P Mberot Lur! Menyikapi Fenomena Akulturasi Sekaligus Menjaga Eksistensi Kesenian Bantengan Malangan
Menjadi warlok alias warga lokal Malang coret (red. Kabupaten Malang) sejak lahir pastilah tak asing bagi saya dengan kesenian bantengan. Mengingat di sebelah gang rumah terdapat kelompok atau padepokan kesenian jaranan dan bantengan yang tiap tahun kerap kali menggelar event atraksi. Kini kesenian bantengan mendapatkan exposure lebih oleh warganet. Bukti kebangkitan kesenian bantengan di tengah arus modernisasi terlihat ketika saya berselancar di Google Trends dan mengetik kata “Bantengan”. Dua kalimat kunci teratas yang muncul adalah “Mberot” dan “DJ Bantengan”, dengan minat tertinggi menurut subwilayah berada di Jawa Timur. Fenomena “P Mberot” yang semakin eksis bahkan diangkat saat konser musik menjadi bukti dari kebangkitan kesenian bantengan ini.
Dilansir dari situs resmi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kesenian bantengan merupakan seni pertunjukkan yang memadukan unsur sendratari, olah kanuragan, musik serta lekat dengan unsur magis. Pertunjukkan berada dipuncak aksi ketika pemain pemegang kepala bantengan berada pada fase “Ndadi” atau kesurupan dan siap menyeruduk tak terkendali layaknya banteng mengamuk, tahap ini biasa disebut “Mberot”. Pada satu unit bantengan biasanya dimainkan oleh tiga orang yang memiliki peran yakni satu orang pada pemegang kepala banteng, satu orang pengontrol tali bantengan, dan satu orang sebagai ekor atau yang berperan sebagai ekor bantengan. Kostum yang dipakai terdiri dari topeng yang menyerupai kepala banteng dan terbuat dari kayu serta bagian badan ditutup dengan kain hitam dengan aksen merah sehingga berbentuk seperti seekor banteng.
Kombo Wombo: Mberot, DJ Bantengan, dan Sound System Horeg
Musik tradisional yang diolah sedemikian rupa dan dipadukan menjadi musik DJ Bantengan menciptakan wajah baru dari per-mberot-an duniawi. Animo masyarakat dalam menikmati kesenian bantengan kini tak hanya fokus saat kalap saja. Namun bantengan juga bisa berjoget ria mengikuti musik DJ dan semakin digandrungi kaum muda. Kultur ini juga semakin viral di berbagai platform media sosial. Terlebih lagi, ketika kegemaran masyarakat Kabupaten Malang disatukan menjadi satu rangkaian pentas seni, yaitu bantengan, musik DJ, dan sound system horeg, hiburan tersebut menjadi kombo wombo epik yang atraktif, menarik, dan ramah dikantong. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh penonton, tetapi juga oleh kelompok kesenian bantengan, usaha sound system yang disewa, pedagang kecil, serta tukang parkir yang berada di area tersebut. Semuanya tersenyum lebar. Pasalnya kegiatan tersebut menggerakkan perekonomian masyarakat sekaligus melestarikan kebudayaan lokal. Ini membantu Indonesia mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, terutama pada poin 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, dengan dampak pada poin 9 mengenai industri, inovasi, dan infrastruktur.
Eksis di Berbagai Konser Musik
“P Mberot” sekarang seringkali muncul dalam konser musik. Eksistensi lagu-lagu remix ala DJ Bantengan seperti “Santri Pekok” dan lain sebagainya menjadi tren. Lagu-lagu tersebut akan membuat para penonton berjoget layaknya sedang menonton atraksi bantengan ketika dilantunkan. Fakedopp, grup DJ dan karaoke, kini populer di kalangan anak muda dan turut menyumbang pada popularitas ungkapan “Mberot.” Di atas panggung, mereka sesekali memegang replika kepala banteng yang membuatnya semakin memikat.
Mberot di Masa Kampanye Pemilu 2024
Hal yang cukup menarik terkait per-mberot-an duniawi di tahun 2024 khususnya di Malang Raya ialah laris menjadi hiburan kampanye baik itu paslon 01, 02, dan 03. Pada kubu 01 melalui Ekspedisi Perubahan pada kegiatannya terdapat agenda menonton kesenian bantengan di Desa Tawangargo, Kecamatan Karangploso pada 25 Januari lalu. Kubu 02 menyusul dengan mengadakan event kombo maut mberot, DJ bantengan, dan menghadirkan sound system terkemuka seperti Brewog Audio, Blizzard, Nanda Audio, dan Aeromax. Relawan Bolone Mase menyelenggarakan acara pada 27 Januari di Kecamatan Dampit, dan semua itu ikut meramaikan acara tersebut. Pada 30 Januari, Calon Presiden (Capres) 03, Ganjar Pranowo, tampil tidak kalah menarik dengan menampilkan kampanye akbar 1000 banteng di Lapangan Kedungkandang.
Menyikapi Fenomena Akulturasi dan Menjaga Eksistensi
Bagi sebagian masyarakat, dengan adanya kemasan baru dapat meningkatkan awareness serta eksistensi kebudayaan Bantengan Malangan. Namun, seperti pisau bermata dua, kebudayaan baru ini dapat menggeser pakem bantengan yang telah ada. Dulu, bantengan menarik perhatian dengan suasana seru, pemain kerasukan, irama angklung, dan lari-lari penonton saat siul-siulan berkumandang.Namun, sekarang, pembawaan bantengan yang lebih ramah dengan joget-joget DJ mberot membuat sebagian masyarakat merasa bahwa bantengan era kini tidak lagi se-seru dan menegangkan seperti dulu. Bagai sayur tanpa garam rasanya bila melihat bantengan tapi pemainnya tidak kalap. Kalau saya pribadi sih fine-fine saja, toh selama pertunjukkan tersebut tidak menyeleweng dari ciri khas bantengan, pakem, serta norma yang ada rasanya masih layak untuk dinikmati menjadi hiburan. Kalau kata pepatah Norwegia sih ya sing penting gayeng guyup rukun lur!
Penulis : Nisrina Marlita
Editor : Diandra Putri
Ilustrator : Nisrina Marlita