Kasus Korupsi PT Timah Rp 271 T: Lingkungan Rusak, Negara Rugi Triliunan

Malang, Canopy – Untuk mengisi waktu ngabuburit di bulan Ramadhan, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengadakan program “Ngobrol Santai Antikorupsi” dengan topik hangat “Eksploitasi Hingga Korupsi Timah: Lingkungan Rusak, Negara Rugi Triliunan” yang dilaksanakan Rabu (3/4/2024) via live Instagram @sahabaticw. Diskusi santai ini dipandu oleh moderator yakni Tamimah Ashilah selaku Kampanye Publik ICW, bersama narasumber hebat yakni Alfarhat Kasman selaku Juru Kampanye JATAM dan Siti Juliantari selaku Wakil Koordinator ICW.

Narasumber pertama, Farhat memaparkan bahwa nominal Rp 271 T tak hanya berupa uang, namun termasuk perhitungan secara kerusakan ekologis dari akibat pertambangan PT Timah di Bangka Belitung. “Kalau soal perhitungan ekologis dari kita di JATAM menganggap sebenarnya kurang banyak dari nominal Rp 271 T, karena diperlukan metodologi yang tepat untuk menilai aspek ruang hidup warga yang terganggu akibat aktivitas tambang. Perhitungan bisa jadi acuan penentuan sanksi ke mereka (pelaku korupsi timah),” tutur Farhat.

Kemudian narasumber kedua, Tari, menyinggung pada kasus PT Timah terdapat aktivitas penambangan ilegal yang harusnya diusir, malah diakomodir dengan berbagai macam skema hingga dianggap menjadi suatu hal legal. 

“Berdasarkan data ICW dari 2004-2015, kita melihat bahwa sekitar 3 triliun yang seharusnya menjadi penerimaan negara dari royalti dan pajak itu tidak dibayarkan dari timah ilegal yang diekspor ke negara kawasan Asia Tenggara. Jadi korupsi di sektor timah bukan hal baru dan kemungkinan model serupa masih terjadi hingga kini,” imbuh Tari. 

Ia menuturkan bahwa hukuman kasus korupsi dengan kerugian bombastis tak berbanding lurus dengan keputusan aparat penegak hukum. Menurut data ICW tahun 2022, tren vonis kasus korupsi di Indonesia rata-rata pidana penjara selama 3 tahun 4 bulan bahkan bisa kurang akibat remisi.

“Sekarang pelaku kasus korupsi mudah dapat remisi dari 3 tahun 4 bulan bisa jadi setahun bahkan kurang dari itu. Selanjutnya, terdapat lapas yang seperti hotel dan di lapas itu bisa jual beli kamar. Ditambah lagi belum efektifnya penegak hukum dalam pelaksanaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Perampasan Aset. Jadi, hasil kejahatan korupsi tadi akhirnya tidak bisa beres dan dikembalikan kepada negara. Contoh pada kasus ini kerugiannya mencapai Rp 271 T. Proses penegak hukumnya harus kita pantau juga, agar hukumannya sebanding dengan total kerugian. Harapannya penegak hukum tidak hanya menetapkan individunya saja jadi pelaku korupsi, tapi korporasi yang bermasalah juga,” pungkas Tari. 

Tami kemudian menambahkan, tak perlu kasihan kepada narasi yang mengarah seolah-olah koruptor adalah korban. Padahal justru rakyatlah yang menjadi korban utama.   

Terkait kondisi lapangan di Bangka Belitung, Farhat bercerita terkait pertambangan ilegal. Sikap negara cenderung membiarkan. Bahkan terdapat kebohongan struktural yang sengaja dilakukan oleh negara untuk mengelabui warga. Banyak tambang ilegal yang izinnya ditumpang-tindihkan dengan tambang yang memiliki Izin Usaha Tambang (IUP). Kasus ini tak hanya di Bangka Belitung namun di setiap pulau besar maupun kecil di Indonesia, sehingga seakan-akan dengan adanya pertambangan ini dapat membuka lapangan pekerjaan baru.

Bahasan kini berlanjut saat Tami memantik terkait siapa aktor-aktor yang bermain dalam konteks korupsi dan eksploitasi sumber daya alam.

“Memang yang tertangkap kini ialah operatornya. Karena kita tahu bahwa PT Timah ini salah satu BUMN yang kemudian justru terkena kasus. Kemungkinan besar aktor-aktor yang terlibat akan menarik pejabat negara dari lintas Kementerian misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan dan macam-macam. Kejaksaan Agung seharusnya tidak hanya mengejar operator-operator yang kini di blow up oleh media, tapi harus berani juga terhadap orang-orang yang ada keterlibatannya dengan kasus ini,” ujar Farhat.

Tari menanggapi bahwa yang memiliki kewenangan terkait sektor ekstraktif yakni Kementerian ESDM, Kementerian Investasi, dan Pemerintahan Daerah (baik tingkat I maupun II). Dengan adanya aturan baru yang awalnya IUP diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kini menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

“Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi biasanya pelakunya dari pihak swasta, yakni perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif baik itu direktur sampai staf-stafnya, Pemerintah Daerah, dan aparat penegak hukum. Dalam kasus konflik lahan misalnya aparat penegak hukum juga dipakai sama swasta bahkan untuk melawan warga. Apalagi melihat tahun Pemilu, izin ini seringkali menjadi korupsi politik. Korupsi politik seperti lingkaran setan, tak ada habisnya. Pada akhirnya negara cuma dapat buruknya. Rusak iya, sejahtera enggak,” tambah Tari.

Bahasan berlanjut dari kedua narasumber berpendapat bahwa kasus ini perlu dikawal oleh masyarakat agar tak menjadi kasus populis saja. Tari berpendapat bahwa tugas kita semua adalah mengawal prosesnya sampai tuntas. Jangan terpaku pada nilai Rp 271 T. Begitu pula dengan Farhat, menurutnya Kejaksaaan Agung harus memperluas jangkauan kerja mereka, jangan hanya berfokus pada PT Timah.

Sebagai penutup, Tari mengungkapkan jika ia memiliki dana sebesar Rp 271 T maka ia akan mengalokasikan pada sektor transportasi publik. Dengan dana sebesar itu bisa membangun jalur kereta di luar Jawa bahkan sampai Papua. Sedangkan pendapat Farhat apabila memiliki dana sebesar itu dapat dialokasikan ke sektor pendidikan, sehingga tak ada lagi alasan anak putus sekolah di Indonesia.

 

Penulis: Nisrina Marlita

Ilustrator: Nisrina Marlita

Editor: Danendra Reza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com