Ditengah adanya pandemi dan wabah virus corona covid-19, baru baru ini Presiden Joko Widodo meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk segera keroyokan cetak sawah sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi kekeringan yang melanda dan ancaman kelangkaan pangan. Hal tersebut ditengarai sebagai respon dari Federal Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19, senin (13/4). Di dalam negeri, sejumlah langkah sudah kita ambil dan persiapkan sejak dini untuk memastikan ketahanan pangan di daerah-daerah selama pandemik. Presiden Jokowi dalam pencetakan sawah baru meminta BUMN mencetak sawah lahan basah atau lahan gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan ada lebih dari 900.000 hektare, yang sudah siap 300.000 hektare juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 (28/4/2020).
Dalam tinjuan sejarah pengembangan cetak sawah di Indonesia ini bukan yang pertama kali untuk dilakukan di Kalimantan Tengah. Pada era rezim orde baru Presiden Soeharto melaui Keppres No. 82/1995 telah dibuka lahan gambut melalui Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah, PLG tersebut sebagai langkah kompensasi akibat menciutnya lahan sawah di Pulau Jawa. Namun pelaksaan PLG sejuta hektar dinilai gagal dan menyisakan berbagai persoalan dan dampak negatif sehingga menuai berbagai kecaman dan polemik, terutama dalam konteks perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Kegagalan PLG antara lain disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap aspek teknis, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya, mulai dari proses perencanaan sampai pelaksanaan.
Akibatnya, ekosistem gambut dan kawasan rawa menjadi rusak, dan jaringan tata air makro tidak berfungsi dengan baik. Tata air mikro di lahan petani juga tidak berfungsi sehingga waktu tanam tidak efektif, ketersediaan air sangat fluktuatif bergantung pada musim, secara makro air berlimpah ruah jika melihat karakteristik lahan gambut. Pembinaan terhadap petani transmigran juga tidak berjalan baik karena kurangnya tenaga penyuluh pertanian. Akhirnya APBN senilai Rp 1,6 triliun disedot dan tidak punya dampak signifikan pada ketersediaan pangan. Pada akhirnya proyek ini berhenti saat ini di area proyek lahan gambut sejuta hektar yang terletak di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan, Kalimantan Tengah, jadi mubazir. Sekitar 80 persen lahan yang direncanakan bisa ditanami padi, malah jadi lahan tidur. Sehingga pada tahun 2007, Pemerintah menerbitkan Inpres No. 2/2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Nampaknya Presiden Joko Widodo tidak menimbang dengan benar akan resiko pembukaan lahan sawah yang sama di lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan gambut akan ditanami adalah lahan yang mudah terbakar, Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sepanjang 2019, ada 36.952 hotspot terekam berada pada KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut). Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Selain itu menurut data Badan Pembangunan Nasional Tahun 2015 telah terjadi perubahan penggunaan lahan Perubahan Hutan Lahan Kering Sekunder menjadi Perkebunan juga cukup besar, yaitu seluas 585.008,72 ha atau sebesar 14,9 persen dari total perubahan lahan. Selanjutnya perubahan lahan yang paling kecil pada rentang tahun tersebu (1990 – 2015) di Provinsi Kalimatan Tengah adalah degradasi dari Hutan Lahan Kering Primer menjadi Kawasan Air, yaitu sebesar 5,83 ha dari total luas perubahan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Jika memang benar proyek pencetakan sawah ini dilakukan ada beberapa ancaman yang beresiko yakni penggunaan lahan sawah dalam skala besar akan merubah pola tata air dan kualitas air, terutama kemasaman air semakin tinggi, pH < 3,5; penurunan fungsi penyimpan air pada kubah gambut dan rawa belakang (back-swamp). Memicu penebangan pohon di hutan rawa gambut sehingga daya serap permukaan tanah berkurang, banjir pada musim hujan, kering dan mudah terbakar pada musim kemarau sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pada dasarnya pemanfaatan lahan gambut harus merupakan prioritas terakhir, dan bersifat selektif selain harus memenuhi kriteria Permentan No.14/2009. Pemanfaatan lahan gambut diprioritaskan pada lahan yang terlantar atau terlanjur dibuka, dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Jika presiden Jokowi membuka sawah di kawasan eks-PLG, perlu penerapan Inpres No. 2/2007 secara konsisten, dan juga Keppres No. 32/1990 perlu direvisi, terutama yang menyangkut kawasan konservasi dan kelestarian lahan.
Penulis: Wikan Agung Nugroho
Editor: Shanti Ruri Pratiwi
Leave a Reply