Ahh… Bersenggama Dengan Mesinmu
Puisi karya Tri Raharjo
Puncak gunung yang tinggi tak melebihi langit tanpa tiang
Palung terdalam dunia tak lebih dalam dari hati manusia yang bereaksi
Bak cakrawala yang diperkosa dan diambil pesonanya
Tak akan habis, malah semakin menjadi-jadi saja
Dibiarkanpun juga tak akan merugikan salah satu atau beberapa pihak
Tetap molek saja kau ini Bumi Indonesia
Banyak tambang atas nama rakyat atau penimbunan kekayaan pribadi terus mengagahimu
Ah… Silahkan lucuti aku
Kau perlakukan aku sebagai pria atau wanita terserah saja
Bersenggama dengan mesin, alat berat, dan toksin tinggi tak berujung pada puasku
Karena memang aku tak sertai rasa itu untungnya
Manusia kau diberkahi oleh hal yang tak aku miliki
Manusia kau bisa mengubah gunung, pantaiku menjadi emas batu zamrud berkilauan
Ya… Benar, kau sepakat dengan ku bukan?
Bahwa kau yang diberi amanah untuk mengembanku
Meskipun aku akan tetap lapuk, menguap tanpa kau sentuh jua
Tapi, amanah dari yang Maha itu kadang bahkan sering membuat kau terlena manusia
Seperti bom waktu
Jika bioekosentris tak relevan lagi dalam pengetahuanmu
Jika amanah sudah tak dijalankan lagi seperti kadar seharusnya
Matimu tak meninggalkan jejak kebagusan
Bahkan sampai ke liang kuburmu, kau hanya menjadi peradaban yang hidup, berkembang, mati, busuk, lalu dilupakan
Peradaban mana yang kalian pilih?
Mati dalam usaha mati-matian
Atau malah mati dalam usaha-usaha
Manusia… manusia
Mengemban amanah begitu rupa
Seringkali kau lupa, akal sehat? Akal sehat apa? Panduan akal sehat siapa? Yang mana?
Inilah aku yang menjadi alam
Andai aku diwakili DPA (Dewan Perwakilan Alam) untuk mengusulkan Undang-undang
“lihat manusia, pasang matamu benar-benar, sumber airku sudah mati, gunung emasku menjadi jurang, batu bara ku menjadi pemandian terakhir generasi penerusmu, pasir besi mengorbankan beberapa kepala, minyak bumi menggusur ari-ari yang berpuluh dasawarsa ditempati, bahkan perpustakan limbah menganggu anak bayimu yang harus mandi dengan air galon karena toksinmu tinggi. Sekarang aku tanya dengan cepat dan tegas, Siapa yang diuntungkan? Berkaca dari kebijaksanaan siapa yang kalian anggap itu bijak? Berapa Nyawa lagi yang kalian tumbalkan? Bebal!!!. Ahh… Untung saja aku hanya alam, aku juga ciptaan Tuhan, dan aku memang tidak mampu mengemban amanah itu”, tuturnya ketika dicabuli oleh beberapa alat berat yang semakin waktu semakin banyak
Ibaratkan ina, aku terlalu gadis untuk melahirkan kalian
Ibaratkan ayah, aku terlampau perkasa untuk menopang setiap generasi
Aku adalah anak cucu cicit kalian yang kalian pupuk
Entah dengan tai anjing, belas kasih, atau bahkan reaktor-reaktor nuklir
Renungkanlah sebenarnya amanah apa yang kalian emban? Bukankah sebaik-baik peninggalan adalah sebaik-baik generasi dan peradaban?
SEORANG PEMALAS YANG ANGKUH
Puisi karya Pramana Jati
Indraku sudah mulai menumpul
Rasa malasku sudah pada puncaknya
Tubuh ini sudah sulit untukku gerakkan
Karena suatu hal yang mana tubuh ini bukan milikku lagi
Hanya pikiran yang bisa ku kontrol
Selebihnya sudah dimiliki sistem yang mendominasi
Semua tempelan dan riasan tubuh ini bukanlah kehendakku
Kehendak bukan lagi prioritas, karena itu adalah hal yang tabu
Pilihan….. tentu bukan aku yang memilih.
Pokoknya aku sudah malas, hal lain sudah ku relakan
Yang masih ku pertahankan adalah hanya dua, rasa malas dan pikiran yang bebas
Tidak ada ruang untuk mengutuk keadaan
Menghindar adalah hal yang paling lumrah
Bagiku munafik adalah hal hina
Namun kadang bilamana persoalan begitu pelik, maka terlibat adalah hal yang paling elegan
Sementara mereka lupa akan perihal surgawi, dan kemabukan membawa ke ujung dunia
Ketamakan akan memandu kehancuran
Kita memang butuh sejahtera di dunia ini tapi tidak asal-asalan
Sampai kau lupa, hidup ini sudah tercemar…!!
ilustrator: Yuliastuti Yasmin