Kupas Tuntas Resiko Food Estate Melalui Diskusi Pantau Gambut

Malang-CANOPY. Hari ini Selasa (23/2) Pantau Gambut mengadakan diskusi mengenai Food Estate Kalimantan Tengah, Kebijakan Instan Sarat Kontroversi yang menghadirkan beberapa narasumber, diantaranya Clorinda Wibowo selaku pendiri Pantau Gambut, Dimas Hartono selaku Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah dan Anggalia Putri selaku Knowledge Management Manager Yayasan Madani. Diskusi ini membahas mengenai alasan Presiden Jokowi melakukan food estate karena merespon dari pernyataan FAO tentang ancaman krisis pangan yang terjadi karena pandemi. Menanggapi hal tersebut, Airlangga Hartanto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengajukan lahan gambut di Kalimantan untuk digunakan sebagai lahan food estate. Lokasi yang digunakan untuk lahan eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) seluas 1,4 juta ha sebesar 64% termasuk dalam Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) sehingga jika lahan tersebut dikonversi menjadi lahan pertanian perlu dilakukan drainase dengan membuat kanal. “Sayangnya, jika lahan gambut dikeringkan maka menghilangkan fungsi hidrologisnya, selain itu senyawa pirit akan dilepaskan menyebabkan tanah menjadi masam dan tidak bisa ditanami. Selain itu, senyawa pirit juga akan mencemari air dan menyebabkan ikan mati” pungkas Clorinda.

Sejatinya, lahan gambut tidak sesuai digunakan untuk lahan food estate karena produktivitas lahan gambut tergolong rendah, unsur hara makro dan mikro di dalam tanah rendah, tanah terlalu asam serta penggunaan teknologi usaha tani diatas gambut masih sangat minim. Sehingga petani banyak yang mengalami gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dengan tanaman budidaya.

Lokasi Food Estate Kalimantan Tengah (Walhi)

Tidak hanya lahan gambut yang digunakan untuk food estate tetapi Kawasan hutan juga menjadi sasaran. Berdasarakan pemaparan materi yang disampaikan oleh Anggalia Putri setidaknya ada 4 Provinsi yang dijadikan Area of Interest (AoI) yaitu Provinsi Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Total lahan tersebut seluar 3,69 juta ha, dimana terdapat  92% Kawasan hutan, 39% Kawasan ekosistem gambut dan 43% Kawasan tutupan hutan alam. Sedangkan di Kalimantan tengah sebesar 52% AoI food estate adalah hutan alam. Sehingga, jika hutan ditebang dan kayu-kayu tersebut dijual akan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 209,36 triliun. Maka dari itu, proyek ini menimbulkan banyak pertanyaan apakah food estate digunakan untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan industri pangan?.

Komposisi Alokasi Food Estate di 4 Provinsi (Madani)

Proyek food estate sendiri banyak menerima kecaman karena tidak memberikan masyarakat untuk berpendapat sebelum membuat keputusan, proyek ini juga bertentangan dengan asan kepastian hukum, asas kecermatan, asas menyalahgunakan wewenang dan asas keterbukaan. Meskipun demikian hingga saat ini proyek ini masih terus dijalankan.

Penulis : Shanti Ruri Pratiwi

Editor : Shanti Ruri Pratiwi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com