Konservasi dan Kebutuhan manusia Bisakah Seimbang?
Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan sebagai “Pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian”. Lantas Akankah seimbang antara konservasi dan kebutuhan manusia? Berikut hasil wawancara reporter CANOPY dengan Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Ir. Didik Suprayogo, MSc.,Ph.D.
Menurut bapak, perlukah adanya konservasi dibidang pertanian di Indonesia?
Sangat perlu, apalagi saat ini banyak merujuk pada intensifikasi dimana cenderung menggunakan input yg mahal tetapi sebenarnya produksinya sama dengan konservasi. Di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya sendiri dalam bentuk penelitian, pengabdian masyarakat, dan sebagainya sangat memperhatikan sustainable agriculture, artinya dapat bertani selaras lingkungan. Bertani selaras lingkungan prinsipnya antara produksi dan konservasi tidak bertentangan. Dengan pertanian berlanjut (sustainable agriculture) kita terapkan istilah Production and protection – memproduksi dan melindungi.
Bagaimana kemudian nantinya masyarakat dapat bertani yang selaras dengan lingkungan, tidak hanya memperhatikan satu sisi saja. Untuk itu diperlukan data penelitian yang akurat untuk pengadaan konservasi ini. Di Fakultas Pertanian kita sendiri menyandang visi sustainable agriculture yakni pertanian berlanjut, dimana masyarakat telah mengenalnya. Kebanyakan masyarakat menganggap konservasi tersebut bertentangan dengan produksi, namun sebenarnya tidak demikian. Kadang orang-orang berpikir bahwa konservasi mengganggu jalannya produksi, itu salah. Dengan sustainable agriculture ini, kita memproduksi serta memproteksi. Jadi, kita tidak hanya meningkatkan produksi tetapi juga melestarikan lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan Mengembalikan daya fungsi lahan sesuai daya dukungnya (carrying capacity).
Antara konservasi dan kebutuhan manusia apakah sudah seimbang?
Pada dasarnya memenuhi kebutuhan manusia itu perlu dukungan dari para petani dan masyarakat lainnya untuk melakukan konservasi. Agar produksi tinggi dan konservasi tetap dapat berjalan. Semua pihak harus terlibat, pemerintah, peneliti (akademisi), dan masyarakat ini perlu saling berkorelasi satu sama lain. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah tidak semua petani mau untuk diajak bertani dengan konservasi. Artinya bertani dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan, jika terjadi masalah segera konsultasikan dengan pihak pemerintah yang terkait. Untuk itu kita perlu banyak inovasi untuk mengajak petani agar mau ikut melakukan konservasi, bahwa konservasi itu tidak merugikan petani justru menguntungkan petani untuk jangka panjang.
Apakah ada lembaga/organisasi khusus yang menangani masalah konservasi ini?
Ada, didunia dikenal The World Agroforestry Centre (ICRAF) yang diketuai oleh Cina, di tingkat ASEAN International Union for Conservation of Nature (IUCN) dimana lembaga ini yang membantu dunia untuk menumukan solusi terhadap tekanan lingkungan dalam tantangan pembangunan sedangkan ditingkat nasional ada Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia.
Bagaimana pembagian peran antara petani, peneliti, dan pemerintah?
Pengetahuan ada tiga bagian utama, pertama berdasarkan sains yang dilakukan oleh para peneliti (akademisi), kedua adalah berdasarkan kebijakan, dimana ini erat kaitannya dengan kebijakan pihak birokrat atau pemerintah sebagai penentu utama suatu kebijakan, dan yang terakhir adalah ekologi lokal atau pengetahuan lokal petani dengan kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya/di lahan yang digunakan sebagai tempat budidaya. Terkadang kondisi dilapang berbeda, apa yang terjadi dengan kondisi lokal petani kurang match (sesuai.red) dengan apa yang peneliti kaji, apa yang dibutuhkan petani belum tentu diteleti oleh para akademisi, petani butuhnya A, peneliti mengkaji B sehingga sangat diperlukan adanya koordinasi yang kuat antar keduanya. yang paling penting dari keduanya adalah kebijakan pemerintah terhadap aturan-aturan, mereka harus konsisten, aturannya harus jelas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Pasal 5 ayat 1 “Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman meliputi : (a) Kriteria baku kerusakan tanah akibat erosi air; (b) Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering; (c) Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah.”
Kemudian, Pasal 17 ayat 1 tentang Pelaporan “Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan kepada pejabat daerah setempat.”
Sebenarnya aturannya sudah jelas, namun kecil kepeduliaan masyarakat untuk melaporkannya kepada pemerintah daerah.
Konservasi di Indonesia Berhasil ataukah tidak?
Belum, dan masih tergolong lemah. Aplikasi dari kebijakan pemerintah berupa undang-undang konservasi tanah dan sebagainya yang telah disusun rapi oleh pemerintah di Indonesia masih tergolong lemah. Seperti contoh erosi tidak boleh melebihi 15 ton/ha, namun pada kenyataannya erosi yang terjadi dilahan petani melebihi batas yang ditentukan hingga mencapai 500, 100 ton/ha, tentu ini tergolong sangat parah. Didalam peraturan tersebut “Bila terjadi penyimpangan pada pelaksanaan konservasi terhadap erosi lahan, masyarakat berhak melaporkan kepada pemerintah melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Himpunan Mahasiswa, atau kelompok masyarakat.” Tapi, seberapa peduli masyarakat kita, terbukti dengan masukan laporan pada Pemerintah Daerah yang sangat minim. Tiga bulan setelah penerimaan laporan tersebut, jika pemerintah daerah tidak merespon, maka hal itu merupakan kesalahan pemerintah daerah. Maka ini yang kemudian kita sebut pengetahuan berdasarkan kebijakan yang dilandaskan berdasarkan dasar-dasar hukum yang telah ditetapkan.
Bagaimana mekanisme/alur yang seharunya diterapkan di Indonesia berkaitan dengan konservasi?
Jika dukungan kebijakan dan politik kuat dengan masalah konservasi hal ini akan berkaitan dengan budget negara untuk memikirkan konservasi. Jika tidak ada budget maka dukungan politiknya rendah. Nah jika ini anggarannya besar, maka akan banyak kajian-kajian ilmiah yang akan dilaksanakan karena penelitian ilmiah membutuhkan anggaran-anggaran yang jelas. Sehingga jika kajian ilmiah ini bisa diberikan kepada masyarakat maka akan muncul kepedulian masyarakat dan proses edukasi masyarakat dan nantinya akan mengurangi bahaya-bahaya akibat kerusakan dan mampu memulihkan kembali biaya.
Namun, kondisi di Indonesia berbeda, penyelesaiannya secara kuratif, bukan preventif. Dimana saat masalah terjadi, baru solusi terpikirkan. Berawal dari masalah yang terjadi dalam ekologi lokal petani, kemudian dilakukan kajian akibat masalah-masalah itu dan pemerintah baru akan mencari kebijakan. Sehingga ini menjadi terlambat. Dan sifatnya bukan preventif (pencegahan).
Apa saran bapak untuk konservasi pertanian di Indonesia?
Sekarang yang paling penting adalah harus ada kesinergian dan kebersamaan untuk lebih banyak lagi aksi-aksi di lapang dibanding hanya sekedar seminar di mana-mana.