Derana

Mobil pick up menderu membawaku ke sebuah pemukiman yang cukup padat, tidak jauh dari pusat kota. Entah ini ke berapa kalinya aku pindahan. Namun, merasakan suasana baru adalah suatu hal yang cukup menyenangkan bagiku.

“Rana, ayo bantu angkat-angkat barang sebisamu. Jadi ini tempat tinggal baru kita ya, semoga kita betah disini,” Pinta nenek.

“Ah, nenek dari dulu ngomongnya begitu terus, tapi nyatanya juga kita pindah lagi. Tapi tidak apa-apa, Rana suka suasananya disini,” Sahutku.

“Iya, di rumah kemarin terlalu banyak binatang buas ada macan, singa dan masih banyak lagi. Makanya kita pindah sini aja biar aman.” Sahut nenek dengan nada bercanda.

Mulai sekarang rumah dengan cat warna putih pucat ini akan kutinggali hingga esok. Suasana disini memang lebih tenang dibandingkan yang dulu-dulu, terkadang orang-orang suka berteriak tidak jelas di depan rumah, ada pula batuan-batuan kecil hingga besar juga bersarang dirumahku, dan entah apa maksudnya itu.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Aku dan nenek mulai nyaman berada di rumah baru. Namun, entah kenapa nenek membatasiku untuk berkegiatan diluar. Main pun juga tidak diperbolehkan, hanya boleh di halaman depan saja. Aku jadi tidak punya teman, kalau dipikir-pikir lagi aku memang tidak punya banyak teman.

Setelah beberapa bulan disini, nenek mendaftarkanku ke Taman Kanak-Kanak (TK). Nenek bilang bahwa usiaku sudah cocok untuk bersekolah. Akupun menuruti kemauannya, karena cuman dia yang ada dihidupku selama ini. Nenek juga bilang TK adalah tempat yang menyenangkan dan bisa bertemu dengan guru yang bisa membuatku lebih pintar.

Hari pertamaku sekolah pun tiba, dengan berpakaian yang cukup lucu, aku tiba di sebuah bangunan yang sangat penuh warna. Suasana disana amat ramai,  berbeda dengan hari-hariku sebelumnya yang penuh dengan ketenangan. Banyak anak seumuranku yang tiba disana, ditemani dengan seseorang pria dan wanita yang terlihat muda dibandingkan nenek. Anak-anak itu memanggil papa, mama, ayah dan sebutan-sebutan lain yang kurang familiar di telingaku. Sebutan-sebutan itu hanya sekelibat pernah kudengar, namun dulu ketika aku benar-benar masih belia. Sepertinya anak-anak seumuranku itu sangat dekat dengan ayah dan ibu mereka, entah apa hubungan mereka, tetapi mereka terlihat saling menyayangi.

Suara keras muncul dari benda yang berbentuk kotak yang menempel diatas tembok. Suara itu menyuruh anak seumuranku untuk berbaris di halaman untuk melakukan apel pagi. Di dalam hati aku bertanya-tanya, apa hubungannya baris-berbaris dengan buah apel. Selepas baris-berbaris yang tidak ada hubungannya dengan apel, kami diarahkan menuju ruang kelas. Terlihat banyak mama dan papa masih menunggu diluar ruangan, sedangkan nenek memilih untuk pulang dan akan menjemputku seusai sekolah.

Di dalam kelas, ada seseorang yang seumuran dengan nenek sedang memperkenalkan diri sebagai guru kami. Bu Guru pun memanggil kami satu persatu dan menyuruh kami untuk berkenalan. Tidak hanya itu, bu Guru juga menanyakan beberapa pertanyaan yang aku sendiri kurang mengerti apa maksudnya.

Tibalah namaku dipanggil.

“Derana, silahkan kamu berdiri kedepan dan memperkenalkan diri ke teman-teman barumu ini”

“Halo teman-teman, nama aku Derana, aku tinggal tidak jauh dari TK ini,”

“Oh, kamu kesini bersama siapa? Tanya bu Guru.

“Aku bersama dengan nenek, namun sekarang dia sedang pulang dan menjemputku lagi setelah sekolah selesai,”

“Orang tuamu kemana Derana? Apakah mama dan papamu tidak ikut mengantar ke sekolah di hari pertama?”

Aku terdiam beberapa detik dan mencoba memahami pertanyaan dari bu Guru. Aku sama sekali tidak tahu apa itu orang tua dan mama, papa itu juga tidak terlalu sering mendengarnya, dan aku tidak tahu apa artinya semua itu.

“Aku tidak mempunyai itu” Jawabku bingung.

Spontan seisi ruangan tertawa. Aku bingung dan bertanya-tanya apa yang lucu? Aku memang benar-benar tidak punya itu, dan hanya nenek yang selalu ada disampingku. “Memang apa yang salah dengan semua itu?” Batinku.

Dengan raut wajah yang berbeda, bu Guru hanya menepuk pundakku dengan lembut dan menyuruhku kembali ke tempat duduk.

Di hari pertama sekolah, tidak ada sesuatu yang sangat menarik begitupun seterusnya. Hanya saja aku jadi lebih banyak tahu hal-hal baru bahkan dari hal-hal yang dasar. Dibandingkan dengan teman-teman yang lain, aku cukup lama memahami pelajaran yang disampaikan bu Guru. Entah aku kurang pintar atau tidak pernah ada yang mengajariku layaknya mereka?

Hari silih berganti, tapi belakangan ini beberapa mama menanyakan keberadaan orang tuaku. Dengan mudahnya aku mengatakan kalau tidak punya, aku hanya punya nenek. Setiap kali pertanyaan itu muncul, jawabanku selalu sama, mereka selalu heran dengan jawabanku dan itu cukup aneh bagiku.

Sesekali aku mencoba menanyakan apa yang ditanyakan mama-mama itu pada nenek. Dengan santainya nenek berkata bahwa aku tidak usah memikirkan hal itu, dia hanya menyuruhku untuk memikiran sekolah untuk besok.

Beberapa hari ini tampak ada yang berbeda. Beberapa teman mulai menjauhiku, namun beberapa yang lain biasa saja. Beberapa orang tua melihatku dengan tatapan yang aneh, dan itu membuatku terganggu. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu dengan nada yang pelan.

Aku mencoba tidak menghiraukan mereka dan melanjutkan bermain dengan temanku setelah sekolah usai. Tiba-tiba beberapa orang tua menghampiriku dan menarik tangan temanku untuk menjauh dariku.

“Tolong jauhi anak saya dan teman-teman yang lain. Kamu hanya lahir dari rahim seorang pelacur hina yang seharusnya tidak cocok berada disini. Lihat saja, nanti pasti kelakuanmu akan tidak jauh berbeda dengan ibumu dan lelaki hidung belang itu. Sekali lagi tolong jauhi anak saya. Dasar anak haram” Kata mereka dengan nada yang cukup tinggi.

Aku terdiam dan tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak paham siapa ibu atau lelaki hidung belang. Apa itu pelacur? Siapa pelacur itu? Aku juga tidak tahu. Aku hanya bisa mengangguk dan menjauh dari keramaian.

Nenek melihatku dari kejauhan dan mengajakku untuk bergegas pulang. Aku masih bertanya-tanya mengenai kejadian tadi. Akupun bertanya pada nenek, namun nenek hanya diam seribu bahasa. Kemudian matanya berlinang air mata, dia berkata,

“Setelah ini, kamu kemasin semua barang kamu, kita pindah cari rumah yang lain aja”

“Memangnya kenapa nek?” Tanyaku heran.

“Disini mulai banyak hewan buas, kita nyari tempat yang lebih aman saja.” Kata nenek sambil mengemasi barang-barang.

Penulis : Dika Lana

Editor : Shanti Ruri Pratiwi

Ilustrasi karya Angela He yang diperoleh dari pinterest.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com