Sejauh mana Restorasi Gambut Telah Dilakukan?

Malang-Canopy. Hari ini, Jum’at (28/5) Pantau Gambut melakukan Koferensi Pers bertajuk “Membedakan Teka-Teki Perlindungan Ekosistem Gambut di Area Berizin” yang dihadiri oleh Romes Irawan dari Pantau Gambut Riau, Puspita dari Pantau Gambut Sumatera Selatan, Dimas Hartono dari Pantau gambut Kalimantan Tengah, Sulfianto Ilyas dari Pantau Gambut Papua dan Papua Barat, Feri Irawan dari Pantau Gambut Jambi dan Nikodemus Ale dari Pantau Gambut Kalimantan Barat. Kegiatan ini dilakukan melalui video conference zoom yang berlangsung selama 2 jam. Konferensi pers membahas mengenai kebakaran yang sering terjadi di area gambut terutama area konsesi. Padahal sejumlah area konsesi sudah seharusnya melakukan pemulihan. Namun, tak kunjung dihiraukan.

Berdasarkan data dari Walhi sebanyak 439 perusahaan yang berasal dari 5 provinsi yaitu Kelimantan tengah, Riau, Jambi, Sumatra Selatan dan Kalimantan Barat terlibat dalam kebakaran pada tahun 2015 lalu. Meskipun, pemerintah telah bergegas dalam melakukan pencegahan terjadinya kebakaran, namun kenyataannya empat tahun kemudian 160 ribu lahan gambut di area konsesi masih saja terbakar selama 2019.

Melalui siaran pers, Pantau Gambut telah mendorong pihak swasta untuk berkontribusi dalam kegiatan restorasi gambut karena berdasarkan hasil pemantauan dan analisis lapang ditemukan bahwa sebesar 91,5% titik sampel tidak terdapat infrakstruktur untuk melakukan restorasi sama sekali dan hanya terdapat 1,8% wialayah yang memiliki infrastruktur restorasi yang baik.

Feri Irawan angkat bicara, “Hampir 80% lahan gambut di Jambi rusak total. Kajian-kajian mengenai restorasi gambut yang selama ini telah digalakkan haruslah melihat dari permasalahan yang ada. Bagaimana solusi serta aksi dari pemerintah agar gambut dapat dipulihkan. Selain itu, adanya kanal-kanal yang dibuat oleh perusahaan kemudian dipermudah dalam memperoleh izin dari pemerintah merupakan salah satu pintu untuk merusak lahan gambut,” Kata Feri.

Nikodemus ale juga menambahkan “Hampir seluruh pemilik konsesi mengabaikan implementasi restorasi yang terjadi di wilayah konsesi. Perusahaan hanya membuat plang-plang peringatan bahaya kebakaran sebagai himbauan. Namun, alangkah lebih baik aktivitas pemulihan 3R (Rewetting, Revegetation, dan Revitalization) lebih diimplementasikan. Bahkan tidak ditemukan laporan kegiatan pemulihan yang disampaikan Pemda Ketapang mengindikasikan tidak adanya kegiatan pemulihan yang serius oleh pemegang konsesi yang bertanggungjawab.” Ungkapnya.

Dilansir dari pantaugambut.id terdapat dua hal penting mengenai sejauh mana perusahaan mengimplementasi regulasi-regulasi terkait perlindungan ahan gambut yaitu, pertama Sebagian besar perusahaan belum melaksanakan pemulihan ekosistem gambut. Kedua, pembukaan lahan dan pemanfaatan Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) lindung untuk tanaman ekstraktif masih diterapkan.

Namun, restorasi di lahan gambut tidak serta merta melalui jalan yang mulus, terdapat beberapa tantangan dalam restorasi gambut yang disampikan oleh Romes Irawan, yaitu (1) proses yang panjang dimana dalam menangani perkara lingkungan hidup termasuk kebakaran memerlukan waktu yang tidak singkat; (2) tenaga ahli yang terbatas, diperlukan ahli yang kompeten untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah terkati pelanggaran, yang nantinya dapat digunkan oleh hakim sebagai legal evidence; (3) masih sedikit hakim bersertifikasi lingkungan dan (4) sistem rugi dan pengawasan, hasil ganti rugi dari proses hukum tidak dapat menjamin lahan yang rusak dapat dipulihkan segera serta diperlukan pengawasan terhadap lahan yang dipulihkan. Terlebih lagi dalam UU CIpta Kerja dijelaskan bahwa lahan yang telah terbakar maka sanksi pidana tidak lagi diberlakukan.

Sebagai penutup, Feri menambahkan bahwa bukan hanya kanal dan sumur bor yang perlu diperhatikan tetapi akar permasalahan seperti konsesi dan perizinan juga harus diperketat agar perusahaan tidak semena-mena untuk merusak lahan gambut. Sehingga dirinya berharap pemerintah lebih tegas dalam mengeluarkan izin, karena sejatinya pemberian izin dilakukan untuk memastikan kegiatan pengelolaan lahan gambut sesuai dengan penggunaan lahan serta tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Keuntungan lainnya, kerusakan pada lahan gambut dapat diminimalisir dan lahan gambut dapat dipulihkan seperti sedia kala. Selain itu Sulfiyanto berharap pemerintah pusat dan daerah untuk menindaklanjuti tindakan-tindakan pelanggaran berupa pencabutan izin, seperti adanya kanalisasi, perubahan tutupan lahan.  

Penulis dan Editor : Shanti Ruri Pratiwi

Gambar bersumber dari CIFOR atau pantaugambut.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com