Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan -Pramoedya Ananta Toer.
Tepat hari ini, 20 Februari diperingati sebagai Hari Keadilan Sosial Sedunia. Jika berbicara soal keadilan memang bukan perkara yang mudah. Banyak yang bertanya-tanya apa makna keadilan dan bagaimana penerapan keadilan di kehidupan saat ini. Pembahasan tentang keadilan menjadi pembahasan yang sangat Panjang. Perjuangan untuk menegakkan keadilan membutuhka banyak pengorbanan seperti mengorbankan waktu, tenaga bahkan biaya.
Dahulu tepatnya tahun 1995 terjadi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia yang dilakukan untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark. Konferensi ini dihadiri sebanyak 100 pemimpin politik yang memiliki tujuan yang sama untuk menuntaskan kemiskinan dan memberikan pekerjaan penuh kepada masyarakat guna menjaga kestabilan dan keamanan. Hasil dari pertemuan tersebut dinamakan Deklarasi Copenhagen. 10 tahun kemudian, para anggota PBB meninjau mengenai Deklarasi Copenhagen dan Program Aksi untuk pembangunan sosial di New York pada 20 Februari 2005. Penetapan tanggal tersebut terjadi pada 26 November 2007, tepatnya pada sidang tahunan Majelis Umum PBB periode 62. Tujuan ditentukannya hari penting ini adalah untuk meningkatkan martabat manusia.
Setelah mengetahui sejarahnya. Sebelum berbicara lebih jauh mari kita telisik kembali makna keadilan sosial. Menurut Plato keadilan merupakan kualitas jiwa, dimana manusia menyingkirkan untuk mendapatkan kepuasan sendiri. Sedangkan menurut Aritoteles keadilan adalah tindakan yang mematuhi hukum yang dibuat oleh Lembaga legislatif untuk menyejahterakan masyarakat. Sedangkan, Soekarno pernah berkata bahwa “keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan.”
Suatu pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahannya dengan cara memenuhi kewajiban sesuai dengan konstitusi yang berlaku sebaik-baiknya (Samekto, 2012). Namun, apakah pemerintahan kita sudah bisa dikatakan pemerintah yang adil?
Konsep Indeks Keadilan Sosial Indonesia (IKSI), terbagi atas 8 dimensi, yaitu dimensi 1) Pengentasan Kemiskinan, (2) Akses Layanan Pendidikan, (3) Akses Layanan Kesehatan, (4) Kohesi Sosial dan Non-Diskriminasi, (5) Lapangan Kerja Inklusif, (6) Keadilan Antar Generasi, (7) Penegakan Hukum dan (8) Demokrasi dan Tata Kelola Publik yang baik. Hasil perhitungan IKSI pada tahun 2018 sebesar 63,64% yang berarti 63% dari seluruh masyarakat Indonesia telah terpenuhi keadilan sosial sedangkan sisanya belum terpenuhi.
Supaya lebih mudah memahami. Mari kita lihat kasus yang terjadi pada 3 petani yang bernama Natu bin Takka, Ario Permadi dan Sabang di Soppeng, Sulawesi Selatan. Tepatnya pada pada 4 Februari 2020 mereka dipanggil Penyidik Polres Watansoppeng karena dugaan menebang pohon jati di Kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat. Padahal pohon jati tersebut mereka tanam sendiri di kebun miliknya. Kebun jati seluas kurang lebih 2600 meter persegi telah dikelola secara turun temurun sejak raturan tahun lalu diklaim sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah. Pasalnya mereka tidak mengetahui tentang hal tersebut, yang mereka tahu kebun tersebut merupakan warisan dari orang tua yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Mereka menebang pohon jati untuk keperluan mambangun rumah. Mereka dijerat Pasal mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) yang seharusnya menjerat pelaku penebangan liar atau korporasi yang melakukan tindakan kejahatan kehutanan. Sungguh malang pasal ini malah menjerat petani kecil.

Sebelumnya terjadi pula kasus serupa tepatnya pada tahun 2019, tiga orang petani bernama Jamadi, Sukardi dan Sahidin di Soppeng juga dijerat UU P3H, namun ketiganya tidak bisa dijerat karena petani tradisional yang sudah turun temurun mengelola kebun yang diklaim Kawasan hutan dan hanya memanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, penetapan Kawasan hutan dilakukan secara sepihak yang tertuang dalam K.434/Menhut-II/2009, tanggal 23 Juli 2016 menyebabkan masyarakat menjadi penjahat dan peramban hutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka sebanyak 1.028 desa/kelurahan dari 3.030 desa kelurahan akan meningkatkan kriminalisasi rakyat dan pengusiran petani-petani dan masyarakat adat dari sumber agraia dan tanah leluhurnya. Berita ini dilansir dari mongabay.com: Tebang Pohon di Kebun Sendiri, Tiga Petani di Soppeng Kembali Dijerat UU P3H.
Selain itu, jika bicara tentang keadilan terdapat kasus lain yang sedang diperbincangkan yaitu penggusuran yang terjadi di Tamansari, Bandung. Penggusuran dilakukan pada 12 Desember 2019 oleh petugas gabungan Satpol PP, Polrestabes Bandung dan Kodim 0618/BS. Kejadian berawal dari penertiban lahan yang diawali dengan apel di halaman PDAM Tirta Wening, Jalan Badak Singa, Kota Bandung sekitar pukul 07.00 WB. Penertiban dilakukan pada bangunan-bangunan di Kawasan rumah Tamansari yang ditinggali oleh 176 keluarga. Namun, kemudian pada pukul 09.00 terjadi penggusuran paksa yang dilakukan oleh Satpol PP terhadap 33 keluarga di RW 11 Tamansari sehingga penggusuran berakhir dengan kericuhan. Dilansir dari Tempo.co penggusuran menggunakan alat berat backhoe dan terjadi aksi saling lempar baru antar petugas Satpol PP dengan warga sehingga polisi langsung menembakkan gas air mata. Dalam insiden tersebut menyebabkan korban luka baik warga maupun apparat. Terjadi pula aksi kerjar-kerajaran hingga ke Balubur Town Square (Baltos) dan sebanyak 25 orang ditangkap. Tidak hanya itu, apparat juga melakukan aksi kekerasan yang terekam dalam video yang beredar di sosial media dimana seorang warga ditarik oleh seorang TNI dalam kerumunan polisi dan mengeoyok warga tersebut.

Ada pula video yang memperlihatkan para polisi memukuli warga di halaman Baltos dekat dengan Kawasan penggusuran. Sungguh malang nasib warga Tamansari sudah rumahnya digusur, dikeroyok pula. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sungguh sangat disayangkan, Negara ini menyatakan dirinya sebagai Negara Demokrasi yakni Negara dengan pemerintahan yang mewujudkan kedaulatan rakyat. Rakyat mana yang diwujudkan kedaulatannya? Sulit sekali memperjuangkan keadilan. Ketika ketidakadilan sudah meraja rela, rakyat tidak bisa diam saja. Mereka sadar ketika terjadi penyimpangan harus segera diluruskan. Sudah banyak cara dilakukan untuk menegakkan keadilan, mulai dari aksi demonstrasi, melalui jalur hukum hingga ketika suara tidak lagi didengarkan maka perjuangan dilakukan dengan pena. Banyak sekali penegak keadilan yang kemudian dikabarkan hilang, boleh jadi mereka tiada di dunia ini tetapi jasa mereka tidak akan terhapus dari ingatan kami.
Selamat hari keadilan sosial dunia, terus kobarkan semangat untuk menegakkan keadilan karena perjuangan masih panjang dan ketidakadilan harus segera dituntaskan.
Referensi
Samekto, Adji. 2012. Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post Modernisme. Bandar Lampung: Indepth Publising.
Herawati, Yunie. 2014. Konsep Keadilan Sosial dalam Bingkai Sila Kelima Pancasila. Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta. 8(1): 20-27.
Gambar bersumber dari pixabay
Penulis: Shanti Ruri P
Editor : Wikan Agung N
Leave a Reply