau pada tahun 2030.
Namun, cara untuk mencapai tujuan tersebut telah berkembang sejak awal penerapannya, dengan memasukkan berbagai upaya yang lebih beragam. Alih-alih dianggap sebagai “dinding pohon,” sekarang proyek ini dipandang sebagai mozaik, yang terdiri dari berbagai tindakan berskala lanskap yang dirancang untuk memberikan solusi jangka panjang dalam meningkatkan kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi di daerah tersebut.
Hal ini didasari oleh fakta bahwa Afrika adalah benua yang paling rentan dan paling terdampak oleh degradasi lahan dan penggurunan dimana sekitar 45% dari total luas lahannya terpengaruh oleh penggurunan, dan 55% dari area tersebut berisiko tinggi atau sangat tinggi mengalami degradasi lebih lanjut (UNCCD, 2020). Kondisi tersebut memunculkan berbagai tantangan fisik seperti kekurangan air dan curah hujan yang tidak teratur, serta masalah demografis kritis seperti kemiskinan dan ketidakamanan pangan akibat praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan.
Melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal, lokasi penanaman kembali hutan dengan bentuk, ukuran, dan fungsi yang bervariasi ditentukan dan dibangun di seluruh kawasan. Beberapa area ditanami spesies tertentu, seperti Acacia senegal untuk produksi getah arab, sementara yang lainnya ditanami berbagai spesies untuk memberikan manfaat beragam bagi masyarakat setempat (Goffner et al., 2019).
Selain tindakan terkait pohon, kebun sayur komunal yang dikelola oleh perempuan di desa-desa sepanjang jalur GGW telah dibentuk bersamaan dengan titik akses air barunya. Contoh lain adalah kawasan konservasi satwa liar yang akan dibangun di Koyli Alpha, di mana fauna asli sedang diperkenalkan kembali untuk menjaga keanekaragaman hayati dan mendukung ekowisata skala kecil (Goffner et al., 2019).
Dilansir dari sequoiares.org, pada tahun 2020, sekitar 20 juta hektar lahan telah berhasil direstorasi. Pencapaian ini didukung oleh upaya pemerintah nasional, komunitas lokal, dan mitra internasional melalui berbagai kegiatan seperti penanaman pohon, restorasi tanah, dan pertanian berkelanjutan.
Di Senegal, lebih dari 12 juta pohon telah ditanam, dan sekitar 30.000 hektar lahan direstorasi. Proyek ini juga membangun komunitas untuk membantu reboisasi serta memberikan pekerjaan bagi ribuan orang.
Di Ethiopia, pemerintah menjalankan program reboisasi besar-besaran, memulihkan daerah aliran sungai dan meningkatkan kesuburan tanah yang meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, tetap ada tantangan yang menguar, seperti kondisi lingkungan ekstrem, kekurangan air, dan ketidakstabilan politik yang memperlambat kemajuan proyek di beberapa wilayah.
Program menghijaukan gurun seperti GGW Afrika ini bukanlah yang pertama. Beberapa negara lain telah lebih dulu mengambil langkah untuk menghijaukan gurun demi mengatasi desertifikasi dan dampak perubahan iklim, contohnya China. China telah meluncurkan program Great Green Wall of China atau yang lebih akrab disebut Three-North Shelterbelt Forest Program (TSFP) sejak 1978.
TSFP yang dijadwalkan selesai pada 2050, bertujuan untuk merehabilitasi lahan rawan gurun di barat laut, utara, dan timur laut China. Dilansir dari english.news.cn, proyek ini akan mencakup lebih dari 4 juta kilometer persegi, atau sekitar 42,4% dari total wilayah negara, melintasi 13 provinsi yang hingga tahun 2024 ini, 32 juta hektar telah direboisasi.
Program ini menerapkan inovasi seperti agrivoltaic. Agrivoltaic sendiri merupakan konsep yang mengintegrasikan pertanian dengan sumber energi terbarukan, seperti panel surya yang dipasang di lahan pertanian dengan tujuan menciptakan praktik pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan lahan secara efisien, menghasilkan energi bersih, dan meningkatkan hasil pertanian (Syahrullah dan Sau, 2023). Selain itu, inovasi ini juga dapat mengurangi badai pasir serta mendukung ekonomi lokal melalui pertanian dan ekowisata.
DAFTAR PUSTAKA
[UNCCD] United Nations Convention to Combat Desertification. 2020. The Great Green Wall: Implementation Status and Way Ahead to 2030. Bonn, Germany.
[UNEP] United Nations Environment Programme. 2020. Great Green Wall for Sahara and the Sahel Initiative (GGWSSI), Climate Initiatives Platform. United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya.
Fenomena Alam Ganjil Kini Terjadi di Gurun Sahara dan Membahayakan. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240914125058-641-1144437/fenomena-alam-ganjil-kini-terjadi-di-gurun-sahara-dan-membahayakan. Diakses pada 17 Oktober 2024.
Goffner, D., Sinare, H., & Gordon, L. J. (2019). The Great Green Wall for the Sahara and the Sahel Initiative as an opportunity to enhance resilience in Sahelian landscapes and livelihoods. Regional Environmental Change, 19, 1417-1428.
Murwanto, H., & Purwanta, J. (2021). Kesiapsiagaan Desa Joho Kecamatan Prambanan dalam Menghadapi Bencana Angin. 4–5.
Syahrullah, S., & Sau, T. (2023). Peningkatan Keterampilan Dan Produktivitas Cabai Kelompok Petani Berbasis Penerapan Agri-Voltaic: Implementasi Mitigasi Perubahan Iklim. Jurnal Ilmiah Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2), 61–67.
The Great Green Wall: What It Is, Current Progress, and Expected Impact Of This Initiative. https://sequoiares.org/research/posts/The-Great-Green-Wall. Diakses pada 17 Oktober 2024.
Turner, M. D., Carney, T., Lawler, L., Reynolds, J., Kelly, L., Teague, M. S., & Brottem, L. (2021). Environmental rehabilitation and the vulnerability of the poor: The case of the Great Green Wall. Land Use Policy, 111, 105750.
Xinhua Headlines: Innovation fortifies China’s “green Great Wall” against desertification. https://english.news.cn/20240605/a9d9a6fda44946739c648d4d00aa8a8f/c.html. Diakses pada 17 Oktober 2024.
Penulis : Danendra Reza
Editor : Cahyani