Bedah Film Mete Ne’e Cokela

source picture by google

Mete Ne’e Cokela menjadi film pembuka di seperempat tahun pertama yang dibedah. Mete Ne’e Cokela merupakan film yang digarap oleh tim Watchdoc pada tahun 2013. Berlatarbelakang di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), film ini menyinggung tentang pertanian kakao di Nusa Tenggara Timur.

Mete Ne’e Cokela mengajak penontonnya untuk melihat lebih jauh bagaimana keadaan pertanian kakao di NTT. Film ini menceritakan bagaimana petani menyambung hidup dengan kakao, dimulai dari keadaan produksi lahan hingga bagaimana penjualan hasil perkebunan. Film yang berdurasi 24 menit ini juga menjelaskan secara gamblang bagaimana kesejahteraan petani sebelum dan sesudah mengikuti sekolah tani. Awalnya petani melakukan budidaya secara asal-asalan tanpa pengetahuan, kini sekolah tani membantu petani untuk memahami bagaimana teknik budidaya yang baik dan ramah lingkungan.

Peningkatan kualitas dan harga jual hasil perkebunan memberi secercah harapan bagi petani. Di sisi lain, pemerintah setempat ikut andil dalam mendukung pertanian kakao petani lokal, sehingga terdapat kerjasama antara petani dan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) yang menjual hasil kebun petani lokal pada pemerintah

source picture by mongabay.co.id

Film bergenre dokumenter ini secara keseluruhan berlatarbelakang di beberapa daerah di NTT. Selain mengambil kegiatan para petani, sutradara juga menyajikan komunikasi dua arah untuk memperjelas bagaimana proses maupun progress dalam pertanian kakao. Hal ini memiliki peran penting sehingga tidak terjadi missleading oleh penonton terhadap isi dari film yang disajikan.

Film ini menceritakan teknik budidaya yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh bibit unggul dan berkualitas. Film ini menyorot bagaimana seorang petani melakukan grafting untuk menghasilkan pohon kakao yang lebih baik dibandingkan pohon kakao biasa. Selain itu, para petani juga dikenalkan teknik pembuatan rorak yang nantinya akan menjadi sumber hara bagi tanaman kakao. Petani lokal disadarkan betul akan concern lingkungan sehingga meminimalisir penggunahan bahan kimia yang membahayakan lingkungan.

Kerjasama antara petani, LSM dan pemerintah juga disorot pada film ini, yakni pemerintah menyediakan bibit unggul bagi petani. Kemudian petani mendapatkan ilmu dari sekolah tani yang dibentuk oleh LSM. Hasil budidaya dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi di koperasi sehingga penjual (tengkulak) tidak mematok harga yang terlalu rendah bagi petani.

Menurut penulis, untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan harus memperhatikan 3 aspek utama, yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi. Kemampuan sumberdaya manusia yang menjaga lingkungan serta adanya dukungan pemerintah dapat meningkatkan nilai jual suatu barang. Hal ini menyebabkan perekonomian petani lokal terselamatkan dan kesejahteraan dapat digapai.

Penulis : Yuliastuti Yasmin

Editor : Shanti Ruri Pratiwi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com