Warisan Sejarah Sengketa Tanah
Malang, CANOPY –Rabu (28/2) Diskusi publik yang diselenggarakan oleh masyarakat Pasuruan yang tergabung dalam Aliansi Alang-Alang bertajuk “Bedah Naskah: Laporan Sementara Insiden Alas Tlogo” yang bertempat di Cafe Bob, Pasuruan, Jawa Timur. Diskusi tersebut dihadiri oleh masyarakat dan mahasiswa dari berbagai kalangan diantaranya GMNI Yudharta, PMII Yudharta, Abimata, WCC Pasuruan, BEM STKIP-STIT Pasuruan, BEM STKIP-PGRI Pasuruan, FOKMA (Alas Tlogo) Kenarok (Sumberanyar), PMII Merdeka, dan PMII Kom Dewayang, menyoroti tentang insiden kekerasan dan penembakanyang dilakukan oleh aparat negaraterhadap warga sipil di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur,
Diskusi dibuka oleh Jodi sebagai moderator yang menyerukan semboyan yang diusung para aktivis revolusi Perancis bahwa negara harus menjunjung tinggi liberte (kebebasan), egaliter (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Pemateri yang memaparkan persoalan yang terjadi dalam insiden Alas Tlogo tersebut adalah In’amul Mustofa yang menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Transisi, dan Eko Suryono sebagai Ketua Forum Komunikasi Tani Sumberanyar sekaligus salah satu dari 3 korban tindak kriminalisasi pada petani yang dilakukan oleh aparat.
In’amul Mustofa menjelaskan bahwa persengketaan lahan yang dialami warga Alas Tlogo dengan TNI AL adalah menyangkut penghidupan bagi warga tersebut. “Problem manusia dengan tanah adalah soal kehidupan, bahkan Tuhan pun menegaskan manusia tercipta oleh tanah,” tuturnya. Kasus persengketaan tanah ini berawal pada tahun 1960.Adanya tekanan dari Korps Komando Operasi Angkatan Laut (KKO-AL) kepada warga Alas Tlogo untuk menyerahkan lahan kepada KKO-AL, dengan dalih akan dijadikan landasan pesawat terbang. Konflik sengketa lahan ini ditanggapi oleh In’amul sebagai motif ekonomi yang dilakukan oleh TNI AL. “UU No. 34 tahun 2004 pasal 76 menyatakan bahwa pemerintah harus mengambil alih seluruh bentuk komersialisasi yang dilakukan oleh TNI,” tambahnya.
Eko mengatakan bahwa konflik Alas Tlogo ini sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu, namun masih dipermasalahkan sampai hari ini.“Banyak catatan hukum, bahwa pihak TNI mempunyai dasar utama yang disebut sertifikat hak pakai sebagai pemukiman pada tahun 1993,” ujarnya. Pada tahun 1960-anterdapat pembelian secara paksa dan manipulasi seperti pemalsuan tanda tangan yang diklaim oleh TNI hingga memunculkan sertifikat pada tahun 1993. Ia menambahkan adanya ketidaknormalan dalam penerbitan hak sertifikat pakai tersebut. Contohnya adalah data yang digunakan sebagai dasar terbitnya sertifikat pakai TNI disebutsebagaipeta situasi.
“Di dalam peta situasi menyatakan bahwa tidak ada rumah, tidak ada apa-apa, jadi kosong, dan juga tim bentukan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga abal-abal, tidak ada batas desa,” jelasnya.
Eko menyatakan bahwa di sanadari ratusan tahun lalu sudah ada kuburan, masjid, dan perumahan. Hal tersebut diperkuatdengan pernyataan dari kepala BPN tahun 2000-an bahwa tidak ada warkat Surat Keputusan (SK) beritaacara serah terima atau jual beli tanah di daerah tersebut. Walaupun masyarakat sudah memiliki data yang kuat tetapi dominasi tekanan dari penguasa menyebabkan mereka (masyarakat, –red) masih terabaikan.
“Logika sederhananya jika memang masyarakat mempunyai dasar hukum jelas akan kepemilikan tanah maka masalah ini sudah selesai dan tidak berlarut-larut,” tanggapan dari salah satu masyarakat Pasuruan yang menghadiri diskusi tersebut.
Hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa pihak TNI AL masih melakukan klaim atas tanah warga meskipun mereka secara jelas memiliki bukti kepemilikan tanah. In’amul berpendapat bahwa advokasi pembelaan dilakukan bukan hanya pada legal formal saja, jadi berhasil atau tidak bukan ditentukan oleh dasar hukum. Dasar hukum itu sebenarnya hanya menjadi salah satu pintu masuk saja, masih banyak pintu lain yang membantu berhasil tidaknya suatu kasus. “Mengacu pada kasus Kendeng, sebenarnya itu sudah menang berkali-kali tapi kemudian ada proses manipulasi di tingkat atas pengadilan,” tuturnya. Pernyataan Jodi menjadi penutup diskusi pada hari itu.
“Seperti kata Moh. Hatta, agar perut rakyat terisi maka kedaulatan harus terwujud,” tandasnya.
Reporter :Pramana Jati
Editor : Naila Nifda