Mempertayakan Esensi Tugas Kuliah Fakultas Pertanian yang di Unggah Melalui Media Sosial dan Dinilai Berdasarkan Jumlah Like
Memang benar jika pandemi banyak mengubah sistem pendidikan kita, salah satunya adalah sistem belajar dari rumah atau dalam jaringan (daring), hingga yang vital yakni sistem penilaian tugas. Bagi saya yang sudah hampir semester 8 berkuliah di Fakultas Pertanian dan masih belum lulus, agak kaget ketika mendengar keluhan adik-adik tingkat saya, yang beberapa tugas harus divideokan dan diupload ke media sosial masing-masing dan diniliai berdasarkan jumlah like. Kemudian para dosen atau pengajar akan melihat dan mengklasifikasikanya jika like nya diatas 500 dapat A, 250 – 500 dapat B, dan seterusnya. Hal yang terbesit di benak saya yakni “Aneh sekali fakultasku sekarang menerapakan kurikulum berbasis selebgram”. Tugas yang harusnya dinilai dosen yang profesional malah dinilai netizen.
Bapak dan Ibu dosen beserta dekanat jajaran Fakultas Pertanian, media sosial itu ibarat lautan. Air, ikan-ikan, serta seluruh hewan itu konten-konten yang cukup melimpah. Sedangkan konten tugas yang dibikin oleh para mahasiswa dari Bapak dan Ibu dosen tugaskan, itu ibarat salah satu komponen dari lautan, atau juga ibarat sebutir pasir di seluruh ekosistem laut. Tugas yang sudah diunggah dan telah di-share, itu tidak akan mudah ditemukan di luasnya media sosial. Meskipun sudah berusaha dibroadcast dan minta tolong ke teman-temannya, akan tetap saja tetap susah. Belum tentu juga teman yang melihatnya, langsung memberi like komentar dalam tugas yang dibuat tersebut. Cenderung kebanyakan, broadcast yang disebar hanya sekedar dilihat saja.
Hal ini sangat menguntungkan beberapa mahasiswa yang memiliki followers yang banyak dan engagement yang tinggi, namun sekaligus merugikan bagi mahasiswa yang memiliki followers yang sedikit. Bayangkan saja jika kita sekelas bersama beberapa selebgram, auto mengulang kelas. Sistem tugas kuliah yang seperti ini hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Salah satunya yakni seseorang yang mendapatan karunia rupawan alias good looking. Biasanya, pihak yang begini—karena tampangnya—akan memiliki pengikut lebih banyak dibanding yang memiliki tampang biasa-biasa saja. Otomatis juga memiliki jumlah followers yang banyak. Apapun kontenya mau jelek, bagus, bahkan cringe-pun akan panen banyak like dan komentar. Sekarang kita bandingkan dengan yang dari awal biasa biasa aja yang memang pengikutnya sedikit. Syukur-syukur masih ada yang like, apalagi hingga memberi komentar.
Saya nggak bisa membayangkan jika ada mahasiswa yang mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan penuh ketelitian, namun justru mendapatkan nilai jelek hanya karena memiliki jumlah like yang sedikit. Sehingga kualitas konten di nomor duakan, lebih mementingkan jumlah like ataupun views. Ditambah lagi dengan adanya jasa jual beli like, yang bercuanlah yang berprestasi. Bahkan untuk mendapatkan like yang benar-benar murni dari orang awam untuk konten yang sudah benar bagus bagus saja masih sempat kesulitan, apalagi ini hanya sekedar tugas kuliah.
Saya masih mengamini jika tugasnya memang diperuntukan konsumsi masyarakat luas yang berisi kampanye ajakan perubahan menjadi lebih baik. Masalahnya ini tugas kuliah pertanian yang dilakukan adik-adik tingkat saya, pada beberapa waktu hanya berisi video kegiatan praktikum menanam yang sudah lumrah dilakukan petani kita, atau hanya pengenalan kehidupan fakultas pertanian. Kesimpulan tulisan ini, izinkan saya mengatakan, kalau tugas model beginian mending dihapus dan jangan digunakan, Jikalau memang terpaksa memberi tugas yang harus diunggah ke media sosial, saya mohon bapak ibu dosen harus menilai dari kualitas tugas yang dikerjakan, bukan berdasarkan jumlah like dan komentar.
Penulis : Wikan Agung N.
Editor : Shanti Ruri P.
Gambar diperoleh dari Syakir/hulondalo.id