Oleh: Alif Nur Rizki*
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Sajak Sebatang Lisong
- W.S Rendra
***
Ada seorang filsuf berpenampilan sederhana yang berpandangan bahwa konsep penyelenggaraan pendidikan harus mampu melalui tiga tahap penting yang saling berkaitan. Konsep pendidikan ini yang mesti dijadikan prinsip di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal.
Yang pertama, pendidikan itu harus memerdekakan dirinya sendiri terlebih dahulu. Pendidikan harus membebaskan si pembelajar dari segala belenggu, tidak memenjarakan segala ketakutannya hinggap dilubuk hati. Memelihara ketakutan tentu bukan tujuan dari pendidikan, pendidikan menuntut pembelajar untuk berani menyatakan benar sebagai suatu kebenaran, dan tegas menyatakan salah atas buah logika yang kebablasan.
Kemudian yang kedua, seorang pembelajar yang bebas ini harus belajar membebaskan orang lain selain dirinya. Memerdekakan kaum yang juga memiliki hak untuk merdeka. Ritme pendidikan yang seperti ini, harus mampu menanamkan akar yang kuat dalam hati si pembelajar bagaimana tanggung jawab moral seorang terpelajar adalah untuk masyarakat dan lingkungan sekitar.
Sedangkan, tahap ketiga, lewat kemampuan mengorganisir, seorang terpelajar akan menjalankan sikap revolusioner secara alamiah yang cepat menular seperti penyebaran virus dan menciptakan kesadaran komunal secara permanen.
Konsep pendidikan semacam ini tidak mewajarkan adanya ketertindasan, ketidakadilan dan membiarkan kebodohan bertahan lama. Justru menyadarkan kalau kaum terdidik yang dapat berpikir bebas dan menelurkan buah karya itu, wajib membangun interaksi antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Memerdekakan tanah airnya sendiri. Seperti tujuan pendidikan yang tercantum dalam paragraf pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa dalam lingkupp yang lebih luas daripada hanya sekedar menggali ilmu.
Inilah satu dari sekian konsep pendidikan yang memerdekakan, menurut Sutan Ibrahim, alias Datuk Tan Malaka. Seperti kutipannya dalam Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) .pada tahun 1943, bagaimana ia mengkritik pola pendidikan yang salah dipahami oleh generasi muda pada saat itu, yang tak disangka ternyata mental sulit memahami itu justru ikut menjalar dan masih terjadi hingga sekarang.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!“
Tan Malaka tentu bukan seorang peramal yang ulung. Nampak sekali, bahwa ia cukup memahami ketakutannya, ketika esensi pendidikan yang sebenarnya bakal melenceng ditangan generasi muda yang sulit memahami. Akhirnya, kekhawatirannya benar-benar muncul bukan saja pada generasi dijamannya.
Sebab, pendidikan tidak hanya membuat orang menjadi pintar, tidak sekedar bergulat dengan teori-teori belaka, pendidikan bukan hanya wacana, wawasan apalagi sekedar penggalian pengetahuan. Tetapi juga sikap yang cerdas dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses penyelenggaraan pendidikan yang sehat itu pula, seyogyanya bisa mnumbuhkan kesadaran kaum terpelajar untuk hidup ditengah-tengah masyarakat. Menjadi kaum terpelajar tak seharusnya menjadi manusia paling naif sedunia, dimana ketika mereka sadar akan permasalahan disekitarnya, justru mereka berpaling. Kesadaran inilah yang perlu dipupuk. Kesadaran sesungguhnya akan nasib bangsa ini di masa depan.
Konsep pendidikan yang memerdekakan, juga paling anti pada cita-cita seorang terpelajar yang bermimpi sangat sederhana. Ada sebuah kutipan arif berkata, “Ilmu yang semakin dalam kalian pelajari akan berdampak pada tangung jawab kaliann atas berbagai permasalahan dalam lingkup palin kecil yaitu lingkungan sekitar, merujuk kepada bangsa dan negara”.
Sekali lagi, pendidikan itu harus membangun kesadaran dari mencerdaskan hingga membangun bangsa. Memerdekakan kita semua, tidak untuk sekedar menghasilkan output pendidikan yang hanya bercita-cita menjadi kaum pekerja yang rajin memakan gaji buta, pegawai di instansi-instansi, yang tunduk dan mengabdi pada korporasi asing yang jelas-jelas menghisap kekayaan negara. Sehingga pendidikan didirikan tidak hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, lantas gagal menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada di negeri ini.
Dan pada akhirnya, semoga ini bisa dijadikan refleksi untuk kita semua. Perubahan strata sosial menjadi seorang mahasiswa bukan sebuah peran yang mudah untuk diemban. Bukan juga sebuah gengsi yang harus dibanggakan berlebih hingga mengesampingkan tanggung jawab dalam berpikir dan bertindak.
*Mahasiswa biasa