Persmacanopy.com

Membangun Pertanian Indonesia

MAHASISWA BUKAN TENTARA, OSPEK BUKAN LATIHAN MILITER

Kampus-kampus dalam negeri kembali berdenyut. Gerbang perguruan tinggi terbuka menyambut ribuan wajah baru yang dipenuhi harapan dan kecemasan. Sebuah titik balik eksistensi yang menandai langkah awal menuju harapan baru sekaligus dengan tantangan yang mengiringi. Mahasiswa baru melangkah dengan semangat menggebu mengejar mimpi akademis dan pengembangan diri. Di sisi lain, mahasiswa tingkat atas sibuk mempersiapkan ritual penyambutan yang dikenal sebagai ospek.

Secara ideal, ospek seharusnya menjadi momen sakral, titik awal perjalanan akademik, jembatan antara dunia sekolah dengan kehidupan intelektual kampus, ruang pengenalan nilai-nilai keilmual, kebersamaan, dan identitas baru sebagai insan akademis. Namun, realitas yang terpampang seringkali jauh lebih kelam dan paradoksal.

Ironi terbesar terletak pada identitas mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa dikenal sebagai garda depan gerakan sosial yang kritis terhadap kekuasaan otoriter, intervensi, dan segala bentuk penindasan di ruang publik. Mereka vokal menolak represi, membela hak asasi manusia, dan memperjuangkan keadilan. Namun, di dalam tembok kampus sendiri, di ruang yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi dan humanisme, seringkali terjadi pembiaran bahkan partisipasi dalam struktur kekerasan kecil bernama ospek.

Sikap keras senior, teriakan komando, hukuman kolektif yang absurd dan atmosfer ketakutan yang sengaja diciptakan, bertolak belakang dengan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan anti-penindasan yang mereka perjuangkan di luar. Ketidak-konsistenan sikap ini bukan hanya hipokrisi, tetapi hilangnya kredibilitas gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Bagaimana mungkin mempercayai suara lantang menentang kekerasan negara jika di lingkup internalnya sendiri kekuasaan diproduksi dan diromantisasi?

Mahasiswa bukanlah tentara dan ospek tidak seharusnya menjadi ajang komando. Tidak sedikit kegiatan ospek justru berubah menjadi ‘mesin produksi tenakan berlebihan’ dan menjadi pengalaman traumatis. Praktek – praktek seperti perpeloncoan, tugas fisik tanpa edukasi, penghinaan verbal, isolasi sosial, hingga tekanan psikologis yang sistematis, semuanya seringkali dibungkus rapi dalam retorika ‘tradisi yang diwariskan’.

Argumen ini bukan hanya lemah secara moral, tetapi juga tidak terlogika. Tradisi, dalam konteks apapun, tidakboleh menjadi justifikasi untuk pelanggengan dehumanisasi. Nilai sebuah tradisi terletak pada kemampuannya menguatkan komunitas, bukan merusak martabat individu. Ketika ‘tradisi ospek’ lebih banyak menghasilkan air mata, ketakutan, dan trauma daripada semangat keilmuan dan persaudaraan, anggapannya telah berubah menjadi hal kosong yang represif.

Sumber: Google Images

Klaim bahwa tekanan fisik dan psikis dalam ospek justru bertujuan untuk membentuk mental tangguh adalah narasi yang perlu dihilangkan. Perpeloncoan tidak membangun ketangguhan, melainkan melukai psikis mahasiswa. Mental tangguh dapat lahir dari penguasaan keterampilan, penyelesaian masalah secara kolaboratif, menghadapi tantangan intelektual, dan dukungan komunitas, bukan dari teriakan, hinaan, atau bahkan paksaan kegiatan fisik.

Konsistensi antara nilai yang dikampanyekan, seperti anti-kekerasan, demokrasi, dan keadilan, adalah inti integritas gerakan mahasiswa. Budaya represif dalam ospek bukan hanya melukai individu, tetapi juga mempengaruhi lingkup akademik kampus. Ia menghasilkan mahasiswa yang takut berbicara, enggan berbeda pendapat, dan terbiasa dengan hierarki kekuasaan yang tidak sehat.

Perlakuan yang menekan baik fisik, verbal, maupun psikologis tidak dapat dibenarkan hanya alasan tradisi atau “pembentukan mental”. Sebagai insan akademik, sudah seharusnya menunjang nilai-nilai dialog, empati, dan kebersamaan. Lingkungan kampus yang sehat tumbuh dari cara mahasiswa memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat.

Ospek harus dibebaskan dari statusnya sebagai sumber ketakutan menuju fungsi autentiknya sebagai inkubator karakter akademik yang inspiratif. Transformasi radikal ini menuntut redefinisi beberapa hal, seperti mengganti paradigma komando dengan dialog setara antara senior-junior untuk membangun pemahaman tentang nilai kampus, mengalihkan fokus dari penekanan fisik-psikis menuju penguatan potensi melalui workshop keterampilan akademik dan proyek kolaboratif, serta meruntuhkan budaya ekslusi dengan menciptakan ruang inklusif yang menjamin keamanan dan penerimaan bagi seluruh latar belakang mahasiswa baru.

Kunci keberhasilan perubahan ini adalah pada pergeseran peran senior dari posisi ‘penguasa’ yang mengintimidasi menjadi mitra mentor yang mendukung. Senior bukan lagi algojo penjaga hierarki, melainkan teman sebaga yang memandu adaptasi dengan empati dan welas asih. Hanya dengan perubahan hal-hal tersebut, ospek mampu menjadi gerbang menuju komunitas akademik yang manusiawi, tempat mahasiswa baru menyambut petualangan intelektualnya bukan dengan trauma, melainkan dengan rasa percaya diri, keterhubungan sosial, dan kesadaran penuh sebagai insan merdeka dalam berpikir.

Alih-alih menciptakan ketakutan, ospek semestinya menjadi ruang pengenalan dan penguatan karakter yang menyenangkan dan inspiratif. Suasana yang inklusif dan suportif akan jauh lebih bermakna dalam menumbuhkan semangat belajar dan keterlibatan aktif. Budaya represif justru hanya akan menghasilkan mahasiswa yang takut, bukan yang berpikir bebas dan bertanggung jawab. Konsistensi antara nilai yang dikampanyekan dan perilaku nyata adalah kunci integritas gerakan mahasiswa.

Jika mahasiswa berani menolak kekerasan negara, intervensi pihak lain, dan ketidakadilan sosial di luar kampus, maka keberanian moral yang sama harus ditunjukkan untuk membersihkan ‘halaman belakang’ sendiri. Menjadi mahasiawa sejati berarti memiliki keberanian untuk mempertanyakan, menolak, dan mereformasi pola lama yang tidak manusiawi dan tidak edukatif, seklaipun ia bersembunyi di balik label ‘tradisi’. Menjadi mahasiswa berarti berpikir dan bertindak dengan nurani, bukan sekadar mengikuti arus.

Sudah saatnya mendefinisikan ulang budaya ospek secara radikal. Lepaskan belenggu romantisme kekerasan masa lalu. Bangun tradisi baru yang memuliakan akal budi, rasa kemanusiaan, dan semangat kebersamaan. Kembalikan ospek pada khittahnya, sebagai pintu gerbang menuju dunia akademik yang mencerahkan, bukan kubangan pertama yang merendahkan martabat seseorang. Karena pada hakikatnya, mahasiswa adalah pemikir merdeka, bukan tentara yang harus dilatik kepatuhan, dan kampus adalah benteng peradaban, bukan markas komando. Hanya dengan konsistensi dan keberanian moral inilah mahasiswa dapat benar-benar menjadi agen perubahan yang kredibel, dimulai dari dalam diri dan lingkungan terdekatnya.

Penulis: Zahira Nur Shadrina

Editor: Rayya Izana Abqariyya

Gambar: Google Images

 

 

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com