Indonesia Krisis Petani Muda
Indonesia Krisis Petani Muda
Oleh: Niswatin Hasanah
Miris di negeri (yang katanya) agraris. Betapa tidak? Pertanian yang merupakan salah satu sektor vital dalam menghadapi perkembangan populasi manusia di Indonesia utamanya penyedia pangan serta lapangan pekerjaan memiliki masalah serius antara lain irigasi, benih, pupuk, alat mesin pertanian serta penyuluh lapangan (Sumber Daya Petani).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2013 terdapat 26.135.469 rumah tangga petani yang terdata dan mengalami penurunan dari tahun 2003 sebanyak 5 juta rumah tangga petani. Dapat diindikasikan bahwasannya pertanian hari ini sudah tidak menguntungkan lagi bagi petani. Selain sektor pertanian tidak menjanjikan dari segi pendapatan, secara status sosial masih dipandang rendah. Hal ini tampak dari generasi tua yang mulai enggan bertani begitu juga generasi muda yang mulai kehilangan gairah meneruskan usaha orang tuanya untuk menggarap lahan.
Target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada tahun 2045 nampaknya akan menjadi mimpi belaka jika permasalahan regenerasi petani terus dibiarkan. Bisa jadi, justru di tahun itu Indonesia bahkan mengalami keterpurukan berupa krisis pangan. Indonesia akan menjadi Negara pengimpor beras yang menggantungkan ketahanan pangan ke Negara lain.
Tergeser Oleh Sektor Lain
Petani di Indonesia masih didominasi oleh generasi tua. Berdasar hasil survey LIPI hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Sekitar 4% pemuda usia 15-35 tahun berminat menjadi petani. Sisanya, sebagian besar tergiring industrialisasi. Lebih rumit lagi, Dari jumlah petani yang ada, sekitar 65% sudah berusia diatas 45 tahun. Artinya, jumlah petani yang berganti ke okupasi ke luar sektor pertanian lebih besar dibanding anak muda yang bersedia menekuni usaha pertanian.
Sayangnya, dalam konteks pembangunan, penurunan jumlah petani kerap dipandang sebagai kemajuan. Semakin sedikit jumlah petani semakin efisien proses budidayanya. Menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) perspektif seperti itulah yang menganggap hanya sector industry yang bisa memajukan bangsa. Padahal dengan berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk dalam negeri serta tergerusnya lapangan pekerjaan. Pasalnya, pertanian merupakan sector yang berkontribusi menyediakan 40% lapangan pekerjaan
Tingkat Kesejahteraan Petani
Di Indonesia, dari segi luasan lahan yang dimiliki tercatat 87,63% atau 22,9 juta rumah tangga adalah petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 2 hektar. Sekitar 5 juta petani dilaporkan memiliki luasan lahan dibawah 0,5 hektar. Dengan kondisi seperti ini, petani tidak dapat memaksimalkan produksi dilahannya dan kemudian menjadi salah satu pemicu yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani.
Faktor lain yang menjadi pemicu regenerasi petani muda mandek adalah semakin berkurangnya lahan pertanian yang tergerus karena proses konversi menjadi pemukiman, tempat wisata, pusat perbelanjaan, perkantoran dan sebagainya. Belum lagi pada tahun 2020 hingga 2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Bonus demografi sendiri merupakan keadaan saat jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai 70%, sedangkan 30% berada pada usia tidak produktif (14 tahun kebawah dan diatas 65 tahun). Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Beberapa upaya yang dilakukan kementrian pertanian dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan pendampingan mahasiswa dalam upaya peningkatan produksi pangan. Kedua, Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP). Ketiga, pengembangan SMKPP dan transformasi STPP menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian. Keempat, Balai Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K) atau Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) ditingkat kecamatan harus dapat turut serta menggalakkan generasi muda pedesaan terjun di dunia pertanian.
Bukan pesimis dengan upaya yang dilakukan pemerintah, namun persoalan yang dihadapi petani bukan sekedar faktor anomaly cuaca, sempitnya luas lahan garapan, serangan hama dan gagal panen. Tapi juga berkaitan dengan proses penentuan harga. Jangankan mendapat keuntungan, bahkan tidak sedikit petani tidak balik modal atau justru tekor. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya sebesar 0,38% atau sebesar 100,53. Sedangkan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Petani (NTUP) mengalami kenaikan sebesar 0,41% atau sebesar 109,59 dibanding bulan sebelumnya. Memang dalam skala nasional tingkat kesejahteraan petani meningkat. Namun dapat diindikasikan tingkat kesejahteraan petani belum merata di beberapa daerah ketika kenaikannya kurang dari 0,5%
Kampus Sebagai Basis Regenerasi Petani
Ironi krisis regenerasi petani muda sempat disinggung pada Sidang Terbuka Dies Natalis IPB Ke-54 oleh Presiden Joko Widodo. Sindiran yang dilemparkannya tak lepas dari kegelisahannya menatap pertanian Indonesia di masa depan. Jika kebanyakan lulusan perguruan tinggi berbasis ilmu pertanian di Indonesia (IPB) bekerja di perbankan maupun bidang lain non pertanian. Lantas siapakah yang akan menjadi petani?
Kampus diharapkan mampu menjadi lokomotif perubahan paradigma bahwa pertanian merupakan sector yang menjanjikan jika dikelola dengan benar dan memperhatikan kaidah agrobisnis yang tepat. Pertanian bukan hanya berkutat soal budidaya saja, tetapi dimulai dari proses manajemen pra tanam, budidaya hingga pascapanen. Dengan proses manajemen yang tepat akan menimbulkan daya tarik baru bagi generasi petani muda.
Kampus juga diharapkan mampu memberikan inovasi terbarukan dengan dikembangkannya riset – riset berkualitas untuk menghasilkan teknologi pertanian modern serta berkelanjutan yang dapat meningkatkan produktivitas serta nilai tambah sector agraris. Demikian pula pemerintah perlu memberikan dukungan untuk mendorong terciptanya riset untuk diaplikasikan ke petani langsung.
Paradigma Baru Generasi Millenial
Seringkali, persepsi bertani oleh anak – anak muda diidentikkan suatu pekerjaan yang menguras keringat, mencangkul di sawah , panas dibawah terik matahari dan melelahkan. Persepsi seperti inilah yang harus didekonstruksi dan merekonstruksinya agar anak muda memiliki penilaian baru terhadap usaha bertani.
Bagi generasi millennial, pertanian tidak melulu bercocok tanam disawah. Berbagai usaha pertanian mulai dikembangkan mulai dari pertanian organic hingga usaha tani non – tanah seperti hydroponic dan aeroponic. Pertanian modern seperti inilah yang harus mulai diperkenalkan sebagai gaya hidup baru petani muda. Utamanya sasaran anak – anak muda di pedesaan.
Bahkan saat ini digitalisasi pertanian sudah mulai diaplikasikan oleh petani di beberapa daerah. Sebagaimana proyek percontohan yang dikembangkan pemerintah di Brebes, Jawa Tengah tentang “Petani Digital”. Begitu juga aplikasi digital canggih yang diberi nama “HARA” juga sudah mulai digunakan di Lampung dan Merauke. Aplikasi tersebut juga memberikan dampak positif terhadap kenaikan produksi pertanian. Produk digital semacam ini perlu terus dikembangkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan gaya hidup anak muda dewasa kini.
Pendek kata, krisis petani muda merupakan satu dari sekian permasalahan di sektor pertanian. Untuk itulah diperlukan adanya integrasi antara pemerintah, kampus, serta petani muda itu sendiri dalam hal mendekonstruksi serta merekonstruksi paradigm baru dalam hal bertani. Tanpa adanya integrasi antar ketiganya jangan harap ancaman regenerasi petani akan dapat diatasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan terperosok menjadi consumer country dalam memenuhi pangan penduduknya. Itulah seburuk – buruknya ironi.