Site icon Persmacanopy.com

Upaya Menjaga Sisa Dengan Kesadaran

Hilangnya lahan menjadi sektor vital dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan ketahanan, ibarat menyalakan sebuah mesin penggilingan. Putaran roda mesin menjadi poros utama dalam pengolahan bahan menjadi hasil yang akan digunakan atau untuk dikonsumsi. Ketika putaran roda tersendat bahkan berhenti, maka proses produksi untuk pemenuhan konsumsi juga akan terhenti. Begitu pula yang terjadi dalam kondisi lahan pertanian di Indonesia yang menyisakan 7,5 juta hektar luas lahan dan 75% lahan produktif, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan laju pertumbuhan penduduk 1,49% tiap tahunnya, tidak mustahil jika perputaran roda akan semakin pelan dan kelak akan terhenti.

Memang hingga kini negara kita masih mendapat sebutan “negara agraris” meskipun dalam sistem ekonomi telah mengalami transformasi yang mengarah dalam bidang industri dan jasa, namun dalam bidang sektor industri yang menjadi parameter utama pun tak lepas dari setiap produk dan komoditas pertanian. Bahan baku industri hingga hasil olahan akhir pun juga terbentuk dalam wujud produk pertanian. Hal ini yang menjadikan sektor pertanian harus kewalahan dengan segala tuntutan yang disandangnya namun tekanan dan alih fungsi lahan pertanian justru semakin mengikis keberadaannya.

Hal ini dibuktikan dengan besarnya jumlah alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia secara merata. Kota Malang sendiri bahkan menurut data 4 tahun terakhir hingga 2013, terdapat 250 hektar area pertanian yang dirubah fungsinya menjadi bangunan dan bentuk lainnya. Secara sederhana kita dapat melihat berapa banyak fungsi yang hilang, mulai dari fungsi ekologis dan keterikatan ekosistem, fungsi area resapan air karena lahan pertanian juga merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menjadi daerah resapan yang baik, juga fungsi lumbung produksi pangan yang dalam hal ini jelas karena lahan yang dikonversi merupakan lahan produktif yang mampu memproduksi kebutuhan pangan masyarakat sekitar dengan baik. Proses alih fungsi tersebut secara tidak sadar juga akan mendukung terjadinya ketidakseimbangan yang menyebabkan bencana seperti banjir dan juga ketidakmampuan daerah mencukupi kebutuhan pangan akan masyarakatnya sendiri, sehingga menimbulkan ketergantungan terhadap daerah lain yang itu akan terus saling terkait.

Warisan Revolusi Hijau

Kondisi yang terjadi sekarang juga pasti akan saling terkait dan terintegrasi dengan apa yang terjadi sebelumnya, apa yang ditanam juga akan dipanen hasilnya. Memang benar yang terjadi dengan segala bentuk Intensifikasi yang dikenal dengan nama “Revolusi Hijau” pada era Orde Baru, negara kita mampu menanam dengan ragam sistem baru yang menyeluruh. Dengan segala teknologi baru, sarana produksi baru, introduksi varietas baru, peralatan mekanisasi baru, serta pola pikir yang baru akan konsep tanam membuat segala bentuk hasil produksi pertanian jauh meningkat. Tidak heran ketika masa-masa inipun apa yang di tanam merefleksikan apa yang kemudian akan dipanen, sehingga saat itu negara mampu memenuhi kebutuhan akan pangan dan kedaulatannya dalam bentuk “Swasembada Beras.”

Seolah mengamini perkataan Francis Bacon, seorang ahli filsafat alam dengan prosedur observasi empiris yang mengatakan “alam semesta perlu disiksa agar ia mampu mengungkapkan rahasia-rahasianya.” Ragam usaha baru yang dilakukan dalam program intensif revolusi hijau menggebu digencarkan, entah lupa atau memang sengaja dalam mencapai hasil yang signifikan dalam pencapaian produksi. Alam dipaksa memenuhi ambisi dan target tertentu tanpa melihat kondisi dan carrying capacity. Hasil yang diperoleh memang terlihat maksimal dengan upaya pemupukan berlebih, mekanisasi mesin pertanian yang canggih dan penggunaan racun senyawa kimia dalam penanganan hama penyakit tanaman dalam waktu yang dekat saja akan terjadi peningkatan hasil produksi yang signifikan.

Proses intensifikasi berlebih, seperti yang dilakukan dalam program revolusi hijau, dalam waktu yang cepat kebutuhan akan pangan dan bahan konsumsi akan lebih mudah tercapai, sehingga kemandirian pangan suatu daerah bisa tercukupi oleh dearahnya masing masing. Namun ada juga pilihan yang harus diterima dan waktu yang akan menunjukanya. Memang benar adanya pada masa saat ini lebih dari 30 tahun pasca digalakannya proses intensifikasi tersebut, banyak hal yang tertinggal menjadi warisan untuk keberlanjutan pertanian generasi sekarang. Banyak tanah yang menjadi jenuh dan struktur tanah yang rusak kehilangan lapisan suburnya, banyak Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) menjadi resisten terhadap ragam pengendalian yang dilakukan, dan yang juga menjadi masalah adalah pola pikir petani yang tidak mampu mandiri karena selalu tergantung input dari luar.

Menjaga Sisa

Seperti yang terkandung dalam poin a. UU Nomor 5 Tahun 1990 yang menyebutkan jika sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga dan dimanfaatkan serta dikelola secara lestari, selaras, serasi, dan seimbang, sehingga bermanfaat bagi kehidupan kesejahteraan masyarakat, baik itu sekarang, maupun masa depan. Maka dengan kesadaran harusnya pemanfaatan segala bentuk tindakan yang berkaitan dengan alam haruslah dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Bukan sekedar menjaga dan tidak merusak alam namun juga merawat apa yang sudah dikelola dan dimanfaatkan sehingga tidak hanya menyisakan sisa untuk masa yang akan datang.

Dengan jumlah sisa lahan yang ada tentunya akan menjadi tantangan besar dalam sektor pertanian untuk berperan sebagai sektor penjaga stabilitas yang ada. Dengan kondisi nyata sekarang pelaku dalam setiap usaha produksi pertanian tidak hanya dituntut mampu menjaga ataupun meningkatkan produksi pertanian di tengah permintaan akan konsumsi yang meningkat. Namun juga para pelaku usaha pertanian dituntut peka menjaga lahan dan merawat lahan di tengah kondisi kerusakan lingkungan yang kian parah. Sehingga memang harus ada faktor yang saling mendukung dan menguatkan agar tujuan yang dulu pernah saling bertentangan kini bisa selaras dicapai secara bersamaan.

Pada dasarnya sikap manusia baru menyadari sesuatu ketika hal yang tidak diharapkan datang atau terjadi, begitu pula kesadaran terhadap alam dan lingkungan baru muncul dan menjadi kesadaran kolektif ketika melihat bersama alam dan lingkungan menjadi rusak dan tidak berada pada keadaan yang semestinya. Sama halnya dalam lingkup pertanian, kesadaran akan pertanian yang berbasis lingkungan muncul ketika dirasa kondisi lahan pertanian dan cara berbasis konvensional yang dilakukan sudah tidak maksimal dan tidak sesuai dengan sistem yang dilakukan.

Semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pertanian berbasis lingkungan banyak strategi pertanian yang dulu dianggap tidak menguntungkan kini perlahan mulai diterapkan, mulai dari melihat faktor kecocokan dan kapasitas lahan, penerapan pola tanam polikultur dan tumpang sari, penggunaan pupuk alami seperti pupuk hijau dan pupuk kompos, melakukan pergiliran serta rotasi tanaman, manejemen hama penyakit terpadu dengan penggunaan musuh alami dan agen hayati, atau juga penggunaan pestisida nabati sesuai dosis yang bertanggung jawab dan penerapan strategi lainnya hingga sampai proses panen.

Semakin maraknya penerapan strategi pertanian yang berbasis lingkungan semakin marak juga istilah dalam sebutan pertanian yang mengarah pada orientasi jangka panjang tersebut mulai dari pertanian organik (organic farming), Pertanian Berlanjut (sustainable agriculture), juga Pertanian Konservasi (conservation agriculture). Apapun istilah dalam peyebutan dan strategi yang diterapkan pertanian berbasis lingkungan mempunyai orientasi yang sama berlandaskan pada kelestarian dan keberlangsungan jangka panjang, yang pelaksanaannya pun tak mudah karena juga butuh proses yang panjang, khususnya dalam proses pembuktian dalam lingkup masryarakat yang terlibat langsung dalam usaha produksi pertanian. Masih perlu waktu untuk membuktikan pilihan dari kesetiaan pada proses, dan apakah kelak negara ini masih dengan gagah menyandang julukan sebagai negara agraris, biar waktu juga yang menjawabnya.

Penulis: Ary Yanuar Hidayat

Exit mobile version