Persmacanopy.com

Membangun Pertanian Indonesia

Asal Bicara, Rakyat jadi Korban

Komunikasi pejabat negara adalah cerminan arah pemerintahan itu sendiri. Ketika seorang pemimpin atau juru bicara negara berbicara kepada publik, di sanalah letak kepercayaan rakyat ditambatkan, harapan disematkan, dan arah kebijakan dipetakan. Sayangnya, pada kenyataannya, komunikasi politik dalam tubuh pemerintahan saat ini tampak semakin amburadul, tidak terkoordinasi, dan justru menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Di bawah kepemimpinan Prabowo yang baru berjalan beberapa bulan, kita sudah bisa melihat bagaimana komunikasi yang tidak terkelola dengan baik justru berbalik menjadi bumerang, menciptakan keresahan publik, memunculkan kegaduhan media, dan merusak kepercayaan yang baru ingin dibangun.

Pemerintahan Prabowo yang membentuk kabinet jumbo dengan jumlah kementerian dan lembaga yang besar memang mengesankan dari segi kuantitas, namun justru menjadi tantangan serius dalam hal koordinasi dan efektivitas komunikasi. Semakin banyak kepala dalam satu meja kekuasaan, semakin besar pula potensi tumpang tindih informasi, lemahnya jalur komunikasi antar instansi, dan memburuknya penyampaian pesan ke masyarakat. Apalagi, fakta bahwa penambahan kementerian dan lembaga ini dilakukan demi mengakomodasi para pendukungnya dalam Pilpres membuat publik mulai mempertanyakan niat awal dari formasi kekuasaan ini, apakah benar demi pelayanan rakyat, atau sekadar pembagian kekuasaan?

Dalam 100 hari pertama masa pemerintahannya saja, kritik terhadap blunder-blunder komunikasi sudah mengalir deras. Mulai dari kebijakan yang tidak matang, program yang membingungkan, hingga pernyataan pejabat yang cenderung sembrono serta dapat menyinggung perasaan publik.Salah satu contoh paling nyata adalah kegagapan komunikasi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan distribusi Elpiji 3 kilogram. Ketentuan baru yang menetapkan kewajiban menunjukkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) bagi masyarakat yang ingin membeli Elpiji 3 kg sebenarnya bisa dimengerti sebagai upaya untuk mendata subsidi secara tepat sasaran. Namun, karena tidak disosialisasikan secara menyeluruh dan tidak dibarengi edukasi publik yang memadai, kebijakan itu justru menciptakan kepanikan. Warga yang tidak mendapatkan informasi merasa ditelantarkan, antrean di pangkalan resmi mengular, dan pengecer kebingungan mengurus legalitas. Semua ini adalah dampak dari satu hal yang sederhana tapi krusial: komunikasi yang buruk. Pemerintah seolah lupa bahwa kebijakan sebesar apapun, sebaik apapun, jika tidak dikomunikasikan dengan tepat kepada rakyat, akan tetap menimbulkan kegagalan di lapangan. Hal ini tidak berhenti sampai pada masalah teknis kebijakan. Kegaduhan komunikasi juga terjadi pada level simbolik, yang menyentuh rasa keadilan dan hati nurani publik. Ketika media Tempo mengalami aksi teror berupa kiriman kepala babi dan bangkai tikus, sebuah tindakan yang jelas mencederai semangat kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi, reaksi dari Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi bukannya menenangkan, namun justru memperkeruh suasana. Ucapan santainya yang menyarankan untuk memasak kepala babi itu bukan hanya tidak etis, tapi menunjukkan ketidakpekaan mendalam terhadap pentingnya menjaga integritas pers dan kemerdekaan berekspresi. Dalam demokrasi, negara seharusnya berdiri sebagai pelindung kebebasan pers, bukan pihak yang menanggapinya dengan guyonan yang melecehkan logika demokrasi. Begitu pula dengan pernyataan Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra yang menyebut bahwa tragedi Mei 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat. Sebuah narasi yang berpotensi menihilkan luka sejarah bangsa dan menyakiti keluarga para korban yang hingga kini belum mendapatkan keadilan. Dalam hal ini, komunikasi pemerintah bukan hanya soal teknis penyampaian pesan kepada rakyat, melainkan juga mencerminkan bagaimana negara menghargai sejarah, rasa keadilan, dan sensitivitas publik.

Komunikasi publik seharusnya merangkul, bukan memukul. Komunikasi politik idealnya menenangkan keresahan warga, bukan justru menambah kegaduhan. Dalam banyak negara yang sistem komunikasinya baik, setiap pernyataan pejabat telah melalui pertimbangan matang, diuji narasinya, serta diarahkan agar bisa merangkul seluruh elemen masyarakat. Diplomasi publik menjadi kunci, bukan asal bicara atau menjawab asal-asalan. Apa yang kita lihat hari ini, sayangnya, adalah bentuk komunikasi yang miskin strategi, lemah dalam koordinasi, dan kadang lebih mementingkan citra daripada substansi. Jika pola komunikasi ini tidak segera diperbaiki, maka yang akan menjadi korban bukan hanya citra pemerintah, tetapi stabilitas sosial dan kepercayaan publik secara luas.

Ketika komunikasi gagal, maka kebijakan gagal. Ketika kebijakan gagal, maka kehidupan rakyat ikut tergerus. Dalam situasi yang semakin kompleks seperti saat ini di mana masyarakat sudah terpapar informasi dari berbagai kanal dan menuntut transparansi serta kejelasan, komunikasi yang sembrono bisa menciptakan kegaduhan besar yang berakibat panjang. Pemerintah tidak bisa terus-menerus menanggapinya dengan sikap santai atau sekadar klarifikasi reaktif. Harus ada reformasi dalam sistem komunikasi di tubuh pemerintahan, mulai dari penguatan peran juru bicara, konsolidasi antar kementerian, hingga pelatihan komunikasi publik bagi para pejabat negara.

Kepekaan terhadap konteks sosial, kedalaman terhadap isu yang dihadapi, serta kematangan narasi harus menjadi prinsip utama dalam setiap pernyataan resmi. Di atas semua itu, para pejabat perlu memahami bahwa setiap kata yang keluar dari mulut mereka bukan hanya representasi pribadi, tetapi cermin dari negara itu sendiri. Karena ketika pejabat asal bicara, yang menanggung akibatnya adalah rakyat banyak. Rakyat yang bingung, rakyat yang panik, rakyat yang akhirnya kecewa. Maka, demi keberlangsungan pemerintahan yang kredibel dan efektif, serta demi menjaga semangat demokrasi dan keterbukaan, komunikasi publik harus dibangun secara matang, terkoordinasi, dan merangkul semua pihak. Sebab sekali lagi, komunikasi yang amburadul dari para pejabat bukan hanya soal kesalahan teknis, melainkan bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab moral kepada rakyat. Dan bila ini terus berlanjut, maka benar adanya asal bicara, rakyat jadi korban.

Penulis: Muhammad Ihza Ezra Saputra

Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra

Gambar: Pixabay.com

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com