Akhir-akhir ini, keberadaan fasilitas di lingkungan Fakultas Pertanian sering menimbulkan persoalan. Ini dikarenakan fasilitas yang ada kerap kali tidak digunakan sebagaimana mestinya. Poin ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah mahasiswa Fakultas Pertanian sudah siap menerima dan memanfaatkan fasilitas di kampus dengan penuh tanggung jawab? Pertanyaan tersebut bukan hanya muncul sebagai bentuk kritik, tetapi juga sebagai refleksi atas kondisi aktual yang menunjukkan adanya kesenjangan antara penyediaan fasilitas dengan perilaku pengguna. Situasi ini menjadi penting untuk dibahas lebih lanjut karena kualitas pengelolaan fasilitas kampus secara langsung memengaruhi efektivitas proses akademik serta kenyamanan lingkungan pembelajaran.
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari realitas yang terjadi di lapangan. Kehadiran berbagai fasilitas pendukung seharusnya menjadi nilai tambah bagi kenyamanan dan produktivitas mahasiswa. Namun kenyataannya, berbagai persoalan muncul justru karena cara mahasiswa memanfaatkan fasilitas tersebut belum menunjukkan kesiapan dan kedewasaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang mahasiswa. Kondisi ini menandakan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara tujuan penyediaan fasilitas dengan cara fasilitas tersebut diperlakukan. Dalam konteks institusi pendidikan tinggi, perilaku mahasiswa dalam menggunakan fasilitas publik menjadi indikator penting dari budaya akademik, etika kolektif, dan tingkat tanggung jawab sosial.
Contoh pertama dapat dilihat dari pemanfaatan air galon di fakultas. Kondisi ini sebenarnya berimbang di dua sisi. Di satu sisi, fasilitas yang tersedia mungkin belum sepenuhnya memadai. Jumlah titik air minum terbatas, proses pengisian ulang dilakukan secara manual, serta tingkat konsumsi air mahasiswa relatif tinggi. Kondisi ini dapat dimaklumi sebagai bentuk keterbatasan institusional. Namun di sisi lain, perilaku mahasiswa dalam memanfaatkannya juga belum sepenuhnya menunjukkan tanggung jawab. Hal ini terjadi karena beberapa mahasiswa mengambil air dalam jumlah besar (lebih dari 1 liter) untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan kebutuhan mahasiswa yang lain. Padahal, persediaan air terbatas dan harus terus diisi ulang secara manual oleh petugas, sehingga penggunaan yang berlebihan dan tidak proporsional berpotensi menimbulkan ketidakadilan distribusi bagi mahasiswa lain yang juga memiliki kebutuhan sama.
Tapi ini tidak akan menimbulkan perdebatan ketika fasilitas yang ada memang sudah memadai untuk kita manfaatkan. Misalnya ketika fakultas mempertimbangkan investasi jangka panjang untuk menyediakan fasilitas air minum yang lebih memadai, salah satunya yaitu water dispenser otomatis yang bersifat permanen dan tidak memerlukan pengisian ulang galon secara berkala. Penyediaan fasilitas permanen ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkecil kemungkinan terjadinya kelangkaan air minum. Dengan kata lain, keterbatasan fasilitas yang ada juga menjadi salah satu faktor pemicu perdebatan mengenai penggunaannya. Ini seharusnya menjadi evaluasi kedua belah pihak agar ke depannya tercipta solusi yang lebih baik, baik dari sisi penyediaan fasilitas oleh fakultas maupun dari mahasiswa dalam memanfaatkannya. Evaluasi dua arah ini sangat penting dalam menciptakan ekosistem kampus yang harmonis, efektif, dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Selain fasilitas air minum, akhir-akhir ini fakultas sedang gencar-gencarnya memfasilitasi mahasiswa dengan kursi santai, terutama di area Gedung Sentral. Fasilitas ini sejatinya merupakan bentuk perhatian fakultas terhadap kenyamanan mahasiswa dalam beraktivitas di kampus. Penempatan kursi tersebut di lokasi strategis diharapkan dapat mendukung kebutuhan mahasiswa dalam beristirahat, berdiskusi, atau menunggu jadwal perkuliahan. Sayangnya, ini justru memunculkan persoalan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Munculnya masalah ini menunjukkan bahwa penyediaan fasilitas tanpa diikuti oleh perubahan budaya pengguna berpotensi menciptakan persoalan baru.
Isu mengenai pemindahan kursi tersebut ke area gazebo depan musola menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa belum memahami batas pemanfaatan fasilitas. Hal ini menandakan kurangnya kesadaran akan tanggung jawab dalam menjaga fasilitas kampus. Tidak jarang, tindakan semacam ini dibenarkan dengan alasan “memanfaatkan fasilitas kampus”. Padahal, memanfaatkan bukan berarti menggunakan sesuka hati, melainkan menggunakan sesuai fungsinya dan dengan rasa tanggung jawab bersama. Perilaku memindahkan kursi tanpa izin bukan hanya mencerminkan pola pikir individualistik, tetapi juga menunjukkan minimnya rasa memiliki terhadap fasilitas kampus yang seharusnya dijaga bersama.
Pemindahan kursi dari tempat semula bukan hanya mengganggu keteraturan kampus, tetapi juga merugikan mahasiswa lain yang ingin memanfaatkan fasilitas tersebut di lokasi yang telah ditentukan. Lebih jauh lagi, tindakan ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok kecil di atas kepentingan bersama. Dalam konteks akademik, perilaku seperti ini dapat menciderai prinsip keadilan dan etika sosial, yang seharusnya menjadi landasan dalam lingkungan pendidikan tinggi.
Persoalan-persoalan ini sebenarnya berpangkal pada satu hal, mindset atau pola pikir kita sebagai pengguna fasilitas. Masih banyak mahasiswa yang memandang fasilitas kampus sebagai sesuatu yang bisa digunakan sebebas-bebasnya tanpa konsekuensi. Padahal, setiap fasilitas yang disediakan memerlukan biaya perawatan, tenaga pengelolaan, dan tentunya harapan bahwa fasilitas tersebut dapat dinikmati oleh seluruh civitas akademika secara adil dan merata. Tanpa kesadaran kolektif mengenai hal ini, fasilitas publik akan rentan disalahgunakan, mengalami kerusakan dini, dan tidak dapat berfungsi secara optimal.
Sebagai bagian dari civitas akademika, kita sepatutnya turut menjaga setiap fasilitas yang diberikan. Tanggung jawab terhadap fasilitas bukan hanya milik pihak fakultas atau petugas kebersihan, tetapi juga kita sebagai mahasiswa. Kita adalah pengguna utama fasilitas tersebut, sehingga sudah seharusnya kita yang paling memahami pentingnya menjaga dan merawatnya. Sikap tanggung jawab ini merupakan bagian dari karakter akademik yang tidak hanya mencerminkan kedewasaan individu, tetapi juga menunjukkan kualitas lingkungan akademik yang sedang dibangun.
Kesiapan kita dalam menerima fasilitas juga tidak hanya diukur dari kemampuan kita menggunakannya, tetapi juga dari sikap kita dalam memelihara dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab. Sudah saatnya kita berefleksi apakah tindakan kita selama ini sudah mencerminkan kedewasaan sebagai mahasiswa? Apakah kita sudah cukup bijak dalam memanfaatkan setiap fasilitas yang ada? Pertanyaan reflektif seperti ini perlu secara berkala diajukan untuk memastikan bahwa perilaku kita selaras dengan etika akademik dan tanggung jawab sosial.
Jika belum, maka kita perlu mulai mengubah perilaku kita. Karena pada akhirnya, kualitas fasilitas kampus tidak hanya ditentukan oleh seberapa baik penyediaannya, tetapi juga seberapa dewasa penggunanya dalam memanfaatkannya. Lingkungan kampus yang tertib, nyaman, dan mendukung aktivitas akademik hanya dapat tercapai melalui sinergi antara penyedia fasilitas dan pengguna fasilitas. Mari kita tunjukkan bahwa kita layak dan siap dengan segala fasilitas yang diberikan. Dengan membangun budaya penggunaan fasilitas yang bertanggung jawab, kita tidak hanya menjaga keberlanjutan fasilitas kampus, tetapi juga berkontribusi terhadap terciptanya lingkungan akademik yang berintegritas dan berdaya saing tinggi.
Penulis: Siti Nurkholifah
Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra
Gambar: Siti Nurkholifah

