Melihat Reforma Agraria

#reformaagraria #haritani #UUAP #sengketapertanian #opinimahasiswa

oleh : M. Roy Setyawan

Sejarah diperingati Hari Tani Nasional setiap tahun dimulai pada tanggal 24 September 1960. Hal ini ditetapkan berdasarkan hasil keputusan pengesahan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960. Undang – Undang ini berisikan hal-hal yang berkaitan dengan segala unsur pertanian.

Berbicara mengenai UUPA, sebetulnya telah ada undang – undang sejenis yang diterbitkan pada masa pendudukan Belanda. Undang – undang tersebut yaitu Undang-Undang Agraria Kolonial (agrarische wet de wall) yang dibuat pada tahun 1870. Undang- undang tersebut telah mengakibatkan keterbelakangan dan keterpurukan bagi kehidupan rakyat, khususnya kaum tani. Azas utama dalam Agrarische wet de wall adalah azas Domeinverklaring yang isi pokoknya: “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan Negara (Saat itu adalah kerajaan Hindia Belanda)”. Dalam UU tersebut, dibenarkan kepemilikan perseorangan terhadap tanah garapan dalam bentuk pemberian sertifikat tanah.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang ketika itu menjadi Presiden pertama menyadari betapa pentingnya pengaturan agraria bagi negeri ini. Ia yang melihat terdapat kesenjangan di antara para petani, kemudian menginginkan kemakmuran yang adil dan merata. Ia juga melihat Sistem perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya tidak mampu berlaku adil bagi masyarakat pribumi sebagai pemilik atas tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terdapat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Ia kemudian memutuskan untuk segera membuat Undang – Undang Pokok Agraria yang diharapkan mampu menjawab permasalahan yang dihadapi petani.

Presiden Soekarno kemudian membentuk Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan diakhiri rancangan Sadjarwo (1960). Tugas panitia adalah memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah; merancang dasar-dasar hukum Tanah yang memuat politik Agraria negara Republik Indonesia; merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Jika melihat isi yang terkandung di dalamnya dengan substansi di setiap pasal-pasalnya, maka UUPA 1960  mencerminkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat.

Dewasa ini, kita bisa melihat beberapa konflik tentang persengketaan lahan petani dengan investor asing, baik perusahaan dalam negeri maupun swasta untuk menggerus sumber daya agraria yang kita miliki. Para petani kita di intervensi untuk mencabut hak atas tanahnya secara paksa penuh dengan kekerasan dan tekanan yang membuat  kemiskinan terjadi secara masif. Satu-satunya harapan untuk kehidupan para petani diambil dengan dalih pembangunan yang menguntungkan investor.

Dalam beberapa kasus agraria, kita bisa melihat bagaimana suku samin yang melawan pendirian pabrik semen di tanah mereka. Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat film dokumenter “samin vs semen” yang mendeskripsikan tentang kehidupan dan perlawanan mereka. Aksi perlawanan serupa juga kita dengar dari petani batang yang menolak pembangunan PLTU Batubara selama lebih dari lima tahun, hingga akhirnya secara paksa mereka memagari sawah milik para petani. Kita juga masih ingat dengan aksi heroik ibu-ibu pegunungan Kendeng dengan menyemen kaki mereka di depan istana negara yang menuntut penghentian pembangunan pabrik semen.

Sejauh ini, jika kita  mencoba untuk mem-browsing tentang permasalahan sengketa lahan, maka kita akan menemui banyak berita yang terjadi mulai dari pulau Sumatra hingga pulau Papua yang tidak terekspos di media pertelevisian nasional.

Pemerintah yang kita harap sebagai pelindung masyarakat nyatanya tidak banyak berpihak kepada rakyat miskin, ini merupakan bentuk nyata kegagalan negara terhadap menyejahterakan rakyat. Amanat negara yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk menyejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh rakyat ternyata dengan menggunakan otoritasnya memberikan sumber daya agraria hanya kepada sekelompok orang/investor yang melebihi batas yang diperkenankan oleh undang-undang yang telah ditetapkan.

Konflik agraria  akan terus terjadi setiap tahunnya, mulai dari pembangunan industri, dan ahli guna fungsi lahan pertanian ke berbagai sektor, jika saja pemerintah belum mampu memberikan kebijakan yang mendukung rakyat dan dengan tegas menolak investasi asing yang merugikan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com