Panggung Seni dan Pesan Anti Rasisme
Malang – Canopy. Pagi di bumi Arema, minggu (25/08) bertempat di jalan Ijen. Seperti tiap-tiap minggu sebelumnya Car Free Day(CFD) rutin diadakan yang tak pernah sepi. Entah oleh pejalan kaki maupun pedagang yang menjajakan dagangannya dari makanan sampai buku, semua ada. Berbeda dari CFD biasanya, sekelompok orang duduk-duduk santai di pinggir jalan yang ramai pejalan kaki memangku kertas karton. Tulisan warna merah menghiasi karton dengan pesan diantaranya ‘Hentikan diskriminasi pada minoritas’ sampai ‘Apa yang membuat kita berbeda’. Semakin menarik perhatian dengan iringan musik tradisional asal Kalimantan yang dibawakan salah satu seniman dalam rombongan tersebut. Sambil duduk santai di samping mereka dengan asik memainkan sampe yang merupakan alat musik tradisional Suku Dayak.
Hal yang disampaikan Agung, selaku salah satu orang yang menginisiasi aksi solidaritas dan panggung seni itu, menuturkan bahwa kelompok tersebut berasal dari kalangan mahasiswa, seniman, dan lainya, bukan hanya dari kota Malang saja bahkan ada yang dari luar pulau. Panggung Seni tersebut juga mengundang siapapun yang tidak diam melihat penindasan. Ia juga menuturkan persiapan dilakukan cuma semalam mulai dari ide hingga alat-alat yag dibutuhkan.
“Tujuan diadakan ini, kita peduli, dan kita menolak perbuatan rasis, represi, diskriminasi, maupun persekusi yang dilakukan oleh siapapun, baik itu oleh aparat, pejabat, maupun ormas-ormas tertentu yang reaksioner” Ujar Agung ketika menyampaikan tujuan diadakannya aksi solidaritas dan panggung seni kepada reporter Canopy.
Ragil Mangku Bumi, akrab disapa Ragil, mengawali dengan membuka baju dan jarik yang dipakainya. Setelahnya berdiri di atas kain jariknya di depan pejalan kaki yang mulai ramai berhenti dan memperhatikan aksi Ragil tersebut. Meski setengah telanjang hanya memakai celana pendeknya, dadanya dituliskan ‘berikan tanda diseluruh tubuhku’. Satu persatu orang-orang mengikuti, ada yang malu-malu kedepan meminta ijin untuk memberikan tanda pada tubuhnya. Tanda itu berbentuk hati, yang menandakan sebuah tanda kasih sayang antar sesama. Ia berpesan kepada lainnya jangan sampai menjelekkan suku lainnya hanya karena berbeda paras maupun warna kulit.
“Simpel saja, kita warga Indonesia banyak suku dan budaya, kita harus tetap mencintai satu sama lain karena itu sebagian dari kelengkapan Indonesia,” Ungkapnya..
Matahari beranjak naik, alat musik mulai dimainkan. Penonton makin antusias memadati sekitar kelompok tersebut sambil menikmati pertunjukan yang disajikan. Alunan musik sampe dan jimbe ditabuh mengiringi aksi Tommy mewakili orang-orang dari Timur. Ia mengikatkan seutas tali disekujur tubuhnya menyambung hingga ke Ragil. Mereka bergandengan meneriakkan “Kita Papua! Kita Indonesia!” sambil membawakan pesan damai agar tidak rasis.
“Masalah seperti ini (rasisme –red) harus dipahami oleh kedua belah pihak, dari timur harus paham kondisi di sini begitu juga sebaliknya, intinya harus saling mengerti,” Tutur Tommy.
Panggung seni selanjutnya diisi monolog dramatik oleh Ara, masih dengan iringan musik sampe dan jimbe. Monolog menyentuh hati tetap berisi pesan anti rasisme. Tidak sedikit pula penonton yang menitikkan air mata. Selesainya disambut tepuk tangan yang meriah dari penonton. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh kawan-kawan lainnya hingga penghujung acara.
“Jika saya adalah kata-kata, maka kau adalah sampah. Jika kau adalah kata-kata, maka aku adalah sampah. Apakah hidup hanya sebatas untuk saling menghina?” Pungkas Tommy mengakhiri panggung seni tersebut.
Reporter : Pramana Jati
Editor : Naila Nifda A.