Panggung Tani 2022: Merayakan Penderitaan Petani
“Pergerakan akan tiba ketika memang sudah waktunya”
Salam kenal saudara-saudara sepertanianku, perkenalkan saya merupakan salah satu kotributor di lembaga persma terkait. Pada tulisan saya yang kedua ini, saya hanya akan mengungkapkan opini saya terkait kegiaatan yang diselenggarakan salah satu lembaga “penting” dalam lingkungan FP UB beberapa hari lalu. Poin utama yang mendorong saya untuk menulis ini tidak lain tidak bukan adalah sebenarnya bagaimana mereka menyikapi hari tersebut yang dikenal sebagai Hari Tani Nasional itu, dan apa yang mendasarinya untuk bisa tercetuskan ide untuk membuat pentas seni yang dibalut dengan embel-embel pertanian didalamnya yaitu “Panggung Tani”.
Sebagai generasi penerus pertanian indonesia, bukankah seharusnya kita merefleksikannya dengan cara mengkaji kondisi saat ini yang dihadapi petani hingga kesesuaian program pemerintah dengan semangat reforma agraria yang didamba-dambakan seperti halnya food estate yang mendapatkan banyak kritikan karena dianggap sebagai sistem tanam paksa gaya baru. Dari situ dapat dilihat bahwa masalah dibidang pertanian sangat amat banyak dan kompleks sehingga bisa dijadikan banyak topik jika hanya diperuntukkan untuk sekedar diskusi ataupun kajian saja. Berbagai permasalahan yang ada menunjukkan bahwa sektor pertanian belum baik-baik saja dan masih banyak pekerjaan rumah untuk segera diselesaikan, sehingga tidak ada waktu lagi untuk sekedar bersenang-senang.
Menurut saya, pemilihan kegiatan berupa pentas seni untuk memperingati Hari Tani Nasional menunjukkan sikap ketidakpedulian mereka atas berbagai isu pertanian dan makna yang ada pada peringatan hari tersebut. Seharusnya dalam menyikapi hari tani nasional dapat dilakukan dengan diskusi terkait isu yang nyata terjadi, bukan malah sekedar mengentaskan program kerja dengan menggunakan momentum yang ada. Berbagai elemen mulai dari serikat petani indonesia (SPI) yang menggelar aksi di jakarta hingga konsorsium pembaruan agraria (KPA) yang aktif dalam mengawal keberlanjutan reforma agraria juga mengeluarkan sikap yang tercantum dalam pidato politiknya guna memperingati hari yang bersejarah bagi dunia pertanian khusunya para petani. BEM FP UB yang menjadi pelopor akan gerakan mahasiswa dalam ruang lingkup kampus justru mengadakan pentas seni yang kejelasannya saya sendiri tidak tahu ditujukan untuk apa.
Seperti yang kita tahu bahwa tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional yang sesuai dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Sudah enam puluh dua tahun UU tersebut terbentuk dan sampai sekarang belum juga dilaksanakan dan tercapai sesuai isi didialamnya. Sebagai mahasiswa pertanian, 24 September seharusnya dimaknai sebagai tonggak awal dari berdirinya sebuah perjuangan para petani melawan para tuan-tuan kapitalis yang menguasai sebagian besar kepemilikan tanah di republik ini. Kondisi hari ini, konflik agraria masih terus terjadi dan belum semuanya terselesaikan. Perlu diingat bahwa pembagian sertifikat “gratis” oleh pemerintahan saat ini kepada para petani bukanlah merupakan hal yang harus dilihat sebagai program istimewa mengingat memang itulah tugas mereka sehari-hari tepatnya di Kementrian ATR/BPN pimpinan Hadi Tjahjanto. Berbagai kebijakan yang tumpang tindih di bidang agraria membuat perjuangan para petani akan terwujudnya reforma agraria semakin sulit dikarenakan dengan adanya hal tersebut membuat para korporasi besar memungkinkan untuk bekerja sama dengan pemerintah guna melakukan berbagai cara termasuk tindak kejahatan dan tetap terhindar dari sanksi atas perbuatannya. Perlu diingat bahwa sekitar 15,8 juta rumah tangga petani hanya mampu menguasai tanah dengan luasan kurang dari 0,5 ha (BPS, 2018). Sedangkan pada sektor perkebunan sawit saja, terdapat setidaknya 25 grup perusahaan yang menguasai hamparan tanah dengan luasan 16,3 juta ha. Melalui hal tersebut dapat dilihat bagaimana arah keberpihakan dan keseriusan pemerintah sehingga terkesean sulit dan lama dalam mewujudkan keadilan melalui reforma agraria.
Hal diatas merupakan sedikit informasi yang saya ketahui terkait keberlanjutan reforma agraria terlebih jika bicara pada kondisi saat ini. Bukankah hal seperti ini yang seharusnya dijadikan pokok bahasan dalam hari tani nasional kemarin. Penyelenggaraan Panggung Tani yang sama sekali tidak ada kejelasannya akan hubungannya dengan hari tani nasional itu sendiri justru mengindikasikan dua hal bahwa BEM FP UB memang sudah tidak memiliki kepedulian atas isu yang ada di pertanian saat ini khususnya harapan akan tercapainya reforma agraria atau justru BEM FP UB menganggap hari tani nasional memang sudah benar dirayakan dengan kegiatan seperti itu??.
Saya dengar lagi, pada siang harinya terdapat wacana untuk diadakan aksi di gerbang veteran akan tetapi keberlanjutannya kembali saya pertanyakan mengingat sebelumnya juga saya tidak pernah mendengar mereka melakukan kajian terlebih dahulu dengan melibatkan LKM lain ataupun mahasiswa FP. Pengambilan sikap yang terburu-buru menandakan bahwa mereka sudah tidak peduli lagi akan isu yang ada di pertanian dan menganggap tanggal 24 September hanya sebagai momentum untuk melaksanakan proggram kerja mereka saja. Bukankah kalian yang duduk di jajaran BEM merupakan perwakilan kami sebagai lembaga eksekutif kampus untuk menyuarakan kepentingan orang banyak? Jika memang masuk BEM sebaiknya anda berpikir dua kali dulu teman-teman karena anda duduk disana bukan sekedar hahahihi saja melainkan juga mewakili aspirasi teman-teman yang lain baik yang memilih kalian maupun tidak.
Kalau kata Iwan Fals nih ya, kalian ini dipilih bukan dilotre meski kami tak mengenal kalian ini siapa tapi karena kalian sudah berniat untuk mengabdi disana maka kami tida sudi memilih kalian sebagai para juara yaa walaupun juara diam, heeh, dan hahaha.
Oh ya sekali lagi saya ingatkan bahwa tulisan ini bukan berniat untuk menyerang personal melainkan melalui tulisan ini saya mencoba melatih cara menulis kembali dan mengasah pikiran. Saya tidak berharap banyak atas tulisan saya ini, mengingat kelihatannya kalian sendiri sepertinya alergi terhadap kritik. Dari tulisan ini setidaknya kalian bisa mulai belajar membaca dan juga berkaca apakah selama ini kegiatan kalian yang menggunakan “uang kampus” itu sudah berguna bagi orang banyak atau hanya sekedar menuntaskan proker semata. Isu dan fakta memang tidak akan berbicara tanpa adanya tulisan yang enak dibaca, oleh karena itu saya mencoba menyajikan tulisan yang sekiranya enak dibaca walaupun jelas belum bisa dikatakan layak dibaca akan tetapi ya namanya juga masih dalam tahap belajar.
Sekian dari saya, mahasiwa yang sedang belajar menulis dan membaca
Penulis: Hermawan Fibi
Editor: Yuga Dwi
artikel nambah wawasan,