Malang, 20 Maret 2024 – Aliansi Suara Rakdjat (ASURO) dan Aksi Kamisan Malang menyelenggarakan aksi bertajuk ‘Saatnya katakan cukup: Tarik Mundur TNI ke Barak’ untuk menuntut atas pencabutan Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada pukul 10.33 WIB. Aksi ini diikuti oleh sejumlah mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil yang dilaksanakan mulai dari Alun-alun Kota Malang lalu menuju ke Jalan Kayutangan. Mereka menganggap bahwa RUU TNI ini menjadi ancaman bagi demokrasi dan berpotensi mengembalikan otoritarianisme ala Orde Baru di zaman modern.
Aksi demonstrasi dimulai pada pukul 16.00 WIB yang diawali dengan sesi orasi dari beberapa perwakilan aktivis. Dalam orasi tersebut, mereka menekankan ancaman kembalinya dwifungsi militer serta dampaknya terhadap hak-hak sipil. Para demonstran juga menyoroti berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sebelum RUU ini disahkan. Setelah sesi orasi, massa aksi melanjutkan dengan long march menuju DPRD Kota Malang melalui Jalan Kayutangan. Long march ini dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat sekitar, mengingat masih banyak yang belum memahami dampak dari RUU yang baru disahkan ini.
Aksi ini awalnya ditujukan untuk penolakan RUU TNI yang masih dalam pembahasan. Namun tanpa aba-aba, pada pukul 10.33 WIB, DPR RI telah mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini dirasa terlalu terburu-buru dan menuai banyak perdebatan karena berpotensi merusak demokrasi serta memperbesar peran militer dalam pemerintahan sipil.
Jeco sebagai koordinator lapangan (Korlap) berpendapat bahwa bahwa UU TNI akan semakin memperbesar peran militer dalam pemerintahan sipil yang berpotensi merusak demokrasi. “UU TNI ini berbahaya karena mengakibatkan munculnya konsep otoriter Orde Baru yang akan diterapkan pada abad ke-21. Pemerintahan akan semakin dikuasai oleh militer, di mana pejabat publik sebagian besar berasal dari kalangan militer. Setelah kekuasaan diambil alih, kemudian dibentuk berbagai kebijakan yang menguntungkan kepentingan militer,” ucap Jeco.
Jeco juga mengungkapkan bahwa sebelum revisi ini disahkan, kasus pelanggaran HAM sudah marak terjadi. “Sebelum disahkan saja sudah banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Malang seperti kasus Kanjuruhan. Selain itu ada juga kasus perampasan lahan di Maluku, Papua, Sumatera, dan lainnya yang melibatkan pihak aparat,” ujarnya.
Selain menyoroti isu RUU TNI, aksi yang berlangsung ini juga menyoroti sejumlah isu lain, termasuk kasus Kanjuruhan yang masuk kedalam kategori pelanggaran HAM berat dan RUU Masyarakat Adat. Massa aksi menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM serta perlindungan hak-hak masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Mereka juga berencana meningkatkan penyebaran informasi melalui propaganda di media sosial, aksi long march, serta pernyataan sikap. Mereka juga membuka kemungkinan untuk menggelar aksi lanjutan dengan skala lebih besar setelah melakukan konsolidasi yang lebih luas.
Hingga saat ini, aksi berlangsung tanpa tindakan represif dari aparat, meskipun terdapat laporan mengenai pengintaian terhadap peserta aksi. Dalam upaya mengadvokasi tuntutan mereka, massa aksi telah meminta pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta menjaga solidaritas di antara sesama peserta aksi.
Penulis : Danisha Laudya dan Siti Nurkholifah
Editor : Talitha Danish Safira
Potret : Danisha Laudya
Leave a Reply