DPM TAK ADA AKSI JUGA TAK ADA YANG PEDULI
Pandemi yang melanda membuat semua sektor yang ada di negeri ini terdampak. Hal itu membuat kebijakan berubah-ubah dalam waktu yang singkat dan terkesan mendadak. Mahasiswa juga merasakan dampak yang serius dimana aktivitas-aktivitasnya sangat dibatasi. Dari mulai kegiatan perkuliahan, praktikum sampai pada kegiatan non akademik seperti organisasi dan unit kegiatan mahasiswa lainnya. Hal itu membuat banyak mahasiswa juga terkendala dalam berbagai hal tersebut. Tak terkecuali pada mahasiswa di fakultas yang kita cintai ini. Ya tentunya Fakultas Pertanian (FP).
Banyak sekali permasalahan-mahasiswa yang ada di FP ini terutama selama pandemi COVID-19. Dari biaya praktikum yang harus ditanggung dengan dana pribadi sampai masalah organisasi yang ada di lingkup FP. Sampai saat ini, saya juga melihat lembaga kedaulatan mahasiswa (LKM) tak bergerak bersama-sama untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dan semua sibuk dengan organisasi mereka masing-masing untuk menjalankan program kerja dan tentunya mencari penerus yang baru. Tetapi bukankah seharusnya ada yang menyuarakan hal tersebut? Faktanya semua terlihat pasrah dengan keadaan dan tak ada kata selain sami’na wa ato’na terkait kebijakan yang dikeluarkan dari universitas ataupun fakultas. Mungkin sebagian pembaca paham yang saya maksud. Dimanakah peran DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) pada saat ini? Sebagai penyampai aspirasi mahasiswa, wakil dari mahasiswa tetapi tak peka dengan keadaan.
Pada saat mahasiswa FP banyak kendala dan permasalahan-permasalahan yang sedang melanda. Disini muncul pertanyaan lagi, apakah DPM sudah tidak eksis dan tidak dapat menjadi penampung aspirasi mahasiswa? Sepertinya juga banyak mahasiswa yang mulai tidak peduli dengan kehadiran DPM. Atau hanya disibukkan dengan pembuatan undang-undang saja? Padahal masih banyak fungsi yang harus dijalankan lainnya. Entahlah, tetapi hanya itu yang saya tahu selama ini dan juga tak banyak memberikan dampak pada masyarakat FP.
Terus terang pada suatu diskusi dengan teman yang saat ini juga masih aktif berorganisasi di LKM FP UB merasa kecewa dengan DPM yang seperti saat ini. Setiap organisasi di LKM FP UB mempunyai kendala dan permasalahannya. Untungnya mereka telah melakukan Safari LKM meskipun agak terlambat, dimana setiap LKM mendapatkan giliran untuk sekedar sharing, menyampaikan aspirasi dan berdiskusi. Hal itu penting dilakukan mengingat setiap LKM pasti punya keresahan masing-masing karena lingkar LKM saat ini topik bahasannya terlalu dimonopoli oleh BEM dan organisasi LKM yang lain tak diberikan kesempatan untuk mengusulkan pembahasan.
Anggaran Rumah Tangga LKM FP UB pada BAB III Pasal 12 tentang tugas dan wewenang DPM FP UB yang salah satunya adalah melakukan pengawasan terhadap BEM dalam menjalankan undang-undang. Bagaimana dengan pengawasan pada organisasi lain yang tergabung dalam LKM FP UB? Fungsi pengawasan dan bagaimana mekanismenya? Sementara tidak ada undang-undang pengawasan yang menjadi landasan fungsi pengawasan, tetapi DPM dalam struktur keorganisasiannya membentuk komisi kelembagaan dan pengawasan. Bagaimana fungsi pengawasan sebenarnya dilakukan dan bagaimana selama ini DPM menjalankan fungsi pengawasan? Memang kalau ada fungsi tersebut setidaknya terdapat undang-undang yang mengatur pengawasan agar mekanismenya jelas dan masyarakat LKM juga sama-sama mengerti dan menerima. Apakah hanya ada di kegiatan PROBINMABA dan PEMILWA saja pengawasannya? Faktanya itu yang terjadi. Oleh karena itu banyak orang yang mengatakan kalau DPM fungsinya hanya membuat undang-undang. Karena produk yang paling nyata dan terlihat sekarang hanya itu dan undang-undangnya pun mungkin tak beda jauh dengan sebelumnya. Sedangkan tugas dan wewenang yang lain belum dijalankan dengan baik selama ini.
Pada tugas dan wewenang DPM yang diatur dalam AD/ART LKM FP UB Amandemen 2014 yang menyebutkan bahwa DPM mempunyai fungsi menetapkan APBO dengan melalui pembahasan bersama perwakilan seluruh atribut organisasi LKM FP UB. Sampai saat ini juga belum dilaksanakan pembahasan secara mendalam terkait RAPBO dan hanya disamakan dengan anggaran tahun sebelumya dan hanya langsung ditetapkan. Setiap tahun seharusnya terdapat perubahan karena kebutuhan setiap LKM sedikit banyak juga mengalami perubahan dan LKM yang memiliki produktivitas serta keaktifan yang baik dapat menambah nilai RAPBO menurut yang saya dengar beberapa waktu yang lalu. Padahal saat ini LKM sudah memasuki setengah periode kepengurusan. Hal itu juga membuat keresahan tersendiri mengingat salah satu sumber dana LKM FP UB adalah dari sumbangan pengembangan pendidikan yang mekanismenya telah diatur oleh fakultas.
Terakhir saya turut mengapresiasi langkah DPM untuk membuat Rumah Aspirasi Maperta sebagai wadah penampung aspirasi mahasiswa pertanian dengan itu mahasiswa pertanian dapat mengirimkan aspirasinya melalui WhatsApp. Namun sangat saya sayangkan hal semacam itu tak disosialisasikan dengan baik ke mahasiswa fakultas pertanian. Hal ini adalah indikator bahwa bukan saja kinerja yang kurang tetapi juga komunikasi publik yang buruk sehingga program yang diluncurkan belum dapat diterima oleh keseluruha anggota LKM FP UB.
Penulis : Rahmanda Sukma Jati
Editor : Wikan Agung Nugroho