AHA Talks: Korban Pelecehan Seksual bukanlah Aib
Malang-Canopy (18/4). Kemarin Senat Mahasiswa (SM) FIABIKOM Unika Atma Jaya Jakarta mengadakan diskusi yang disebut AHA Talks dengan mengusung tema “Pelecehan Seksual: Siapa yang Disalahkan?” secara daring melalui zoom meeting. Diskusi ini dihadiri oleh Citra Benazir selaku Co-Director Hollaback Jakarta, Zoya Amirin, M.Psi., FIAS selaku Seksolog Klinis dan Theresia Iswarini seorang Komisioner Komnas Perempuan. Pembicaraan tersebut membahas mengenai kekerasan seksual dan segala bentuk-bentuknya serta lebih dalam lagi mengenai budaya patriarki yang terjadi di masyarakat.
Tahun 2020 tercatat sebanyak 430 ribu terjadi kasus kekerasan seksual. Setiap dua jam sebanyak tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Jika ditinjau lebih lanjut, korban dari pelecehan seksual tidak hanya perempuan saja, melainkan laki-laki juga.
“Kekerasan seksual ini tidak memandang bulu, dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja,” Pungkas Citra. Bentuk kekerasan seksual tidak hanya mengarah kepada fisik saja, melainkan dapat mengarah kepada psikologis yang berupa penelantaran, tidak menghargai, dan sejenisnya. Selain psikologis, bentuk lainnya yakni kekerasan ekonomi, seperti menahan keuangan, menahan seseorang dalam memiliki aset, dan lainnya.
“Umumnya, banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual lebih memilih bungkam. Hal ini disebabkan karena pandangan masyarakat mengenai perempuan yang mengalami pelecehan seksual adalah sebagai aib dan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam suatu hubungan yang dikenal dengan budaya patriarki.” Sambung Citra.
Budaya tersebut timbul akibat ketidaksetaraan gender masih kental. Perempuan hanya diobyektifkan di media, dihargai hanya melalui penampilan fisik, dan kurangnya empati dimata hukum. Yang lebih memprihatinkannya lagi, ketika ada suatu peristiwa kekerasan yang terjadi tetapi kadang orang sekitar tidak memiliki keinginan untuk melaporkan kejadian tersebut karena kurangnya empati pada korban.
Sementara itu, maraknya victim blaming yang dipaparkan oleh Zoya secara keilmuan terdapat dua teori yang menjadi faktor terjadinya hal tersebut. Teori pertama, just world theory dimana seseorang susah untuk mempercayai ada orang yang bisa disakiti tanpa kesalahan apapun dan intrinsic fear theory, mereka (masyarakat) percaya bahwa pemerkosaan terjadi pada orang yang memprovokasi pelaku.
Dalam pelaporan kasus pelecehan seksual selalu ada hambatan, salah satunya ketidaksanggupan dalam membiayai visum et psikiatricum selama dalam proses pemeriksaan korban, menyuruh korban menyelesaikan secara kekeluargaan, tersendat proses pembuktian, pelaku tidak diketahui atau ditemukan, korban tidak berani melapor, korban mengalami trauma jangka panjang.
Sehingga, langkah yang harus diambil adalah mengakhiri kekerasan seksual dengan fokus pada pelaku dan mendampingi korban. Pentingnya pemberian pelajaran tentang sex education pada usia dini dapat menghilangkan hal yang dianggap sebagai aib dan tabu dalam konteks pelecehan seksual. Adapun dampak yang terjadi pada korban pelecehan seksual, diantaranya PSTD (Post Traumatic Stress Disorder), depresi, permasalahan karakter, sleep disorder, kehamilan yang tidak diiginkan, HIV dan AIDS.
Seluruh narasumber berpesan kepada seluruh korban kekerasan seksual dan penyintas untuk berani speak up dan melaporkan kasus kekerasan seksual karena yang perlu disalahkan adalah pelaku bukan korban. Korban pelecehan seksual seharusnya dirangkul dan didampingi bukan dikucilkan.
Penulis : Ryan Kharisma dan Shanti Ruri P
Editor : Shanti Ruri P