Nasib Petani di Hari Buruh

Oleh : Wikan Agung Nugroho

Peringatan Hari Buruh merupakan peristiwa bersejarah tentang perjuangan pembebasan didalam belenggu penindasan korporasi yang bersifat kapitalistik bagi kaum lapisan pekerja atau buruh di seluruh dunia. Bermula pada tahun 1886 dimana kaum pekerja menuntut jam kerja normal yakni 8 jam/hari.   Saat itu merupakan aksi balas dendam kaum buruh terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Sektor pertanian adalah sektor yang tidak pernah lepas  dari perjuangan buruh tani di Indonesia. Agenda Reforma Agraria selalu digaungkan dalam peristiwa hari buruh. Ketimpangan penguasaan tanah dan tingginya alih fungsi lahan di Indonesia menjadi persoalan serius dimana menimbulkan produksi komoditas pertanian tidak maksimal sehingga Indonesia masih jauh dari “Kedaulatan Pangan”.

Lebih dari 65 persen penduduk Indonesia tinggal di pedesaan yang mata pencaharian utama di bidang pertanian. Namun tidak semua penduduk memiliki lahan, bahkan jika memiliki lahan luasanya sangat sempit. Diperkirakan sekitar 50 persen penduduk daerah pedesaan di Jawa tidak memiliki lahan sawah yang luas, sedangkan sebagian besar petani pemilik hanya memiliki lahan seluas kurang dari 0,2 hektar.

Sifat ekonomi negara kita yang terus menggencarkan ekonomi pembangunan dan penanaman modal besar petani demi meningkatkan laju perekonomian. Petani dengan lahan produktif dihadang oleh perampasan lahan yang diakukan oleh perusahaan-perusahaan besar pemegang konsesi. Dengan dalih adanya UU no 2 Tahun 2012 dan RUU Cipta Kerja Tahun Pasal 122 yakni kebutuhan tanah untuk kepentingan umum. Sehingga para petani tidak lagi mempunyai lahan produktif  untuk bercocok tanam, akibatnya proses regenerasi terhambat. Tenaga dan angkatan kerja produktif pedesaan didepak dari desa, tanah mereka dirampas, pertanian menyusut dan tidak menguntungkan karena tidak terwujudnya agenda reforma agraria.

Agenda Reforma Agraria yang tak kunjung selesai, ditambah dengan pengesahan beberapa peraturan yang membunuh kredibilitas petani yakni RUU Pertanahan dan  RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB). Jika ditelisik lebih dalam banyak pasal yang mampu menimbulkan hilangnya kedaulatan rakyat.  Sebagaimana dalam pasal 42-45 RUU Pertanahan dimana pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan tanah berbasis hak menguasai negara. Pasal ini sangat kontroversial karena pemerintah diberi hak menerbitkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk menjadi tanah negara. Di samping itu dalam RUU SBPB petani juga dibatasi ruang geraknya, pada pasal 27 Ayat 3 menyebutkan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik harus melaporkan ke pemerintah. Pasal ini sangat menghambat petani dalam mengembangkan benih mandiri dan lebih pro terhadap pihak korporasi.

Menurut Catatan Akhir Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (2019) Tercatat, sepanjang 5 tahun saja (2014-2019) terjadi kejadian konflik agraria, sebanyak 2.243 kasus, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Konflik ini terjadi antara masyarakat utamanya petani, masyarakat adat, nelayan, atau warga miskin dengan kelompok badan usaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti/real estate, tentara dan Negara. Hal itu terjadi karena tindakan penggusuran dan pemindahan paksa demi pembangunan infrastruktur, pariwisata dan proyek konservasi. Konflik agraria tersebut mengakibatkan jatuhnya banyak korban sekitar 1.236 orang dikriminalisasi, 656 orang dianiaya/terluka, 68 tertembak, bahkan 60 nyawa melayang di wilayah konflik agraria. Dalam konflik agraria ini, perempuan dan anak-anak turut menjadi korban, akibat kekerasan dalam penanganan konflik di lapangan

Kebutuhan  Reforma Agraria adalah sebuah tuntunan utama bagi petani diman demi terjaminya lahan lahan produktif pertanian, dengan melakukan penataan ulang sumber-sumber agraria. Tenaga produktif di pedesaan taraf kehidupannya akan meningkat seiring dengan kemampuannya mengolah dan bertani. 

Reforma Agraria akan sangat mempengaruhi struktur kesejahteraan petani, Sitorus (2007) mengemukakan bahwa Perbedaan mengkases sumberdaya agraria dapat menyebabkan perubahan struktur kesejahteraan dan kesenjangan.  Lebih lanjut, perubahan struktur agraria berpotensi mengarah pada struktur yang semakin terstratifikasi, atau semakin terpolarisasi. Arah mana yang akan terjadi
sangat tergantung dari hasil pertarungan antara modal produksi kapitalis yang diperkenalkan dari dengan modal produksi pra kapitalis yang sebelumnya sudah berkembang di komunitas petani. Walaupun demikian, kedua bentuk perubahan struktur agraria tersebut akan mendorong
terjadinya perubahan peta kesejahteraan keluarga/komunitas pekebun, baik meningkatkan maupun memperburuk kondisi peta kesejahteraan keluarga petani.

Mardiyaningsih (2010) mengemukakan pentingnya reforma agraria di Indonesia yakni dapat mengatasi sejumlah persoalan: (1) Persoalan Politik: UUPA—stigmatisasi orde baru yang sistematis dalam persoalan keagrariaan cenderung menjadikan orang enggan untuk menyinggungnya; (2). Persoalan Ekonomi: dengan Reforma Agraria, persoalan persoalan mendasar dari sistem ekonomi bangsa Indonesia akan mendapatkan titik terang; (3) Persoalan Psikologis: Di aras ini, Reforma Agraria akan memberikan kenyamanan, terutama dalam memberikan social insurance bagi masyarakat kelas bawah yang kehidupannya berbasis agraria; (4) Persoalan Kebudayaan: bagi masyarakat agraris, tanah tidak hanya terkait dengan tuntutan ekonomi, tetapi juga kebudayaan masyarakat sehari-hari. Kebudayaan Reforma Agraria akan berkaitan dengan pemeliharaan dan penjaminan atas sustainabilitas kebudayaan lokal maupun nasional, serta transformasi budaya yang sistematis dari masyarakatagraris kepada masyarakat Industri, meski dengan basis ekonomi di aras lokal berbeda-beda.

Sumber

Catatan Akhir Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria 2019

Mardiyaningsih D, I, 2010. Reforma Agraria Dan Revitalisasi Pertanian Di
Indonesia:. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusi

Sitorus dkk., 2007. Perubahan Struktur Agraria dan Differensiasi Kesejahteraan
Petani. Laporan Penelitian KKP3PT. Kerjasama LRPI dan LPPM-IPB.
Tidak Diterbitkan: Bogor.

Penulis : Wikan Agung N.

Editor : Shanti Ruri P.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com