Petani Sejahtera Petani Merdeka
Oleh: Niswatin Hasanah
Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2003 jumlah rumah tangga tani Indonesia sebanyak 31,17 juta. Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian (2013), jumlahnya menyusut menjadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta selama sepuluh tahun atau jika dirata –rata 1,75 persen pertahunnya. Melihat jumlah petani yang semakin menurun, mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan petani sampai saat ini belum terpenuhi.
Kepemilikan lahan yang sempit dan ketidakpunyaan lahan bagi petani kecil menjadi salah satu factor dari banyaknya faktor penghambat ketidaksejahteraan petani. Segala kegiatan pertanian yang dilakukan sangat bergantung pada pihak lain. Disamping itu, kurangnya pengetahuan akan penggunaan teknologi pertanian menjadi pendukung lebih petani kecil dalam melakukan produktivitas pertaniannya. Kondisi petani semakin terpuruk, semakin terkikis rasa merdeka. Alhasil mereka tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya karena penghasilan yang minim.
Melihat keadaan tersebut masih perlukah dipertanyakan akan rasa kemerdekaan mereka bahkan setelah 70 tahun Indonesia merdeka?. Sering dijumpai permasalahan permasalahan dibidang pertanian lainnya seperti harga pupuk yang melambung tinggi sampai kelangkaan pupuk yang sejatinya menjadi kebutuhan usaha taninya, masalah ketersediaan benih unggul, ketiadaan modal, rendahnya harga di kalangan petani hingga sulitnya pemasaran produk pertanian menjadi kendala yang seolah-olah melekat pada kehidupan para petani.
Sekarang kita bandingkan kehidupan petani Indonesia dengan petani Jepang dan Eropa. Bertolak belakang dengan petani di Indonesia, betapa enaknya menjadi petani di Jepang dan Eropa. Atas nama kesejahteraan petani, pemerintah Jepang dari dulu hingga kini menutup rapat-rapat pintu bagi beras dari luar negeri. Tak sebutir beras asing pun boleh masuk ke pasar Jepang. Bahkan Uni Eropa memasang badan untuk menerima tuduhan sebagai pihak yang menggagalkan keinginan bangsa-bangsa di dunia membentuk rezim perdagangan baru.
Bagaimana di Indonesia? Jawabnya mudah saja: betapa tidak enaknya menjadi petani di negara ini. Seperti dilindungi, tapi yang didapatkan petani kita dari waktu ke waktu tak lebih dari penganiayaan demi penganiayaan. Keberpihakan kepada mereka hanya sebatas kata-kata di ruang rapat, terlalu banyak iming-iming dan janji-janji yang disuarakan dengan lantang untuk konsumsi publik. Bukannya kesejahteraan yang mereka dapatkan, melainkan meningkatnya derajat kemiskinan mereka. Jutaan petani tak lagi punya ladang, ladangnya kini sudah banyak berganti menjadi beton-beton bertingkat, tak lagi ada tanaman-tanaman hijau yang rimbun.
Kita bandingkan juga dengan para petani di Amerika, negeri paman Sam. Pemerintah Amerika memberikan jaminan terhadap petani yang mengalami gagal panen, para petani mendapat bantuan pengetahuan dan teknologi dari berbagai pihak, terutama Universitas. Mereka dengan mudah mendapat informasi bibit unggul terbaru, kondisi cuaca, bahkan harga berbagai jenis panenan. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan petani di Indonesia. Hal yang terjadi ketika petani kecil mengalami gagal panen, kemungkinan buruk mereka menggadaikan barang barang, bayaran sekolah menunggak dan kebutuhan hidup lainnya belum dapat terpenuhi karena tidak adanya jaminan daripemerintah akan kondisi tersebut.
Dengan kondisi pertanian tersebut, strategi yang perlu dimasifkan adalah pemerintah melakukan penyusunan usaha pertanian komersial dengan memperhatikan keadaan petani kecil dan tidak mengabaikan manajemen agribisnis. Tak hanya itu, pemerintah juga melakukan perencanaan pangan skala luas dengan swasembada pangan berkelanjutan. Didukung dengan pemodalan dan teknologi modern pertanian kelak mendorong terealisasinya strategi pembangunan pertanian dan menjadikan petani indonesia sejahtera.
Memang tidak mudah menerapkan ide dan strategi diatas, namun jika ada usaha yang tepat pasti akan bisa. Semoga pertanian Indonesia semakin maju, dan nasib petani Indonesia semakin sejahtera dengan penghasilan diatas rata rata. Petani sejahtera petani merdeka.