Singgah di Lahan Agroforestry Pak Gianto
Pak Gianto merupakan salah satu petani agroforestry di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Agroforestri sendiri merupakan suatu sistem pengunaan lahan yang cukup unik, dengan mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim ataupun ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan. Jadi pada dasarnya, agroforestry mempunyai beberapa komponen penyusun utama, yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non-pohon, ternak dan manusia dimana masing-masing komponen saling berinteraksi satu dengan yang lain. Keuntungan yang diharapkan dari sistem ini ada dua, yaitu produksi dan pelayanan lingkungan, bahwa sistem agroforestry dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara, hasil dapat diperoleh melalui sistem pertanian tanaman semusim serta berdampak positif bagi lingkungan.
Sebelum menggunakan sistem agroforestry Pak Gianto menjelaskan bahwa pada masa orde baru tahun 1998, setelah tumbangnya Pak Soeharto terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran akibat euforia reformasi. Kayu di hutan diambil oleh masyrakat untuk mencukupi kebutuhan akibat krisis moneter. Sehingga banyak lahan gundul yang menyebabkan beberapa daerah tebing atas mengalami longsor ketika hujan turun. Oleh karena itu, pada tahun 2004 hutan resmi dimiliki oleh Perhutani bukan Pemerintah Desa Sumberagung. Hal tersebut membuat warga terkendala dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, karena penghasilan mereka diperoleh dari hutan, namun jika hal itu dibiarkan maka akan terjadi bencana ekologis yakni longsor.
Kemudian Pemerintah Desa Sumberagung dan Perhutani membangun kerjasama dengan membentuk Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) dan Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam (KPSA). KSPA merupakan kelompok tani terdahulu yang mengatur semua jalannya usahani di desa tersebut. Melalui kesepakatan tersebut, lahan hutan dapat dimanfaatkan oleh petani dan diolah sebagai lahan agroforestry atau bertani di dalam hutan dengan mengombinasikan tanaman berkayu (durian, alpukat) dan tanaman non-berkayu (pisang, kelapa). Setiap petani memperoleh luas lahan sebesar ¼ hektar (ha) untuk ditanami sesuai keinginan. Luas lahan dibagi secara rata dengan memberi patok sebagai penanda.
Untuk pembagian hasil tidak ada ketentuan khusus dari Perhutani, sehingga pembagian hasil dilihat dari perolehan penjualan saat masa panen, dengan sistem diuangkan atau dijual terlebih dahulu. Perhutani juga berpesan pada Pak Gianto selaku ketua KPSA agar para petani di desa memperhatikan faktor ekologi dan tetap menjaga lingkungan agar tidak terjadi degradasi lahan.
Sistem agroforestry yang diterapkan Pak Gianto yakni mengombinasikan tanaman berkayu seperti durian, alpukat, duku, cengkeh, kopi, andong dengan tanaman non-berkayu seperti pisang, kelapa. Berdasarkan komponen penyusunannya (agroforestry-red) dapat diklasifikasikan menjadi Agrisilvikultur (Agrisilvicultural system) karena hanya kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman non-berkayu tanpa sistem peternakan.
Perawatan yang dilakukan dengan penyiangan dan pemangkasan, pemupukan dengan pupuk anorganik (ZA, Ponskha), terkadang bagi petani yang memiliki hewan ternak membawa kotoran ternak mereka ke lahan, pengecekan secara berkala, pemanfaatan limbah kopi sebagai pupuk organik, Sistem Tambal Sulam yaitu pola tanam dengan menanam tanaman di daerah/tanah kosong di sekitar lahan budidaya. Hal itu dilakukan untuk mengoptimalkan hasil panen sehingga perekonomian petani juga meningkat. Kendala yang dialami para petani yakni terkhusus pada serangan hama penyakit, ketika buah kopi dan buah-buah lain sudah merah dan matang, banyak buah dimakan hama bajing, sehingga banyak menyebabkan buah menjadi busuk. Banyak akar tanaman yang terserang jamur akar dan menjalar hingga ke batang. Daun daun tanaman kopi banyak terserang cacar daun berwarna kekuningan. Selain kendala hama dan penyakit terdapat kendala lain seperti terjadinya erosi ringan pada beberapa lahan. Hasil yang diperoleh melalui produksi kopi pada ¼ ha mencapai 2 ton. Kopi tersebut dijual dengan harga Rp 22.000/kg kering. Pada saat musim panen biasanya tengkulak langsung mendatangi petani dan kopi dijual dengan harga Rp 5.000/kg. Sedangkan tanaman durian belum diketahui hasil panennya karena dalam masa percobaan.
Penulis : Wikan Agung
Editor : Shanti R.P