Persmacanopy.com

Membangun Pertanian Indonesia

Kutukan Seorang Editor

Mendekati minggu-minggu Ujian Akhir Semester (UAS), setiap mata kuliah yang terdapat praktikum biasanya akan mengadakan kegiatan turun lapang dengan luaran laporan akhir sebagai syarat menuntaskan mata kuliah tersebut. Laporan akhir ini juga biasa disebut sebagai laporan besar (lapbes), dalam proses penyusunan laporan biasanya mahasiswa membentuk kelompok untuk mempermudah pengerjaannya, salah satu peran paling kruisial dalam pengerjaan laporan besar adalah peran seorang editor.

Seorang editor ditugaskan untuk menjaga kualitas, tata bahasa, dan integritas suatu laporan yang tengah disusun. Tantangan utama yang dihadapi seorang editor adalah adanya deadliner yang ada di dalam kelompok, deadliner merupakan sebutan untuk orang yang memiliki kebiasaan menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaanya mendekati atau bahkan melewati tenggat waktu (deadline) yang telah ditetapkan. Seorang deadliner bukanlah seorang penulis yang buruk, malah sebaliknya bisa dikatakan seorang deadliner adalah orang yang jenius merangkai kata di detik-detik terakhir. Adanya deadliner dalam kelompok akan sangat menyulitkan seorang editor laporan besar yang bertugas menyunting dan mengelola laporan besar, hal tersebut dikarenakan dalam kegiatan penyuntingan diperlukan ketelitian ekstar untuk hasil akhir laporan yang maksimal.

Editor laporan besar bukan sekedar penyunting bahasa atau tata letak kalimat dalam sebuah laporan. Editor juga bertanggung jawab terhadap struktur narasi, akurasi data, bahkan terkadang menyangkut kelengkapan referensi atau sumber pustaka, ketika sebuah laporan telat diserahkan oleh seorang deadliner, waktu yang digunakan untuk mengerjakan itu semua akan semakin sempit. Editor kemudian akan dipaksa bekerja dalam kondisi tekanan waktu tinggi, tanpa ruang berpikir yang jernih, berdiskusi, atau memeriksa kembali bagian yang diarasa kurang meyakinkan. Editor memiliki cukup waktu untuk tidak hanya menyunting sebuah laporan dalam konsisi yang ideal, tetapi juga mendalami isi tulisan, seperti menelusuri sumber referensi dan memeriksa kutipan. Kehadiran deadliner harus mematahkan idealisme bahwa laporan akhir harus dikumpulkan sebelum melewati tenggat waktu yang diberikan dan pada akhirnya karena keterbatasan waktu yang diberikan untuk meninjau kembali, hasil yang didapatkan juga akan kurang maksimal.

Adanya deadliner memunculkan pertanyaan seperti, sampai kapan budaya keterlambatan akan terus diromantisasi? Dan mengapa beban keterlambatan harus ditanggung sepenuhnya oleh editor?

Tak banyak dipungkiri saat berada dalam tekanan akibat sedikitnya waktu yang tersisa untuk menyelesaikan sebuah laporan, banyak orang menjadi lebih kreatif dan produktif ketika dalam keadaan tertekan. “nanti akan ada kekuatan tersembunyi yang muncul, saat daedline sudah dekat”, kalimat yang sering diucapkan seorang deadliner ketika diminta segera mengerjakan bagiannya. Dalam ranah profesionalitas, seorang deadliner dianggap sebagai orang yang tidak profesional dan kurang, alasan apapun yang menyebabkan keterlambatan tetap harus dihadapkan pada konsekuensi—karena hasil akhir bukan hanya soal selesai, tetapi juga soal mutu. Kita juga perlu memahami bahwa dalam beberapa kasus, keterlambatan bisa dipicu oleh kompleksitas materi, minimnya data lapangan, atau revisi arah penulisan dari editor. Artinya, bukan semua deadliner adalah pemalas atau ceroboh. Tapi tetap saja, saat editor berada di garis akhir dan semua naskah datang telat, ruang untuk memahami penyebab menjadi mewah—karena pekerjaan harus selesai.

Adanya deadliner memerlukan sistem dan kultur editorial yang sehat. Menghadapi tantangan ini, diperlukan sistem editorial yang lebih kuat. Salah satunya adalah penerapan buffer deadline—tenggat internal yang lebih awal dari jadwal publikasi sesungguhnya. Dengan ini, naskah yang telat masih bisa ditoleransi tanpa menabrak deadline akhir. Namun strategi ini harus diiringi dengan disiplin dan komunikasi yang konsisten. Jika buffer deadline pun tidak diindahkan, maka sistem hanya menjadi formalitas belaka. Penting juga membangun kultur kerja yang saling menghormati antarperan. Penulis harus memahami bahwa editor bukan sekadar tukang rapi-rapi, tapi partner kreatif yang juga membutuhkan waktu untuk menghasilkan karya terbaik. Sebaliknya, editor pun perlu membuka ruang diskusi agar penulis merasa terlibat dan dihargai, bukan hanya sebagai produsen konten semata.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang ideal dalam penyusunan laporan, terutama laporan besar di akhir semester, dibutuhkan kesadaran kolektif seluruh anggota kelompok, bukan hanya tanggung jawab sepihak pada editor. Editor memang memiliki peran strategis dalam menjaga mutu laporan, tetapi pekerjaan tersebut tidak akan berarti jika sistem kerja di dalam kelompok tidak seimbang dan tidak saling mendukung. Maka dari itu, semua pihak harus melihat penyusunan laporan sebagai proses kolaboratif, bukan hanya pembagian tugas yang kemudian diserahkan begitu saja kepada satu-dua orang.

Editor bukanlah pesulap yang bisa menyulap naskah mentah menjadi dokumen sempurna dalam sekejap. Butuh waktu, energi, dan ruang berpikir jernih agar editor mampu menyampaikan ide dalam tulisan secara logis, konsisten, dan sesuai dengan kaidah ilmiah. Ketika seorang deadliner menyerahkan tulisannya secara terburu-buru atau bahkan mendekati tenggat akhir, ruang tersebut otomatis hilang. Pada akhirnya, hasil laporan bisa saja tampak selesai secara fisik—halamannya lengkap, isinya ada, dan sampulnya tercetak rapi—namun mutu isinya belum tentu mencerminkan kerja keras dan pemahaman yang mendalam. Laporan menjadi formalitas semata, kehilangan substansi akademik yang seharusnya menjadi intinya.

Apakah semua bisa diserahkan pada “nasib” editor yang harus berjuang sendiri? Tentu tidak. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perlu adanya sistem kerja yang sehat dan kultur yang mendukung profesionalitas, bahkan dalam konteks kelompok mahasiswa sekalipun. Mahasiswa harus mulai memahami pentingnya manajemen waktu, distribusi kerja yang adil, dan kesadaran akan tanggung jawab kolektif. Jika ada anggota kelompok yang dikenal sebagai deadliner, bukan berarti peran dan kontribusinya diabaikan, namun harus ada sistem internal yang memastikan semua pihak bekerja sesuai timeline, tanpa mengorbankan pihak lain.

Buffer deadline atau tenggat internal adalah solusi yang sangat masuk akal. Namun perlu ditegaskan bahwa buffer ini bukan hanya sekadar memperpanjang waktu, melainkan membangun kesadaran kolektif bahwa setiap bagian memiliki waktu kerja masing-masing. Bagi penulis, waktu untuk menyelesaikan tulisan. Bagi editor, waktu untuk menyunting dan menelaah. Bagi seluruh anggota kelompok, waktu untuk membaca ulang, mendiskusikan isi, dan memastikan laporan mencerminkan kerja kelompok yang benar-benar kolaboratif. Penggunaan teknologi juga bisa membantu dalam proses pengerjaan ini. Misalnya, dengan menggunakan platform kolaborasi daring seperti Google Docs atau one drive, pekerjaan dapat dipantau secara transparan dan real-time. Setiap anggota dapat melihat perkembangan penulisan dan penyuntingan, sehingga komunikasi dan koordinasi lebih mudah terjalin. Ini juga meminimalkan miskomunikasi, salah paham, dan tudingan sepihak yang kerap terjadi menjelang deadline.

Sumber: Google

Pengerjaan laporan akhir bukan hanya membutuhkan sekadar editor yang telaten atau penulis yang cepat, tapi tim yang sadar bahwa hasil akhir ditentukan oleh proses yang sehat. Budaya keterlambatan tidak bisa terus dibiarkan hanya karena sudah dianggap biasa. Ketika keterlambatan mulai direstui atas nama kreativitas dadakan atau “kekuatan deadline”, maka yang dikorbankan bukan hanya kualitas tulisan, tapi juga kualitas kerja sama dan etika profesional. Editor tidak seharusnya menjadi korban budaya ini. Mereka seharusnya menjadi mitra sejajar dalam roses produksi pengetahuan. Maka dari itu, diperlukan perubahan cara pandang terhadap kerja kolektif. Setiap penulis perlu menyadari bahwa mereka bukan hanya menyumbang konten, tetapi juga ikut menentukan kualitas keseluruhan laporan. Begitu juga editor, perlu membangun komunikasi yang terbuka dan empatik, agar proses penyuntingan tidak menjadi tempat pelampiasan stres, melainkan ruang bersama untuk menyempurnakan karya.

Kutukan seorang editor sebenarnya bukan tentang beratnya beban kerja, melainkan tentang tidak adanya dukungan yang cukup dari rekan satu tim. Ketika kerja kolaboratif dimaknai secara utuh, kutukan itu bisa diubah menjadi berkah—editor bukan lagi petugas darurat di detik terakhir, melainkan penjaga mutu sejak awal proses. Dan itulah yang seharusnya menjadi semangat dalam setiap kerja bersama: saling mendukung, saling menghormati, dan bersama-sama mencapai hasil terbaik.

Penulis: Ummul Khoir Azzahra

Editor: Rayya Izana Abqariyya

Gambar: Pixabay dan Google

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com