Site icon Persmacanopy.com

UTS dan UAS: Ilusi Pengujian di Era Digital

Setiap semesternya mahasiswa dihadapkan dengan adanya Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) sebagai evaluasi pemahaman dan penguasaan materi yang diberikan dalam 1 semester. Ujian tengah dan akhir semester merupakan dua momen yang sejak lama dijadikan patokan kemampuan intelektual seorang mahasiswa. Dua huruf yang menentukan masa depan, memisahkan yang “cerdas” dari yang “kurang.” Tapi mari kita jujur: apakah benar ujian semacam itu masih relevan di zaman sekarang? Ataukah kita hanya terjebak dalam ilusi lama bahwa nilai di kertas ujian adalah cerminan sejati dari kecerdasan dan integritas?

Ketika Kertas Jawaban Menjadi Simbol Kepura-puraan

Ujian, pada hakikatnya, diciptakan untuk mengukur pemahaman mahasiswa mengenai materi yang diterimanya dalam satu semester. Kini, ujian lebih sering mengukur kemampuan lain, kemampuan menemukan strategi “curang” yang tak terlihat pengawas. Meja ujian menjadi panggung lahirnya berbagai strategi yang dirancang bukan untuk menjawab soal, melainkan untuk mengakali sistem. Ada yang menulis rumus di tangan, ada yang memotret jawaban, ada yang berbisik pelan lewat isyarat mata. Ironisnya, semua ini seakan menjadi hal biasa. Kecurangan berubah dari aib menjadi “strategi bertahan hidup.” 

Kita sering menyalahkan mahasiswa, tapi jarang bertanya: mengapa mereka sampai di titik ini?

Tekanan dari ujian kian menumpuk. Perolehan nilai tinggi menjadi tiket menuju beasiswa, peluang kerja, dan status sosial. Ujian yang mencakup ratusan halaman materi menuntut mereka menghafal, bukan memahami. Waktu yang sempit dan harapan yang tinggi menjadikan kecurangan tampak seperti satu-satunya jalan untuk selamat. Tetapi di balik kemenangan semu itu, ada sesuatu yang jauh lebih berharga yang terkikis yaitu integritas.

Kampus yang Kehilangan Maknanya

Kampus seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter, tempat di mana kejujuran dan tanggung jawab tumbuh bersamaan dengan ilmu. Tapi bagaimana jika sistem penilaiannya justru mendorong kebohongan?

Ketika mahasiswa yang jujur merasa kalah dari mereka yang berbuat curang, semangat belajar berubah menjadi kekecewaan. Perlahan, lahirlah budaya baru: belajar bukan untuk tahu, tetapi untuk lulus. Mencontek bukan lagi pelanggaran, tetapi adaptasi terhadap sistem yang tidak adil. Banyak pihak yang tutup mata dan mulai mengatakan “selama nilai terlihat bagus dan kelulusan berjalan mulus, semua baik-baik saja”. Padahal di balik rapor yang rapi itu, ada generasi yang kehilangan makna belajar. Mereka mungkin lulus dengan predikat “cumlaude,” tetapi apakah benar mereka siap menghadapi dunia nyata? Dunia yang menuntut kemampuan berpikir, bukan sekadar menghafal? dunia yang menguji etika, bukan sekadar teori?

Ujian yang Gagal Menguji

Dahulu Tantangan terbesar mahasiswa adalah menghafal materi atau memahami konsep dari materi. Kini, tantangan tersebut berubah seiring perkembangan zaman, pada masa ini tantangan tersebut menjadi bagaimana menahan diri untuk menggunakan A.I. (kecerdasan buatan) secukupnya saat ujian daring atau saat mengerjakan tugas. Dalam hitungan detik, berbagai platform kecerdasan buatan mampu menghasilkan jawaban yang lengkap, logis, dan berbahasa akademik. Semua tampak rapi dan benar, meski sang mahasiswa belum tentu memahami apa yang ia serahkan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ujian konvensional semakin kehilangan maknanya. Ketika sebuah algoritma dapat menulis esai sempurna atau menjawab soal analisis lebih cepat dari manusia, maka ujian bukan lagi soal penguasaan ilmu, melainkan soal siapa yang paling lihai memanfaatkan teknologi. Kita hidup di masa di mana batas antara berpikir dan copy–paste canggih semakin kabur. Mahasiswa tak lagi perlu membaca buku atau berdiskusi panjang; cukup ketik perintah, dan A.I. akan melakukan sisanya. 

Maka pertanyaannya: apakah nilai tinggi di era ini masih mencerminkan kecerdasan manusia, atau sekadar ketergantungan pada kecerdasan buatan?

Masihkan UTS dan UAS efektif?

Akhirnya muncul sebuah pertanyaan: apakah UTS dan UAS masih efektif sebagai alat ukur kompetensi mahasiswa di era digital dan kecerdasan buatan?

Jawabannya, tampaknya tidak sesederhana “ya” atau “tidak.” Satu sisi dari praktik ujian ialah kemampuannya memberikan struktur, disiplin, dan tolok ukur terstandar untuk mengevaluasi pembelajaran. Namun di sisi lain, realitas hari ini menunjukkan bahwa UTS dan UAS semakin kehilangan relevansi dan daya uji. Mahasiswa kini hidup di tengah banjir informasi, di mana jawaban atas hampir semua pertanyaan bisa ditemukan dalam hitungan detik, bukan dari hasil membaca seminggu penuh, melainkan dari satu perintah singkat kepada mesin pintar. Jika ujian masih disusun dengan model konvensional yaitu masih mengandalkan hafalan, rumus pasti, atau esai analitis sederhana, maka AI dapat menaklukkannya dengan mudah. Akibatnya, ujian bukan lagi cermin pemahaman, tetapi sekadar formalitas administratif yang bisa dimanipulasi teknologi. Maka, pertanyaan yang lebih mendesak bukanlah bagaimana mahasiswa belajar menghadapi ujian, melainkan bagaimana sistem ujian beradaptasi menghadapi era AI. 

Alternatif untuk sistem penilaian yang usang ini adalah kampus harus berani keluar dari zona nyaman penilaian berbasis angka menuju penilaian yang lebih manusiawi dan autentik. Bayangkan jika mahasiswa dinilai dari proyek nyata yang mereka kerjakan, bukan sekadar dari kertas ujian. Mereka bisa merancang solusi untuk masalah sosial, membuat inovasi teknologi sederhana, menulis karya ilmiah, atau melakukan penelitian kecil yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Penilaian semacam ini tidak bisa dicurangi. Ia menuntut proses, kreativitas, dan kolaborasi. Nilai bukan lagi hasil hafalan, tetapi cermin dari perjalanan belajar.

Selain itu, ujian open-book dapat menjadi pilihan bijak. Jika dirancang dengan baik, ujian semacam ini bukan lagi tentang mencari jawaban di buku, tetapi tentang bagaimana menerapkan teori untuk menganalisis persoalan. Ia menguji nalar, bukan memori. Bisa juga jika ujian secara konvensional atau secara tradisional masih diterapkan, sistem pengawasannya juga harus lebih diperketat pula. Tanpa pembaruan format, esensi evaluasi akademik akan terus terkikis oleh kecerdasan buatan yang semakin canggih.

Menumbuhkan Budaya Kejujuran

Perubahan sistem ujian hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah menumbuhkan budaya integritas akademik. Kampus harus kembali menanamkan nilai kejujuran bukan melalui ancaman sanksi, tetapi melalui teladan dan pembiasaan. Mahasiswa perlu diyakinkan bahwa nilai tinggi tanpa kejujuran hanyalah kebohongan yang ditunda. Bahwa prestasi sejati bukan soal angka, tetapi tentang proses dan tanggung jawab.

Para tenaga pendidik pun perlu mengubah cara pandang: tidak semua yang bernilai bisa diukur dengan angka. Kadang, nilai sejati seorang mahasiswa justru tampak dari cara ia berpikir, berdiskusi, atau menghadapi kegagalan. Jika tenaga pendidik dan mahasiswa dapat membangun kepercayaan satu sama lain, maka ruang untuk berbuat curang akan semakin sempit. Kampus pun akan kembali menjadi ruang belajar yang sesungguhnya, tempat di mana ilmu dan moral bertemu dalam harmoni.

Mengakhiri Ilusi, Memulai Perubahan

Pada akhirnya, UTS dan UAS hanyalah alat. Ia bisa berguna, bisa juga menyesatkan—tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jika ujian hanya melahirkan stres, kecurangan, dan kompetisi palsu, maka mungkin sudah waktunya kita mengakhiri ilusi ini.

Ujian seharusnya menguji pemahaman, bukan keberuntungan. Mengasah kejujuran, bukan kepura-puraan.

Kita tidak sedang membutuhkan generasi yang pandai menyontek sistem, tetapi generasi yang berani berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab atas ilmunya.

Sudah waktunya kampus berhenti bersembunyi di balik angka dan mulai menilai manusia secara utuh. Sebab pendidikan sejati bukan tentang berapa nilai yang kamu dapat, tetapi berapa banyak nilai yang kamu tanam dalam dirimu.

Penulis: Ummul Khoir A.

Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra

Gambar: Google Images

Exit mobile version