Kotoran Ternak sebagai Salah Satu Penyumbang Keberadaan Gas Rumah Kaca di Atmosfer
Bincang hangat bersama Prof. Dr. Ir. Moch. Junus, MS
Dosen Pengampu Mata Kuliah Iptek. Pengelolaan Limbah dan Hasil Samping Ternak
“Tidak ada gas rumah kaca (dari kotoran ternak. red) kalau di kelola dengan benar”
Prof.Dr.Ir. Moch. Junus, MS. nama yang tidak asing jika kita mendengarnya di lingkup Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (FAPET UB). Ia adalah salah satu dosen dari jurusan Produksi Ternak yang juga mengampu mata kuliah Pengelolaan Limbah dan Hasil Samping Ternak. Ditemui di ruangannya, di gedung baru lantai 5 Fakultas Peternakan, beliau berbicara banyak tentang kotoran ternak sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca.
Seperti kita ketahui, sektor peternakan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Beberapa faktor yang mengakibatkannya adalah kotoran ternak, khususnya kotoran sapi yang menghasilkan gas metana.
“Bahkan setelah sapi itu kentut atau mengeluarkan kotorannya, sapi itu sudah menghasilkan gas metana namun masih sedikit,” ucapnya.
Gas metana ini 23 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2, gas inilah yang kemudian memenuhi ruangan atmosfer, menyebabkan suhu di bumi semakin panas akibat sinar matahari yang tak tersaring lagi oleh lapisan atmosfer. Gas-gas metana ini dapat dikatakan tidak sebanding dengan banyaknya CO2 yang selama ini dikatakan sebagai penyebab utama pemanasan global.
Gas metana yang di keluarkan ke atmosfer, tergantung dengan banyaknya ternak sapi di suatu daerah. Di Indonesia, terdapat kurang lebih 14 juta ekor sapi ternak, populasi terbanyak ada di Jawa Timur dan Nusa Tenggara.
Berbeda dengan di Australia, dengan populasi 20 juta orang, terdapat kurang lebih 30 juta ekor sapi ternak. Menurut Junus, dengan banyaknya populasi ternak, semakin banyak pula kotoran ternak yang dihasilkan, artinya, akan semakin banyak pula kemungkinan gas metana yang akan memenuhi atmosfer.
“Kondisi limbah kotoran ternak sekarang hanya dibiarkan disekitar kandang bahkan masuk sungai, tak jarang digenangi air hujan, sedangkan kalau tergenang air, akan menghasilkan gas rumah kaca karena menguap,” ucapnya.
Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi reaksi secara aerob alami yang kemudian menghasilkan gas-gas seperti NO2, N2O maupun NOX , jika sudah mencapai luar angkasa, gas tersebut yang menjadi gas rumah kaca saat ini.
Pada tahun 2006, PBB menyebutkan bahwa kotoran ternak 51 % berperan terhadap keberadaan gas rumah kaca di atmosfer. Bukan dari sektor industri, pembakaran bahan bakar minyak, ataupun banyaknya pembakaran hutan, namun dari sektor peternakan.
Berbeda dengan kondisi saat ini, dengan konsumsi daging yang meningkat menyebabkan kebutuhan akan ternak khususnya sapi semakin tinggi. Artinya, ini akan menambah populasi sapi di bumi, juga menghendaki keberadaan gas metana yang lebih besar lagi.
Namun, menurutnya tidak akan terbentuk gas metana dari kotoran ternak jika dikelola dengan benar. “Kalau kotoran ternak ini tercampur air dan di tempatkan pada suatu ruangan tertutup (anaerob) maka NO2, N2O dan NOX tidak terbentuk, malah jadi NO3 (nitrat), nitrat ini bisa digunakan menjadi pupuk tanaman,” Kata Junus.
“Disamping NO2, N2O dan NOX yang menjadi nitrat, juga membentuk gas CH4 dan CO2, dimana CH4 dan CO2 ini merupakan gas rumah kaca yg berbahaya, kalau CH4 ini dibakar otomatis menjadi CO2 dan H2O, akhirnya limbah ternak itu tidak mnghasilkan NO2, N2O dan NOX, tetapi menghasilkan CO2,” tambahnya.
Jika limbah kotoran ternak di kelola dengan baik, limbah tersebut dapat menjadi bermanfaat.Namun konsep atau upaya ini masih sulit diterapkan karena dalam prakteknya, manusia memanfaatkan ini masih parsial, artinya tidak memiliki integrasi yang kuat.
Ia juga menuturkan, penting sekali adanya integrasi antara peternakan juga pertanian maupun bidang lain untuk meningkatkan produksi dan mengurangi emisi gas rumah kaca. “Salah satunya upaya yaitu peternakan terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, maupun kehutanan, dimana akan terbentuk 4F (feed, food, fertilizer dan fuel) sehingga pakan tidak kekurangan, pupuk tidak kekuranagan dan produktivitas per satuan luas akan beragam dan tinggi.”
Dengan peningkatan produksi, otomatis penyerapan CO2 dari limbah ternak tinggi, limbah ternak bukan untuk mengotori luar angkasa atau menjadi gas rumah kaca, tetapi limbah ternak merupakan penurun emisi gas rumah kaca. “Jadi emisi yang dihasilkan (limbah ternak. red) tidak sebanding dengan mitigasi atau penyerapan gas, jadi tidak seimbang, karena termanfaatkan, artinya akan jadi bersih gas rumah kaca itu,” ucap pria kelahiran Malang 2 Maret 1955 tersebut.
Reporter: Alif Nur Rizki