Ngendong (Berkunjung Malam-Malam)

Ilustrasi ngendong bersumber dari isnet.org

Suatu malam di Dusun Kalijaran, ditemani sinar bulan yang terang benderang, sudah menjadi suatu kebiasaan antar warganya untuk saling berkunjung sekadar mampir ataupun sengaja mampir ke rumah tetangga. Terlebih jika hari itu tidak hujan. Begitupula dengan Kang Royani.
Seperti malam-malam sebelumnya, sehabis salat maghrib Kang Royani tidak langsung pulang. Ia memilih ngendong (berkunjung malam-malam) sambil menunggu adzan isya di rumah Pak Darso yang berjarak hanya lima langkah dari serambi masjid.

Mbako, menyan, cengkih dan papir juga tidak lupa selalu di bawa Kang Royani agar lebih sedap saat ngendong. Seperangkat bahan rokok tersebut sudah ia racik dan dilinting sendiri oleh Kang Ro jadilah sebuah rokok. Rokok itu kini sudah nangkring di tangannya. Sebatang rokok sangat cocok untuk menemani ngendongnya hingga adzan isya berkumandang. Sementara itu Pak Darso memilih menikmati rokok batangan daripada ngelinting.


“Pak, sudah dengar kabar terbaru belum?” Selonong Kang Royani mengawali topik pembicaraan sambil mengambil pematik rokoknya. “Itu loh ponakannya pak manten lurah (mantan kepala desa) sekarang sudah diangkat jadi kepala dusun (kadus).” Lanjut Kang Royani setelah sesapan rokok pertamanya.
Lah sudah keluar hasilnya Kang Ro, saya pikir Sakirin yang bakal maju nggantiin kadus Muhidi yang mangkat itu.” Balas Pak Darso sedikit kecewa. “Njenengan juga tau kan, Kang, kalau Sakirin itu pemuda yang revolusioner, gebrakan-gebrakannya mantap. Sejak kepulanganya 6 bulan yang lalu dari merantau dia punya visi yang bagus untuk dusun ini, Kang.”


Sesesap dua sesap rokok membuat kepulan asap rokok mulai membumbung di udara, apalagi kepulan dari lintingan rokok Kang Ro. Dari mulutnya asap menyembur jelas, topik pembicaraan pun jadi semakin hangat. “Halah, orang dia 6 tahun kelamaan diperantauan pak, harusnya jangan buru-buru nyalon kadus. Pendekatan dululah sama orang-orang dalamnya, percuma visi misi bagus tapi belum kenal orang-orang di sana.” Timpal Kang Royani setelah menyesap kembli rokoknya.
“Kok bisa percuma si Kang, saya itu suka dengan pemikirannya Sakirin. Coba kang, siapa yang jadi pelopor acara tujuh belasan kemarin? Sakirin kan? Yang mulai menghidupkan kembali kerja bakti rutinan, mengajak warga memasang bendera merah putih di depan rumah? Sakirin juga kan kang. Dusun kita jadi hidup dan semua warga gotong royong menyukseskan acara.” Pak Darso bersikukuh bahwa Sakirin lah yang seharusnya di dapuk menjadi kadus. “Apalagi kalau dia diangkat jadi kadus, semakin jos dusun kita ini kang. Orangnya juga cekatan dan seneng sesrawungan dengan warga lain” lanjutnya.


Lah kalau lawannya ponakanya pak manten lurah ya belum maqomnya Sakirin kang, jelas kalahnya. Kecuali Sakirin dulu ngambil mantu anaknya pak manten lurah. Barulah mulus jalannya kang.” Ucap Kang Ro kembali membusakan bibirnya. “Atau dia mau merelakan motor barunya untuk memeperlancar ke kursi kadus.” Saran yang jelas-jelas ngawur tapi masuk akal.
“Berarti surat-surat seperti ijazah, transkip nilai dan tetek bengek surat-surat yang lain kalau seperti itu gunanya untuk apa kang?” tanya Pak Darso. “Terus kang, denger-denger kemarin tes dan wawancara juga lebih tinggi Sakirin hasilnya daripada ponakan pak manten lurah. Jelas-jelas lebih militan Sakirin.” Pernyataan Kang Ro dan sesapan rokok membuat rongga dada Pak Darso semakin penuh dan panas.


“Begini saja kang, kalau sampeyan percaya Sakirin pancen orangnya apikan. Di manapun dia mesti bukan kadus ya tetep apikan kang.” Ucap Kang Ro santai sembari menyesap rokoknya yang sudah terbakar setengah itu.
“Atau kita calonin Sakirin sebagai ketua RT saja kang. Kebetulan Pak Dahidi kemarin katanya mau pensiun jadi RT sudah terlalu tua, dan ya kalau dilihat-lihat tidak ada warga yang akan sukarela mencalonkan diri. Sebab semua tahu RT nggak ada gajinya malah sering keluar uang transportasi ke tempatnya kadus maupun ke kelurahan.” Lagi-lagi Kang Ro sangat solutif dalam memberikan saran.


“Ketua RT ya kang.” Pak Darso akhirnya manggut-manggut setuju dengan apa yang dikatakan Kang Royani dan membuang rokoknya yang sudah habis itu.
“Allahu akbar Allahu akbar”
Suara adzan menjadi akhir dari obrolan keduanya, rokok yang Kang Royani dan Pak Darso nyalakan pun sudah habis.
“Ayo kang sudah adzan, mari kita ke masjid. Besok kita lanjutkan diperkumpulan RT sekaligus nyalonin Sakirin untuk kemajuan kampung tercinta.” Ajak Pak Darso.
“Ayo, shof depan sendiri supaya cepat mustajab doanya, sekalian doain Sakirin mau jadi RT.” Keduanya tertawa bersama kemudian berdiri bergegas untuk mengambil wudhu.


Di malam berikutnya terpilihlah Sakirin sebagai ketua RT baru. Walaupun tanpa bengkok dan gaji di masa jabatannya ia tetap nrima. Hal ini karena jabatan RT di suatu desa terkadang tidak dianggap sebagai jabatan, melainkan pekejaan sukarela untuk memimpin warga tanpa bayaran. Pemilihannya pun sangat tidak wajar, terkadang ada yang mencalonkan sendiri karena prihatin dengan desanya, ada yang dicalonkan karena dilihat mampu dan mau membawa perubahan, ada juga yang karena saking susah diatur dan tidak mau bekerja sama akhirnya dicalonkan oleh warga yang lain untuk menjadi ketua RT.

Lain halnya dengan jabatan kadus atau kades yang mendapat bengkok dan gaji, setiap pemilihan pasti akan ramai dengan beberapa calonnya.
Sakirin dengan semangatnya membawa perubahan tetap tak menolak dan ikhlas menerima, siapa tahu melalui RT bisa membuat koneksi. Nrimo ing pandum, nyatane ora ndue koneksi lan komisi, RT pun jadi. (Karena tidak punya orang dalam dan uang, maka hanya bisa menjadi RT dan menerima keadaan).


Penulis : Siti Qomariah
Editor : Shanti Ruri P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com