Polemik antar Golongan Mahasiswa dan Pengkhianatan Intelektual

Pemulangan peserta Raja Brawijaya dari tahun ke tahun selalu diwarnai bentrok dan kericuhan antara Panitia, Satpam, Mahasiswa yang mengatasnamakan netral, dan Organisasi Ekstra yang terjadi di Gerbang Veteran (13/8). Beberapa organisasi mahasiswa ekstra yang terlibat yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

“Hal ini sudah sering terjadi dalam setiap gelaran Raja Mahasiswa”, tutur Wakil Ketua Koordinator Lapangan Yusuf Wardana membenarkan hal tersebut.

Kericuhan yang terjadi bukan hanya secara verbal, saling mengeluarkan kata kata kasar dan saling berorasi hingga memanjat patung arca raja brawijaya, namun juga berbenturan fisik saling dorong antara panitia dengan beberapa organisasi. Panitia dibantu oleh satpam dan resimen mahasiswa (Menwa) untuk menenangkan massa yang saling mebagikan selebaran kertas kepada mahasiswa. Meski begitu, kericuhan tetap terjadi sehingga mengharuskan panitia membuat barisan border mengamankan barisan maba hingga menggunakan Bus untuk mengeluarkan maba keluar melalui gerbang veteran.

Beparapa organisasi tersebut melakukan aksi pengenalan dan penyambutan mahasiswa baru sebagai wujud terbitnya Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018. Ketua Umum HMI Korkom Universitas Brawijaya Reza Zia mengungkapkan bahwa tindakan ini merespon  keluarnya Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan tentang Ideologi Pancasila dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, berarti Organisasi Intra Kampus dan Ekstra mampu masuk kedalam kampus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Perwakilan organisasi GMNI Budi bahwa mereka melakukan kegiatan sambut maba agar lebih mengenal tentang organisasi ekstra kampus serta berpesan ketika menjadi mahasiswa lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

“Pesan saya mahasiswa baru jangan ahistoris dan apatis untuk membangun indonesia yang lebih maju,” pungkas Reza.

Namun ada beberapa kelompok mahasiwa yang mengatasnamakan dirinya “netral” dengan tampilan pakaian serba hitam. Salah satunya Yohana Marenata menuturkan bahwa sebenarnya tidak masalah pengenalan organisasi seperti ini selama mahasiswanya tidak ditahap ospek. Biarkan pengenalan kampus terlebih dahulu, karena kemungkinan mahasiswa baru malah tidak mengerti organisasi tersebut.  

Menurut Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 Pasal 3 Ayat 1 “Perguruan tinggi dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang secara khusus memiliki fungsi sebagai wadah pembinaan ideologi Pancasila”. Hal ini disampaikan oleh Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Muhammad Natsir dikutip dari berita web resmi Kemenristekdikti bahwa fokus dari Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 adalah untuk mendorong Pimpinan Perguruan Tinggi, membuka UKM yang kegiatannya adalah untuk pembinaan 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika). Namun dalam Pasal 4 Ayat 1 dijelaskan bahwa Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan kegiatan politik praktis di perguruan tinggi.

“Partai politik tetap tidak boleh menyelenggarakan aktivitas di perguruan tinggi. Jangan alergi dengan politik, tetapi kita sebagai perguruan tingggi tetap dapat mengkaji kondisi politik di negeri ini,” tambah Menteri Nasir”

Namun menurut Julien Benda dalam tulisanya yang bertajuk “The Treason of Intellectuals” atau “Pengkhianatan kaum intelektual” Para civitas akademika tidak seharusnya terjebak kedalam kondisi dimana kegiatan kegiatan yang meninggikan pertimbangan atas keuntungan – keuntungan sosial atas golonganya sendiri, dalam situasi ini biasa disebut dengan politik praktis. Hal ini tercermin pada kericuhan yang terjadi yang saling menjatuhkan antar golongan meskipun mereka adalah sama sama berstatus mahasiswa. Julien Benda juga menambahkan pilihan taktis seperti ini diberi predikat sebagai melakukan pelacuran cendekiawan.

Sehingga Julien Benda menyimpulkan bahwa cendekiawan dipandang sudah melakukan pengkhianatan bila ia telah terlibat dalam kancah politik praktis serta mengabdikan diri untuk orientasi dan tujuan politik praktis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com