Pandangan Misoginis Definisi Perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Oleh : Wikan Agung Nugroho
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah buku/kitab tertinggi yang menjadi acuan dalam proses pemahaman suatu makna atau istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI tersebut mendefinisikan perempuan sebagai “orang yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui”, kemudian ditambahakan dengan turunan definisinya sebagai “geladak, jalanan, pelacur, nakal, simpanan”. Masih banyak kata yang berasosiasi buruk.
Beberapa makna tersebut sangatlah bersifat negatif dan mendiskriminasi kaum perempuan. Hal tersebut terlalu mengobjektifikasi perempuan dalam kontek genital saja, sebagai bagian dari sistem reproduksi maupun segala sesuatu yang konteksnya seks. Representasi yang digunakan tentang perempuan yang cenderung misoginis (suatu pandangangan merendahkan dan membenci seorang wanita), membawa pada perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan perempuan dianggap sebagai pelengkap bagi kehidupan laki-laki dalam materiil.
Sedangkan jika kita melihat definisi pria dalam KBBI sangat berbanding terbalik. Pria didefinisikan sebagai “Kaum laki laki dewasa, dan turunannya laki laki dewasa dan dijadikan idaman wanita”
Hal tersebut secara langsung bahwa adanya kesenjangan dan ketimpangan dalam pemaknaan gender jika dilihat dari representasi di dalam KBBI. Salah satu seniman dan aktivis perempuan Ika Vatiani dalam magdalene.co menyebutkan secara etimologis, kata perempuan itu memiliki arti “empu, tuan, penyokong, sokong, puan, dan pengampu, namun hal tersebut nampaknya berbeda dengan yang ada didalam KBBI. Terbentuknya makna tersebut didasarkan pada struktur konseptual, dapat dikatakan bahwa masyarakat pengguna bahasa Indonesia memiliki pengalaman tertentu sehingga terbentuk struktur makna yang sedemikian rupa. Hal ini menandakan bahwa budaya patriarki sudah jauh mengakar dalam tubuh masyarakat dewasa ini, bahkan ia adalah bentuk status quo.
Ini menandakan bahwa adanya kemunduran dalam pemahaman bahasa bahwa masyarakat umum salah dalam menafsirkan struktur identitas seorang perempuan. Marcia dalam jurnalnya Development and validation of ego-identity status mengatakan bahwa semakin baik perkembangan struktur identitas diri seseorang, maka ia akan semakin memahami dirinya dan mengetahui keunikan ataupun kesamaan dirinya dengan orang lain, sehingga dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Sebaliknya, jika struktur identitas diri individu kurang berkembang dengan baik maka individu semakin tidak mengetahui perbedaan dirinya dengan orang lain dan semakin bergantung kepada sumber eksternal untuk melakukan evaluasi diri. Individu terstigmatisasi oleh standar sosial dan budaya.
Nani Amriani dalam jurnalnya Perempuan Maskulin bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun perempuan hanya sebagai bentuk stereotipe gender. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional, keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki-laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki-laki dan perempuan.
Pemikiran Chodorow menunjukkan, bahwa devaluasi kultural dan sosial yang dilakukan oleh anak laki-laki tersebut mengarahkannya pada perilaku untuk merendahkan dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbau wanita atau feminim yang diterimanya di masa-masa awal kehadirannya di dunia ini. Pada tahap pembentukan identitas dirinya sebagai laki-laki itu ia mempelajari bahwa untuk bisa diterima di dunia luar, ia harus menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai dominan yang hidup disana yaitu nilai-nilai yang bersifat patriarkis. Untuk bisa menjadi anggota dunia pria, anak laki-laki berusaha mengenyahkan semua sifat-sifat feminim yang ada di dalam dirinya. Kebencian anak pada sifat-sifat feminim timbul karena sifat-sifat itu ternyata cukup kuat tertanam dalam dirinya sebagai konsekuensi dari masa tidak berdayanya dulu ketika ia sangat bergantung pada ibunya. Demikianlah kiranya munculnya sifat benci kaum pria terhadap kaum wanita.
Misoginis dapat terjadi dan mulai mengakar jika melihat dari fenomena sosial yang terjadi sehari-hari. Sebagai contoh kita sebagai makhluk sosial hidup dalam masyarakat yang suka mengatur dan menentukan keharusan diri pada perempuan dan laki-laki. Semisal, urusan make up, memasak, mengurus anak, dan meladeni suami. Stigma yang tercipta di masyarakat, perempuan harus mahir make up, dan memasak makanan yang enak. Hal hal tersebut yang biasanya menjadikan standar sosial masyarakat. Perempuan yang gagal memenuhi ‘standar’ sering kali dicemooh, bahkan dari kaum perempuan sendiri.
Contoh lain yakni saat menjumpai perempuan yang cantik, tidak bisa menjalankan pekerjaan berat, fisiknya lemah, takut panas, takut kotor, suka warna pink, atau warna cerah lain, maka sekenanya kita menyebut dia sebagai perempuan manja. Padahal, itu terjadi hanya karena perbedaan perspektif tentang gender.
Banyak juga contoh lain yang menganggap terhadap perempuan yang harus tampak anggun, lemah lembut, rajin, dan murah senyum. Ketika tanpa sengaja menjumpai perempuan yang duduknya ngangkang, suaranya keras, pakaiannya seperti laki-laki, apalagi merokok, maka akan begitu mudah menyebutnya sebagai perempuan nakal atau liar.
Dalam masyarakat seorang pria dianggap bebas untuk melakukan apapun yang disukai termasuk dalam hal keluar dimalam hari. Sedangkan perempuan, dianggap tabu untuk keluar malam. Alasannya hanya karena hal itu tidak baik dilakukan oleh perempuan, sehingga ketika perempuan keluar malam hari kerap kali mendapatkan stigma negatif meskipun dengan alasan-alasan yang dapat diterima akal sehat. Dampaknya yakni hal yang wajar apabila perempuan keluar di malam hari, mempunyai risiko dibegal, diperkosa atau diperlakukan yang tidak sepantasnya. Ketika hal tersebut terjadi, perempuan tersebut yang disalahkan.
Dalam buku Perempuan Agarna & Morailtas antara NaIar dan Feminis dan Islam karya Nawal el Saadawi mengungkapkan margin Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender pada akhirnya berdampak luas terhadap pembangunan sumber daya perempuan dan membatasi akses, kesempatan, partisipasi. serta kontrol mereka dalam suatu pembangunan. Untuk ¡tu perlu adanya suatu gerakan pembebasan perempuan dari adanya stigmatisasi negatif dalam kontrol masyarakat. Kebebasan perempuan yang dimaksud adalah kemerdekaan perempuan sebagal manusia yang diciptakan Tuhan dengan memililki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas.
Perbedaan peran gender yang merupakan bentukan masyarakat sendiri yang disosialisasikan terus menerus melalui pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai bidang: keluarga (orang tua), sekolah (guru), negara (pembuat kebijakan, penguasa), dan dimasyarakat (tokoh masyarakat, pemuka agama, media massa, dan lain-lain). Misalnya saja sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan mainan yang berbeda, untuk anak laki-laki mobil-mobilan, senjata, robot, dan sebagainya, sedangkan perempuan diberikan boneka, peralatan rumah tangga, dan pelatan masak. Pemberian mainan tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang perbedaan peran masing-masing. Laki laki menjadi pemberani, dan kelak menjadi penanggung jawab keluarga. Sedangkan, perempuan diharapkan bisa mempunyai sifat keibuan yang pintar mengurus anak, masak dan mengurus rumah. Pendidikan dan pembiasaan demikian telah berlangsung lama dan terus mengakar, turun temurun tanpa ada yang mempertanyakan, sehingga terjadi proses internalisasi yang lancar tanpa halangan. Tidak heran jika kemudian perbedaan dipahami sebagai kodrat. Sangat tidak dibenarkan seharusnya jika kodrat perempuan selalu di dapur dan mengurus anak. Oleh karena itu pula masyarakat sangat memegang teguh ‘aturan-aturan’ yang membedakan peran perempuan dan laki-laki. Namun, di sisi lain banyak pula yang ‘melanggar’ dan pada akhirnya masyarakat bisa menerima pula.
Hilangnya perspektif gender ini menandakan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh banyak orang tentang transformasi gender belum berhasil menggeser struktur seksisme dalam tatanan sosial masyarakat. Struktur sosial atas dasar dominasi jenis kelamin itu ternyata terlihat kokoh. Sinergi antara perubahan pola pikir yang lebih egaliter, akan menghasilkan sebuah masyarakat baru yang memandang fenomena secara adil dalam perspektif gender.
Editor: Shanti Ruri Pratiwi