Menyoroti Kebebasan Berpendapat di Era Digital
Southeast Asian Freedom of Expression Network (Safenet) mencatat, setidaknya ada 177 kasus pemidanaan berdasarkan UU-ITE selama 2008-2016. Selain itu, Safenet menyebut ada 50 peristiwa pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat di Indonesia yang terjadi sejak Januari 2015 sampai Mei 2016.
Malang, CANOPY – Rabu (13/9) Sejumlah elemen dari pers mahasiswa, akademisi dan jurnalis kota Malang mengadakan diskusi terbuka bertajuk “Kebebasan Berpendapat di Era Digital” di Fakultas Hukum, Universitas Widyagama. Diskusi tersebut dilatarbelakangi oleh maraknya pembungkaman kebebasan berpendapat bagi warga negara, khususnya kasus terakhir yang menimpa Dandhy Dwi Laksono, pendiri Watchdoc Dokumentary Maker.
Sebelumnya, pada (6/9) Dandhy Dwi Laksono dilaporkan oleh DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) ke Polda Jatim. Ia dituduh menghina dan menebarkan kebencian pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo akbiat tulisannya berjudul “Suu Kyi dan Megawati” di laman Facebook.
“Ini sudah lampu kuning (darurat, –red) bagi kita semua,” kata Dandhy mengawali diskuti saat itu. Menurutnya, pembungkaman-pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat sudah sangat masif. Namun, keadaannya berbeda dengan saat orde baru dimana saat itu negara yang melakukan pembredelan.
Ia menambahkan, negara seperti melakukan pemberian ketika elemen-elemen masyarakat di benturkan dengan sebuah kondisi dimana tidak ada kepastian hukum. Seperti banyaknya pembubaran diskusi-diskusi, menurutnya negara tidak melakukan tindakan apapun. “Produk-produk hukum yang ada justru tidak menyelesaikan masalah. Sehingga, yang saat ini terjadi adalah represi. Aktornya dibenturkan oleh negara, tapi non-state actor. Jika sudah begitu, ini bisa saja menjadi varian baru bentuk represi negara dengan menggunakan pihak lain agar negara atau kekuasaan tetap terlihat demokratis,” tambahnya.
Diskusi bertema Kebebasan berpendapat di era digital ini selain dihadiri langsung oleh Dandhy Dwi Laksono, juga dihadiri kalangan akademisi yaitu: Ibnu Subarkah, pakar hukum pidana Universitas Widyagama; Ramadhana Alfaris, sosiolog Universitas Widyagama; dan Rochmad Effendy, pakar Komunikasi dari Universitas Merdeka Malang.
Menurut Ibnu Subarkah salah satu pembicara menyatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah fundamental right yang dijamin oleh konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). “Hak yang tak boleh direnggut siapapun termasuk pemerintah”, ujarnya. Selain itu beliau juga mengkatergorikan tulisan Dandhy sebagai salah satu bentuk kritik dan sebagai bentuk penyadaran terhadap masyarakat. “Menyampaikan pendapat dan kritik adalah hak. Sedangkan pencemaran nama baik itu harus memenuhi unsur niat jahat dan tidak sesuai dengan fakta,” tambahnya.
Sementara menurut Ramadhana Alfaris, menilai tulisan Dandhy merupakan karya tulis ilmiah yang berbasis historis dan empiris berdasarkan sejarah dan fakta di lapangan. “Kritik itu bukan ujaran kebencian,” katanya. Menurutnya prinsip kebebasan berpendapat ini dijamin asalkan sesuai etika dan dapat dipertanggung jawabkan.
Disisi lain, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) kota Malang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menyatakan beberapa poin penting terhadap masalah pembungkaman kebebasan berpendapat dan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dalam rilisnya, mereka mengecam semua pihak yang berupaya membungkam kebebasan berekpresi dan penyampaian pendapat. Juga menolak penggunaan UU ITE yang berakibat pada penahanan aktivis, masyarakat dan sekaligus pemidanaan terhadap warga negara.
Dengan tindakan tersebut, PPMI bersama AJI dan berbagai pihak yang tergabung dalam diskusi ini berharap, mesyarakat dapat mewaspadai ancaman kebebasan berpendapat dan berekpresi, sekaligus bersama mengawal demokrasi di Indonesia.
Penulis: M. Riant Daffa
Editor: Alif Nur Rizki