
Dr. Eng. Tri Budi Prayogo, ST., MT, dosen Teknik Pengairan dalam acara Talkshow yang digelar Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) FP-UB di Gedung Sentral, Sabtu (20/05). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Tanah dari Berbagai Perspektif”. Foto: CANOPY/ Elfita
Malang, CANOPY – Selain air dan udara, tanah adalah salah satu komponen penting bagi kehidupan. Jika diibaratkan, tanah sebagai kertas, maka air adalah tulisannya. Tanah juga dijadikan sebagai dasar atau alas yang digunakan untuk menopang berbagai bidang kehidupan. Berbagai hal hal yang terkait dengan “Tanah dari Berbagai Perspektif” ini menjadi tema pada gelaran Talkshow yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) FP-UB di Gedung Sentral, Sabtu (20/05).
Syahrul Kurniawan, salah satu pembicara mengungkapkan bahwa peran tanah utamanya di bidang pertanian sangat banyak. Saat ini media tanam yang digunakan untuk budidaya masih didominasi oleh tanah, karena masih sangat terbatas pada penggunaan media lain seperti hidroponik. “Selain itu, peran tanah sendiri juga sebagai pabrik unsur hara dan wadah cadangan air. Kondisi tanah tersebut akan mempengaruhi tanaman yang dibudidayakan, sehingga tanah yang cocok digunakan untuk pertanian adalah tanah yang sehat, yaitu gembur, biota tanah yang beragam dan dapat ditembus oleh perakaran tanaman,” ungkap dosen Tanah FP-UB itu.
Menurutnya, tanah yang sehat tersebut juga akan menghasilkan tanaman yang sehat pula sehingga aman untuk dikonsumsi oleh manusia. “Produksi tanaman dipengaruhi oleh tanah. Ketika tanah tersebut terjaga kandungan organik dan unsur haranya, serta mampu menyimpan air maka terpenuhi pula kebutuhan tanaman yang akan membantu pertumbuhan tanaman tersebut,” tambahnya.
Selain itu, peran tanah ternyata tidak hanya sebatas di bidang pertanian. Hal ini disampaikan oleh Aulia Nur, dosen Teknik Lingkungan yang menyatakan bahwa peran tanah dalam pengelolaan lingkungan mempengaruhi tiga komponen yaitu terhadap faktor biotik, abiotik, dan terhadap sosial budaya masyarakat. “Lingkungan sendiri adalah integrasi dari dari ketiga komponen tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang bijak terhadap pengunaan tanah,” ujarnya.
Menurutnya, pengelolaan tanah ini akan berhubungan pula dengan kelestarian lingkungan dan kelestarian air. “Pembangunan tidak seharusnya bertentangan dengan lingkungan. Kita tidak bisa menunda pembangunan, kita hanya harus mengelolanya,” lanjutnya.
Akan tetapi, saat ini terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut pengelolaan tanah, salah satunya adalah alih fungsi lahan. Tidak bisa dipungkiri, kebutuhan akan pangan, tempat tinggal dan industri menyebabkan banyak lahan yang berubah fungsi dari hutan menjadi persawahan dan perumahan. Belum lagi ketika diubah menjadi pabrik industri.
Didik Suprayogo mengungkapkan kalau hal tersebut akan berpengaruh terhadap pelestarian lingkungan dan air. Menurutnya, ketika tanah masih berupa hutan maka air yang masuk ke dalam tanah sebanyak 99 % dan sisanya menjadi air limpasan. “Akan tetapi ketika tanah tersebut telah berubah menjadi lahan pertanian, air limpasan meningkat menjadi 40 % bahkan 100 % ketika tanah tersebut telah berubah fungsi menjadi lahan perkotaan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perubahan bentuk air tersebut salah satunya disebabkan karena perbedaan penggunaan lahan. Ketika lahan tersebut adalah lahan pertanian dan perkotaan maka air tidak banyak disimpan oleh tanah dan hanya berakhir sebagai limpasan, sehingga peran tanah tidak berjalan dengan baik. Sedangkan ketika masih berupa hutan, air dapat menjadi air tanah yang disimpan diantara batuan dan dapat digunakan sebagai cadangan air. “Sebenarnya air tidak mengalami perubahan volume hanya mengalami perubahan bentuk saja,” tambahnya.
Berbeda dengan ketiga pembicara, Tri Budi Prayogo, salah satu dosen Teknik Pengairan menyatakan bahwa permasalahan air yang dihadapi saat ini ada tiga, yaitu too much, too little atau too dirty. Ia mengungkapkan bahwa contoh hubungan tanah dan air yang kurang bijak adalah pada pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). “DAS seharusnya adalah zona yang dilindungi dari perubahan penggunaan lahan. Akan tetapi kenyataannya telah banyak wilayah aliran sungai berubah menjadi pemukiman atau pabrik, sehingga banyak terjadi longsor dan banjir di daerah tersebut,” ungkapnya.
Contoh lain, menurut Tri adalah telah terjadi beberapa pencemaran air berupa proses eutrofikasi di waduk dan bendungan karena air mengandung fosfat secara berlebihan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya limbah dari rumah tangga, peternakan maupun pertanian sehingga terjadi kematian massal pada biota air di waduk atau bendungan tersebut. “Selain itu, terjadinya sedimentasi di sungai maupun di waduk juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan kapasitas menampung air menjadi berkurang,” tambahnya.
Melihat beberapa permasalahan itu, Didik Suprayogo mencoba menawarkan solusi. Menurutnya, pengelolaan sumberdaya lahan yang baik akan menjaga keberadaan lingkungan yang berkelanjutan kedepannya. “Sekarang adalah zamannya integrasi. Diperlukan integrasi antara beberapa disiplin ilmu, seperti di bidang ilmu tanah, teknik lingkungan maupun teknik pengairan, sehingga bisa terwujudnya keberadaan lingkungan yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Reporter: Elfita R Aulia
Editor: Alif Nur Rizki
Leave a Reply