Mengenang Sosok Jenderal Hoegeng dalam Humor “Tiga Polisi Jujur” Gus Dur.
Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid atau sering dikenal Gus Dur, memanglah sosok yang humoris. Dibalik sisi intelektualnya, cukup banyak anekdot dan humor yang dilontarkan beliau, salah satunya berbicara tentang kejujuran polisi.
Gus dur menyebutkan “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu patung polisi, polisi tidur dan yang terakhir, Jenderal Hoegeng.” Lalu, siapakah sosok Jenderal Hoegeng yang disebutkan oleh Gus Dur tersebut?
Jenderal Hoegeng, memiliki nama lengkap Hoegeng Iman Santoso. Lahir pada tanggal 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Beliau memiliki darah Ningrat dari keluarga Amtenar.
Ayahnya bekerja sebagai Kepala Kejaksaan di Pekalongan, mempertemukan Hoegeng dan Ating Natadikusuma yang merupakan kerabat ayahnya. Cita-cita beliau ingin menjadi seorang polisi karena terinspirasi dari sosok Ating Natadikusuma, yang merupakan Kepala Jabatan Kepolisian Keresidenan Pekalongan pada masa itu.
Di masa mudanya, Hoegeng mengenyam pendidikan di RHS (Rechtshogeschool) yakni Sekolah Tinggi Hukum di Batavia dan melanjutkan sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi. Setamatnya menempuh pendidikan kepolisian, beliau langsung ditempatkan di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara.
Selama 4 tahun berselang, beliau dipercaya untuk menjadi Kepala bagian Reserse Kriminal (Reskrim) di Sumatra Utara. Daerah yang pada masa itu cukup terkenal dengan street criminal-nya, perjudian, korupsi dan penyelundupan. Bagaimana tidak, kedatangan Hoegeng disambut dengan mobil dan perabot-perabot pemberian aktor-aktor kejahatan di daerah tersebut dengan tujuan agar bisa diajak untuk berkompromi. Pemberian barang-barang itu ditolak mentah-mentah oleh Hoegeng, dan beliau meminta untuk dikembalikan semua barang pemberian tersebut.
Berkat perilaku bersih, tegas, disiplin, jujur dan tidak mau berkompromi dengan aktor kejahatan, beliau sempat diusulkan oleh Sultan Hamengkubuwono ke-9 untuk mengisi posisi sebagai menteri keuangan di Kabinet 100 Presiden Soekarno.
Berkat kinerja beliau, pada tahun 1968, Hoegeng diamanahi menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) oleh Presiden Soeharto, yang pada masa itu merupakan Kapolri ke-5. Pada masa jabatannya, Hoegeng banyak melakukan pembaharuan, mulai dari struktur organisasi dan munculnya kebijakan-kebijakan baru.
Dalam struktur organisasi kepolisian, beliau melakukan perubahan istilah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kapolri. Hal ini membuat Polri sepenuhnya berdiri sendiri dalam melakukan tugasnya tanpa adanya intervensi dari angkatan bersenjata.
Selain itu, banyak kebijakan-kebijakan baru yang muncul pada masa jabatan beliau selama menjadi Kapolri, salah satunya yang hingga kini masih diterapkan ialah kebijakan penggunaan helm saat berkendara motor. Kebijakan ini lahir pertama kali pada masa jabatan beliau. Beliau sering turun ke lapang dan dekat dengan masyarakat, mengkhawatirkan besarnya angka kematian akibat kecelakaan saat berkendara motor. Hal ini yang membuat Hoegeng mencetuskan kebijakan tersebut dan hingga kini kebijakan tersebut masih langgeng digunakan dan sudah ter-mindset di setiap benak masyarakat.
Kasus-kasus besar yang pernah menguji sifat integritas Hoegeng diantaranya kasus penyelundupan mobil mewah oleh Roby Tjahjadi dan kakanya Sigit Wahyudi. Selain itu ada kasus Sam Kuning, kasus pemerkosaan yang diduga adanya keterlibatan anak pejabat di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Yogyakarta.
Namun dalam penyelidikannya, Hoegeng merasa ada kejanggalan terhadap instruksi yang dikeluarkan Presiden Soeharto. Sehingga proses hukumnya berjalan kurang maksimal.
Integritasnya dalam melakukan kinerja sebagai Kapolri ini, membuat rezim pada saat itu ikut terganggu. Hal ini terbukti dengan Hoegeng yang dipensiunkan dini dengan alasan peremajaan. Anehnya pengganti Hoegeng di kursi Kapolri ialah Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Hasan, yang berusia lebih tua.
Tidak hanya itu tawaran menjadi Duta Besar pernah ditawarkan oleh Presiden Soeharto, namun ditolak dengan alasan, beliau merupakan seorang polisi dan bukan seorang diplomat. Beliau merasa tidak capable dengan tugas itu.
Hoegeng mengisi masa pensiunnya dengan melanjutkan hobinya yaitu melukis, bermusik dan bernyanyi untuk Hawaiian Seniors. Kegiatan bermain musik dan bernyanyi untuk Hawaiian Seniors sudah dilakukan sejak SMA, dan bahkan pada masa jabatannya, beliau juga sempat melakukan hobi tersebut. Sehingga beliau dijuluki “The Singing Jenderal.”
Hoegeng tutup usia pada tanggal 14 Juli 2004 karena penyakit stroke yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Pemakaman Giritama, Desa Tonjong, Bogor sesuai dengan permintaan beliau.
Semasa hidupnya, beliau merupakan sosok yang berintegritas, merakyat, sederhana, dan jujur. Tidak hanya itu, beliau menjadi polisi yang terkenal dekat dengan rakyat dan terbuka dengan pers. Sosok beliau merupakan representatif polisi yang dirindukan masyarakat dan menjadi inspirasi banyak orang.
Penulis : Hanif Azhari
Editor : Shanti Ruri P