Setara bukan Menggantikan Peran namun Berdampingan

Gerimis menjelang sore mengiringi langkahku menuju gedung pascasarjana. Hari itu aku telah membuat janji dengan seseorang yang menurutku luar biasa. Sekitar 15 menit aku duduk menunggu beliau di depan ruangannya. Setelah beberapa kali kami menengok pintu ruangan yang tak kunjung terbuka, akhirnya kami melihat beliau berjalan menuju ruangannya. Aku dan temanku menghampiri beliau namun langkah kami terhenti karena beliau masih berbincang dengan orang lain. Setelah beberapa saat menunggu, kami dipersilahkan masuk.

Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud tujuan menemui beliau. Percakapan dibuka dengan menanyakan tanggapan beliau mengenai hari perempuan sedunia yang telah diperingati setiap tanggal 8 Maret. Beliau malah melempar pertanyaan tersebut kepada kami untuk menjawabnya. Kami menjawab sesuai apa yang kami ketahui secara umum. Beliau membenarkan bahwa adanya hari perempuan sedunia  tersebut memang harus ada karena perempuan mulai diakui dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Saat ini, peran perempuan sangat tinggi namun status perempuan yang masih dianggap rendah sehingga seringkali perempuan masih dipandang sebelah mata dan kurang diberikan ruang untuk bergerak.

Latar belakang status perempuan masih dianggap rendah karena faktor budaya. “Perempuan menurut orang jawa dianggap sebagai konco wingking, jadi perempuan itu ya teman belakang. Padahal kan kalau konco itu sakjane mendampingi bukan dibelakang,” jelasnya. Menurut beliau, masih banyak hal yang mensubordinasi perempuan. Banyak anggapan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan dan berkarir karena perempuan akan kembali ke dapur, mengurus rumah tangga, dan mengurus anak. Sebenarnya hal tersebut memang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan terutama ibu namun jika pendidikan perempuan tinggi maka ketika mendidik anaknya kelak akan bisa menghasilkan generasi yang berkualitas. Permasalahan tersebut kemudian melahirkan para tokoh feminism di dunia yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar dapat setara dengan laki-laki atau yang sering disebut dengan kesetaraan gender. “Bahkan ada sebuah tulisan yang mengatakan bahwa perempuan itu second sex, perempuan adalah manusia kelas dua,” imbuhnya.

Salah satu peran perempuan di bidang ekonomi terdapat pada sektor pertanian. Beliau mengatakan bahwa peran perempuan pada pertanian terdapat pada kegiatan menanam, kegiatan penyiangan, dan proses-proses yang membutuhkan ketelitian seperti pada proses memetik dauh teh. Namun masih saja status perempuan tidak dianggap ada, sebagian contoh mengapa ketika ada kegiatan penyuluhan pertanian hanya lelaki saja yang mengikuti, mengapa perempuan-perempuan yang sejatinya ikut berperan tidak diikutsertakan. Padahal semisal penyuluhan yang dilakukan menyangkut jarak tanam padi, yang melakukan kegiatan menanam adalah kaum perempuan, lalu mengapa hanya para laki-laki yang mengikuti penyuluhan. “Misal disebuah keluarga ada suami dan isteri, yang mendapatkan penyuluhan pertanian lelaki, yang mendapat bantuan juga lelaki. Lalu bagaimana kalau perempuan itu janda, kan kasihan tidak ada lelaki dalam keluarganya. Oleh karena itu perempuan perlu diangkat juga ilmunya,” terangnya.

Penyuluhan perempuan yang digerakkan oleh beliau terinspirasi karena melihat peran perempuan yang sangat besar di bidang pertanian namun kurang diperhatikan oleh pemerintah, sehingga apabila dibiarkan terdapat Sumber Daya Manusia (SDM) yang menganggur. “Saya bersama Bu Kepi dan Bu Hesti (dosen Agribisnis FP UB-red) melakukan penelitian pada tahun ‘95 mengenai perempuan dan penyuluhan pertanian, mbok perempuan itu diajak juga,” katanya. Hasil penelitian tersebut meskipun tidak banyak berubah namun sekarang mulai ada kelompok-kelompok tani perempuan yang dahulunya tidak ada dan SDM perempuan pedesaan mulai maju dan berkembang. Namun di daerah lain, masih banyak masyarakat yang tidak memperbolehkan perempuan untuk mengikuti program-program pemerintah atau kegiatan semacam itu. Memang perubahan yang terjadi tidak berdampak besar karena hal tersebut sangat erat kaitannya dengan budaya dan mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan. “memang mengajak perempuan untuk kegiatan penyuluhan atau semacamnya perlu pendekatan khusus, tidak seperti mengajak laki-laki. Sehingga perlu kesabaran dan ketelatenan dalam hal ini,” jelasnya.

Percakapan bergulir tentang keadaan perempuan yang masih diperlakukan tidak adil. Meskipun perempuan sudah diperbolehkan untuk bekerja setara lelaki namun masih ada pembedaan. Seperti pada pemberian upah petani perempuan dan laki-laki yang terpaut jauh. Beliau pernah memperjuangkan hal tersebut, hasilnya pembedaan upah yang dilakukan berkaitan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan yang dilakukan petani perempuan cenderung jenis pekerjaan ringan. Kalau ditinjau kembali memang pekerjaan perempuan itu ringan namun harus teliti dan ulet, yang belum tentu semua laki-laki bisa melakukannya.

Selain keadilan, penduduk Indonesia saat ini lebih didominasi oleh perempuan. Menurut beliau hal ini akan menghadirkan banyak SDM perempuan yang lebih banyak, sehingga harus diarahkan dan dimanfaatkan agar tidak terjadi kemubadziran sumber daya manusia. Kesempatan ini membuka peluang besar apabila SDM yang ada berkualitas maka akan mendorong pembangunan utamanya pembangunan di pedesaan.

Perjuangan yang dilakukan oleh beliau dalam membela perempuan bukan berarti menempatkan perempuan untuk lupa bahwa lelaki pada hakikatnya tetaplah pemimpin dalam berbagai hal. Jangan sampai di era sekarang ketika perempuan memiliki karir yang bagus misalnya menjadi manajer, kepala keuangan dan lainnya, lalu kembali ke rumah,  mereka (perempuan,-red) memperlakukan lelaki seperti bawahannya. Yang diperjuangkan adalah pengekangan terhadap kebebasan perempuan untuk mengembangkan dirinya di lingkungannya.

“Sebagai orang timur, kita juga harus tahu tugas dan kewajiban ketika dirumah. Setara yang dimaksud adalah hubungan yang harmonis antara lelaki dan perempuan sehingga dapat membentuk kerjasama yang baik untuk melahirkan anak-anak yang berkualitas,” ujarnya.

Beliau bercerita mengenai pengalaman pribadi dari kecil hingga sekarang. Beliau merasa beruntung berada di tengah keluarga yang mengedepankan pendidikan bagi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Mendapatkan beasiswa ketika kuliah mendorong semangat beliau untuk terus mengembangkan diri, hingga kini memiliki suami dan anak-anak yang terus mendukung kegiatan dalam memperjuangkan perempuan melalui sisi akademis. Meskipun banyak rintangan dalam perjalanannya seperti saat mendirikan pusat studi wanita yang ada di Universitas Brawijaya, banyak pihak yang meragukan, mencemooh, bahkan memandang rendah. Meskipun begitu, beliau tetap teguh dan menganggap itu sebagai angin lalu saja.

Beliau berharap status perempuan dapat dinaikkan sehingga sesuai dengan perannya yang cukup besar. Jika lelaki mendapatkan penyuluhan dan pelatihan, perempuan juga berhak mendapatkannya, serta diikutsertakan dalam berbagai rapat desa. “Perempuan lebih bisa di-uwongke, sebenarnya mereka itu mau dan bisa tergantung bagaimana pendekatan yang kita lakukan,” ujarnya.

Selain dari faktor lingkungan sosial, perempuan sebenarnya memiliki perasaan yang secara alami entah bagaimana merasa tidak mampu dan kurang menyadari potensi yang dimilikinya. Beliau mengatakan bahwa perempuan memiliki suatu “cinderella complex”, yaitu ketika seorang perempuan tidak percaya terhadap kemampuan diri sendiri padahal dia mempunyai bakat yang besar.

Percakapan yang berlangsung selama kurang lebih 28 menit itu diakhiri karena beliau harus mengajar di kelas. Kami keluar dari ruangan beliau, Dr. Ir. Yayuk Yuliati, MS. seorang dosen jurusan sosial ekonomi pertanian. Beliau adalah wanita yang menaruh perhatian pada gender, hingga studi penelitiannya memperjuangkan kesetaraan gender khususnya pada bidang pertanian. Berjalan dari gedung pascasarjana menuju gedung sentral bersama, kami berpisah sebelum pintu masuk karena ruangan yang berbeda di lantai yang berbeda.

Reporter : Naila Nifda dan Aisyah Rizki Harahap

Editor :  Elfita Rahma

One thought on “Setara bukan Menggantikan Peran namun Berdampingan

  • April 21, 2018 pada 11:43 am
    Permalink

    Manteb…
    Udah mulai terjun ke jurnalis sastrawi nih 😀😀😀

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com